Boyong Grobog, Kirab Pusaka Simbolik Perpindahan Pusat Pemerintahan Kabupaten Grobogan

Boyong Grobog, Kirab Pusaka Simbolik Perpindahan Pusat Pemerintahan Kabupaten Grobogan
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung

“You don't have to burn books to destroy a culture. Just get people to stop reading them.”

_Ray Brandbury_

Tradisi dikenal sebagai kebiasaan yang bersifat magis dan religius sebagai pencerminan sikap atau perilaku masyarakat lokal. Umumnya, tradisi dilaksanakan pada kurun waktu tertentu secara turun temurun sebagai warisan nenek moyang.

Salah satu tradisi masyarakat yang masih dilestarikan hingga kini yaitu kirab Boyong Grobog yang dilaksanakan tepat pada tanggal 4 Maret di hari ulang tahun Grobogan. Kata “Boyong Grobog” sendiri berasal dari bahasa jawa yang memiliki arti memindahkan grobog atau alat penyimpanan padi yang terbuat dari kayu.

Boyong Grobog menjadi tradisi leluhur yang menunjukkan perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Grobogan ke Purwodadi. Kegiatan ini juga menjadi wujud semangat gotong masyarakat Grobogan, sebagaimana diungkapkan oleh ketua panitia Boyong Grobog Samsul Wiyadi.

Kilas balik tradisi Boyong Grobog berawal dari kisah prajurit Majapahit yang diutus untuk mengirimkan senjata pusaka kerajaan dan dimasukkan ke dalam kota besar yang terbuat dari kayu atau grobog. Naasnya, nasib malang menimpa dengan dikepungnya prajurit kerajaan oleh segerombolan perampok.

Namun, usaha tersebut digagalkan oleh Sunan Kalijaga dan kembali merebut grobog tersebut. Tempat grobog kerajaan ditinggal diberi nama Grobogan. Di awal berdirinya Kabupaten Grobogan, hanya beberapa wilayah tergabung seperti Sela, Teras, Keras, Wirosari, Santenan, Grobogan, dan wilayah di Sukoharjo Utara. Lambat laun, wilayah Grobogan terus berkembang menjadi 19 kecamatan seperti sekarang. Pertama kali, Kabupaten Grobogan dipimpin oleh Adipati Pangeran Puger tepatnya pada tahun 1864.

Prosesi kirab Boyong Grobog ini dilakukan dari kantor kelurahan atau kecamatan Grobogan atau bekas pemerintahan lama hingga pendopo Kabupaten Grobogan di Kecamatan Purwodadi, dengan jarak sekitar 6 km.

Bersama dengan ikonik pada tradisi ini berupa grobok dengan ukuran 1 meter kali 1 meter, bupati dan jajarannya ikut turun melakukan arak-arakan. Untuk menciptakan nuansa kebudayaan yang kental, bupati dan jajarannya menggunakan pakaian adat jawa yaitu kebaya bagi wanita dan beskap bagi lelaki.

Antusiasme masyarakat juga ikut memeriahkan Boyong Grobog dengan menunggu di beberapa titik perjalanan atau ikut serta dalam arak-arakan. Kalangan pelajar juga turut menyumbang ide kreasi melalui seni tari, wayang orang, modeling, hingga pawai kecil-kecilan yang menyemarakkan semangat menempuh periode pemerintahan yang baru.

Tidak hanya mengulas histori, juga menunjukkan rasa syukur kepada sang pencipta atas anugrah yang diberikan berupa lahan pertanian yang subur dan melimpah. Pasalnya, Grobogan menjadi salah satu penyumbang ketahanan pangan nasional 50% untuk Provinsi Jawa Tengah berdasarkan ungkapan Kadis Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, Supriyanto.

Oleh karena itu, setiap dilaksanakannya tradisi rombongan petani juga memeriahkan dengan membawa 10 gunungan hasil pertanian dari masing-masing desa di kecamatan Grobogan. Gunungan ini menjadi simbolik atas hasil pertanian yang semakin melimpah setiap tahunnya. Pertanda tidak ada kekurangan pangan bagi masyarakat lokal, bahkan sudah diekspor untuk memenuhi kebutuhan pangan luar wilayah.

Tradisi kirab Boyong Grobog diakhiri dengan perebutan gunungan yang berisi hasil pertanian dan tumpeng nasi kuning yang dijajar di alun-alun Purwodadi oleh masyarakat yang ikut berpartisipasi.

Bupati Kabupaten Grobogan, Sri Sumarni menyampaikan bahwa pihak jajarannya berharap dengan bertambahnya usia Kabupaten Grobogan juga dapat selaras dengan pembangunan yang dilaksanakan sehingga mampu menciptakan kesejahteraan, kedamaian, dan keamanan serta gemah ripah loh jinawi.

Disamping, masih banyaknya permasalahan pembangunan yang harus diselesaikan. Harapan kedepannya, tradisi Boyong Grobog tetap dilestarikan oleh generasi-generasi selanjutnya di samping berkembangnya digitalisasi dan modernisasi yang mulai menggantikan banyak hal.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DF
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini