Kisah Sangiang Serri, Lumbung, dan Makna yang Tak Usai

Kisah Sangiang Serri, Lumbung, dan Makna yang Tak Usai
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Saat saya masih kanak-kanak, saya sering dimarahi oleh nenek hanya karena persoalan sepiring nasi. Ketika makan, saya memiliki kebiasaan menghabiskan nasi di piring sebelum saya menambahkan lagi nasi ke dalam piring. Hal sekecil itu selalu membuat nenek marah. Saya merasa sedih dan bingung, mengapa orang Bugis bisa begitu marah karena hal sekonyol itu. Belakangan, saya kemudian memahami bahwa banyaknya aturan dan pantangan yang berkaitan dengan padi, gabah, bahkan dalam wujud sebutir nasi karena adanya mitos dan makna di balik semua itu.

Dikisahkan bahwa manusia pertama yang diturunkan ke bumi adalah Batara Guru. Saat Batara Guru mulai menetap di Paretiwi (bumi), istrinya, We Saung Riuq hamil. Namun takdir sudah digariskan bahwa We Saung Riuq hanya hamil selama tujuh bulan. Ia kemudian melahirkan seorang bayi bernama We Oddang Riuq. Tujuh malam setelah kelahirannya, We Oddang Riuq meninggal dunia. Maka dicarikanlah belantara yang lebat sebagai tempat peristirahatan terakhirnya.

Tiga malam selepas We Oddang Riuq disemayamkan, Batara Guru dirundung rindu. Pergilah ia mengunjungi makam anaknya. Namun ia mendapati kejadian yang tak terduga. Batara Guru merinding dan gemetar. Batara Guru segera menggapai pelangi, lalu dilaluinya naik ke Botting Langi -- dunia atas.

Kedatangan tak terduga Batara Guru tidak diketahui penghuni di Botting Langi. Saat hendak memasuki pagar halilintar, Batara Guru diserang penghuni Botting Langi. Namun, mereka kemudian menyadari bahwa orang yang mereka serang adalah Batara Guru, anak dari penguasa Botting Langi, Patotoe.

Segera Batara Guru diantar menghadap Patotoe di dalam istana. Selepas memberi sembah dan maaf karena mengganggu ketentraman Botting Langi, Batara Guru bercerita tentang makam We Oddang Riuq yang berubah menjadi hamparan padi. Dari lembah hingga perbukitan, semua ditumbuhi padi yang menguning. Maka menjawablah Patotoe “Itu adalah anak yang dinamakan Sangiang Serri. Anakmu itu yang menjelma menjadi padi”.

Kisah atau mitos asal mula padi ini dikisahkan dalam buku La Galigo yang disusun Retna Kencana Colliq Pujie. Buku tersebut merupakan karya sastra dari Sulawesi Selatan yang mengisahkan tentang asal mula penciptaan manusia di dunia. Bagi sebagian masyarakat Bugis, karya tersebut bukan hanya sebatas karya sastra, tetapi dianggap sebagai kitab suci sebelum datangnya Islam.

Dari cerita tersebut kita bisa memahami betapa sakralnya padi bagi masyarakat Bugis. Bahkan Christian Pelras dalam bukunya Manusia Bugis menyebutkan bahwa meski tersedia banyak makanan pokok seperti umbi-umbian, sagu, hingga pisang, tetapi kenyataannya orang Bugis hanya mengadakan upacara adat pertanian untuk padi saja. Maka tak heran jika ada begitu banyak ritual, pantangan atau pemali terkait dengan padi, mulai dari proses pembenihan hingga menjadi sebutir nasi.

Jika kita telisik lebih dalam, pada dasarnya setiap pemali punya makna dan tujuan tertentu. Hal ini persis dengan apa yang kita temukan pada pemali tentang padi jika dikaitkan dengan kehidupan hari ini.

Dalam kosmologi masyarakat Bugis, rumah orang bugis terdiri atas tiga bagian. Bagian atas, disebut rakkeang. Bagian ini menjadi tempat menyimpan padi yang sudah dipanen. Rakkeang merupakan lumbung masyarakat Bugis. Kemudian, rumah bagian tengah disebut ale bola. Tempat ini merupakan bagian utama di dalam rumah tempat penghuni beraktivitas. Terakhir yaitu awa sao atau bagian bawah rumah panggung. Bagian ini biasanya dijadikan tempat untuk memelihara ternak.

Saat selesai panen, padi atau gabah disimpan di rakkeang. Setiap kali penghuni rumah kekurangan makanan, barulah mereka ke Rakkeang mengambil padi untuk digiling menjadi beras.

Dalam kepercayaan masyarakat Bugis, salah satu pemali utama terkait dengan rakkeang (lumbung) adalah menghabiskan padi yang ada di dalamnya. Lumbung harus tetap terisi hingga masa panen berikutnya tiba. Setelah hasil panen berikutnya tiba, hasil panen sebelumnya boleh dihabiskan. Hal tersebut berkesinambungan secara terus menerus.

Hal seperti itu, tidak hanya diberlakukan pada lumbung, tetapi juga pada tempat penyimpanan beras di dapur. Masyarakat Bugis menyimpan beras di dalam punrung – biasanya berupa gentong yang terbuat dari tanah liat. Seperti konsep rakkeang, pengisian beras ke dalam punrung harus berkelanjutan. Isi punrung harus tetap disisahkan walau sedikit saja sebelum ditambahkan beras baru.

Konsep inilah yang sepertinya diadopsi masyarakat Bugis saat makan. Nasi di piring tidak boleh dihabiskan jika kita masih ingin menambah nasi lagi. Membersihkan nasi di piring, pertanda bahwa kegiatan makan sudah selesai. Pemali untuk menambah nasi di piring yang sudah bersih.

Jika kita telaah secara logis, konsep dasar pemali tersebut memiliki banyak makna. Padi sebagai makanan pokok tidak boleh kosong di dalam rumah. Sebisa mungkin, pemilik lumbung harus memastikan dengan segala cara agar lumbung tetap terisi. Dengan kata lain, harapannya adalah rezeki tidak pernah terputus.

Dari pemali tersebut, setidaknya ada empat konsep filosofis yang dapat kita renungi terkait dengan lumbung dan manajemen kebutuhan pokok masyarakat Bugis. Pertama terkait konsep keberlanjutan. Manusia tidak hanya memikirkan apa yang terjadi hari ini, tetapi juga tentang apa yang akan dilakukan esok dan seterusnya. Cara berpikir seperti ini hendaknya berlaku di semua aspek kehidupan, termasuk dalam pelestarian kebudayaan.

Kedua, konsep tentang literasi finansial. Jauh sebelum munculnya tren literasi finansial, prinsip pengelolaan lumbung padi masyarakat Bugis ternyata sudah mengajarkan hal tersebut. Setiap orang harus berpikir dan berhitung konsumsi mereka secermat mungkin agar pangan mereka cukup hingga panen berikutnya. Jika keadaan finansialnya baik, mereka bisa menabung. Namun, jika situasi finansial sedang buruk, mereka harus berhemat, bahkan harus memikirkan pangan-pangan alternatif untuk tetap mengisi lumbung.

Ketiga yaitu etos kerja. Untuk memastikan lumbung terisi secara berkelanjutan, harus dibarengi dengan etos kerja yang maksimal. Etos kerja inilah yang kerap membuat masyarakat Bugis memilih merantau jika terjadi peristiwa di luar kendali mereka, seperti, gagal panen, paceklik, krisis, atau bahkan perang. Mereka harus memastikan asap panci di dapur tetap mengepul.

Terakhir terkait konsep keterpeliharaan. Padi dan segala bentuk kebutuhan pokok berasal dari Bumi. Jika bumi tidak dijaga, maka lumbung bisa kosong. Maka dari itu, masyarakat Bugis mengenal filosofi sulapa eppa (segi empat) di alam. Empat elemen utama, yaitu, tanah, air, api, dan angin semua harus dijaga dengan baik agar keseimbangan kosmos dunia tetap terjaga.

Dari beberapa konsep tersebut, pada akhirnya, kita bisa memahami bahwa suatu budaya atau kearifan lokal memiliki berlapis-lapis makna. Kebudayaan bukanlah ruang hampa, tetapi sebuah entitas yang bisa dibaca ulang, diinterpretasi, dan dimaknai melintasi zaman. Tugas kita hari ini ialah memastikan kebudayaan tetap lestari dan tidak kehilangan makna.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

A
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini