Toleransi Simbolik dari Vova Sanggayu: Intan Bersahaja di Tanah Kaili

Toleransi Simbolik dari Vova Sanggayu: Intan Bersahaja di Tanah Kaili
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Teman GNFI pernah mendengar Kabupaten atapun Kota Pasangkayu? Dalam perjalanan kehidupan saya selama 40 tahun, saya baru mendengarnya sekarang...dan saya merasa malu. Malu karena menyadari masih sedikit sekali langkah kaki ini saya ayunkan mengitari bumi nusantara. Malu karena masih banyak daerah-daerah indah di Indonesia yang belum kujamah.

Kali ini langkahku terhenti sejenak di Pasangkayu. Butuh waktu sekitar 2-3 jam dari kota Palu atau 7-8 jam dari kota Mamuju melalui perjalanan darat untuk mencapai di kota kecil ini. Kabupaten Pasangkayu berbatasan dengan Kabupaten Donggala, tetangganya yang namanya mungkin lebih dulu dikenal. Jika teman GNFI sudah familiar dengan kota Mamuju maka sebelum tahun 2017, Pasangkayu masih bernama Mamuju Utara. Jadi, Pasangkayu ini adalah pemekaran dari kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat yang sejak tahun 2003 berdiri menjadi Kabupaten sendiri dengan nama Mamuju Utara. Untuk memberikan ciri khas dari wilayah ini maka mulai tahun 2017 terjadi perubahan nama dari Mamuju Utara menjadi Pasangkayu. Saat ini Pasangkayu meliputi 12 kecamatan yang tersebar pada wilayah sekitar 3000 km2 dengan kota Pasangkayu sebagai ibukotanya.

Penamaan Pasangkayu sendiri memiliki filosofis yang unik dan penting. Pasangkayu berasal dari kata vova dan sanggayu yang diyakini berasal dari bahasa suku Kaili, salah satu penduduk asli wilayah Sulawesi Tengah dan Barat bagian utara. Vova berarti kayu (atau sejenis kayu bakau) sedangkan sanggayu berarti satu batang. Dengan demikian, vova sanggayu dapat diartikan sebagai "satu batang kayu bakau". Batang kayu bakau ini merujuk pada kayu yang sering dijadikan tempat untuk bersandar para nelayan ketika sedang beristirahat. Istilah ini kemudian menjadi populer dan menjadi sebutan nama tempat yang sekarang menjadi bagian dari Pasangkayu.

Lalu sejak kapan istilah Vova Sanggayu ini berubah menjadi Pasangkayu? Ternyata wilayah Vova Sanggayu ini memiliki keunikan demografis tersendiri. Selain suku Kaili yang telah lama mendiami tanah tersebut, beragam suku bangsa juga bermigrasi dan menetap di Vova Sanggayu ini seperti suku Mandar dan Bugis yang sekarang justru menjadi suku mayoritas. Namun, karena suku-suku bangsa tersebut kurang familiar dengan pelafalan vova sanggayu maka mereka mengucapkannya sebagai "pasangkayu". Kata inilah yang kemudian jamak digunakan dan menjadi cikal-bakal penamaan wilayah Pasangkayu yang secara resmi diadopsi sebagai nama wilayah kabupaten tersebut. Sayangnya saya mendapatkan beberapa sumber masih menggunakan nama Mamuju Utara untuk menyebut Pasangkayu.

Dengan sejarahnya yang panjang, Pasangkayu kini menjadi rumah bagi beragam budaya dan suku bangsa mulai dari barat, tengah, dan timur Indonesia. Ya, Pasangkayu tidak hanya didiami oleh suku Kaili ataupun suku-suku dari Sulawesi lainnya tapi juga menjadi tempat bermukim dari suku Jawa dan Bali yang kini menjadi penduduk Pasangkayu melalui gelombang program transmigrasi. Semua suku bangsa ini hidup berdampingan dengan damai di Pasangkayu, sebuah gambaran model keragaman Indonesia yang patut menjadi contoh toleransi budaya antar berbagai suku bangsa di Indonesia.

Namun, toleransi ini bukan datang dengan tiba-tiba. Ada suatu proses kesahajaan yang saya rasakan ketika menjejakkan kaki di Pasangkayu. Kehidupannya yang berjalan seolah tanpa ambisi, ketenangan sudut-sudut kota yang menjalani aktivitas dengan tempo moderato, tidak cepat dan tidak pula lambat. Bagi saya, gambaran kota Pasangkayu mencerminkan kehidupan masyarakatnya yang sederhana dan bersahaja sehingga menjadikan Pasangkayu sebagai tempat yang tepat untuk melakukan retreat, mengosongkan pikiran, dan mengisi ulang energi. Tidak membutuhkan wisata yang dipoles-poles untuk menjadi kekinian karena keindahan Pasangkayu terletak pada kesederhaannya, kelugasannya.

Saya meyakini gambaran kehidupan ini mengakar pada budaya masyarakat Pasangkayu yang penuh penerimaan. Penerimaan ini bisa menjadi suatu tanda kepasrahan dan ketundukan pada alam, pencipta maupun pendatang. Mungkin hal inilah yang pernah dirasakan oleh suku Kaili ketika menerima penduduk lain di wilayahnya. Suku Kaili yang kini menjadi minoritas di tanahnya sendiri sekarang mulai jarang ditemukan. Mereka berlindung semakin ke dalam hutan untuk melestarikan keturunannya dengan caranya sendiri. Suku Kaili kaya dengan sistem pengetahuan lokal untuk melindungi alamnya. Walau hidup sebagai nomaden mereka tak rakus menjamah tanah untuk eksploitasi yang merusak hutan; mereka mendirikan rumah-rumah di pepohonan untuk mengindari bahaya; mereka bahkan membuat pakaian dari kulit kayu sebagai bentuk budaya penyatuan diri dengan alam. Hanya pendekatan berbasis kearifan lokal yang dapat membawanya untuk bisa menerima perubahan yang dibutuhkan agar dapat melestarikan generasi penerusnya di era perubahan yang cepat ini.

Pekerja perkebunan dan pertanian modern, para pendatang, dan para pengusaha sewajarnya berterima kasih pada suku bangsa Kaili yang tiap jengkal tanahnya telah dimanfaatkan untuk kemajuan Pasangkayu kini. Saya rasa ungkapan terima kasih itulah yang kemudian tercermin pada karakter harmonis dan kesederhanaan masyarakat Pasangkayu. Upaya untuk menghormati tanah leluhur penduduk asli secara seimbang tanpa harus berkoar-koar membangun dengan menghilangkan identitas dan jati dirinya. Itulah pula yang membawa penggunaan nama Pasangkayu menjadi penting untuk mengingatkan kembali sejarah para pendahulu di tanah vova sanggayu agar tetap menjadi identitas utamanya. Walaupun wajahnya kini telah berubah dan berkembang namun kilaunya tetap bagai intan yang belum terasah; sederhana tapi menjadi magnet bagi pendatang.

*tulisan ini disarikan dari perbicangan penulis dengan Bapak Albar dan Bapak Abidin dari Dinas Pendidikan Kabupaten Pasangkayu.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

HF
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini