Rayakan Pekan Kebudayaan dengan Menulis Budaya Lokal (Kebudayaan dari Daerahku Barru)

Rayakan Pekan Kebudayaan dengan Menulis Budaya Lokal (Kebudayaan dari Daerahku Barru)
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Kebudayaan adalah cerita yang selalu menarik untuk ditulis. Sebab, kebudayaan merupakan identitas suatu masyarakat itu sendiri. Kebudayaan pula menjadi kunci eksisnya sebuah bangsa. Faktor penentu berlangsungnya sebuah bangsa adalah kebudayaan. Hal ini senada dengan pernyataan Spengler yang penulis kutip dalam buku Ideologi Kaum Intelektual karya Ali Syari’ati yang menyatakan bahwa hidup matinya sebuah bangsa ditentukan oleh kebudayaannya. Hal ini tidak hanya untuk bangsa tertentu, tapi berlaku untuk semua bangsa. Indonesia misalnya, jika saja kebudayaannya tidak dilestarikan, maka Indonesia sebagai negara yang kaya budaya akan tinggal menjadi kenangan-kenangan sejarah.

Sebagai sebuah bangsa yang pernah jaya, kekuatan Indonesia ada pada kebudayaannya. Berdasarkan penelusuran yang penulis peroleh dari kompas.com menyebutkan bahwa terdapat sepuluh suku besar yang menyebar ke pelosok negeri yaitu Jawa, Sunda, Batak, suku asal Sumatera Selatan, suku asal Sulawesi, Madura, Bugis, Betawi, Minang dan Melayu. Fakta ini menuntut para generasi Indonesia untuk senantiasa merawat dan melestarikan budaya yang dimiliki.

Sebagai generasi, penulis menceritakan kebudayaan di daerahnya melalui tulisan sederhana dimana tulisan ini merupakan data penelitian selama penulis berada di Bulo-Bulo. Di Sulawesi Selatan tepatnya di Desa Bulo-Bulo Kecamatan Pujananting Kabupaten Barru terdapat satu kebudayaan unik yaitu To Bentong. To Bentong merupakan sub-etnik dari suku Bugis. To Bentong secara terminologi terdiri dari dua kata; To dan Bentong. To dalam bahasa Bugis berarti orang atau manusia, sedangkan Bentong adalah istilah yang merujuk pada asimilasi tiga bahasa daerah di Sulawesi Selatan yaitu Bugis, Konjo (bahasa yang digunakan di daerah Bulukumba) dan Makassar. Menurut Syarif Longi dalam bukunya To Bentong Barru Geliat di Kampung Budaya menjelaskan bahwa bahasa Bentong adalah percampuran tiga bahasa yaitu Bugis, Konjo dan Makassar. Bahkan kosakatanya ada yang mirip dengan bahasa Mandar di Sulawesi Barat. Dari percampuran tiga bahasa tersebut lahirlah sebutan Bentong.

To Balo | https://attoriolong.com/2014/09/suku-to-balo-manusi-belang-di-pedalaman-barru/
info gambar

Selain bahasa, To Bentong memiliki satu komunitas etnik yang memiliki keunikan tersendiri ketimbang masyarakat To Bentong pada umumnya. Komunitas tersebut adalah To Balo. Dalam istilah Bugis, Balo artinya kulit belang. To Balo atau orang yang berkulit belang ini adalah sekelompok individu yang hidup di tengah-tengah masyarakat To Bentong lainnya. Yang membedakan dengan To Bentong pada umumnya hanyalah fisiknya (kuling belang). Mereka adalah masyarakat biasa pada umumnya. Menurut informasi dari sumber website ettapedia.org mengatakan bahwa To Balo bercocok tanam, menanam jagung, kacang, serta mengolah gula merah Di balik kulit belang pada diri To Balo, terdapat cerita mistik. Terkait hal tersebut, Darwis Kadir penulis buku Mengungkap Tabir To Balo di Tanah Bentong (Sebuah Tinjauan Sosiologis) menjelaskan terdapat tiga versi.

Pertama; ketika Datu (Raja) Tanete memerintahkan seorang Arung (gelar bangsawan dalam masyarakat Bugis dan Makassar) yang bernama Arung Bontotinro mencari pasukan perang sebanyak tiga puluh orang. Namun, Arung Bontotinro hanya berhasil mengumpulkan delapan orang. Mendengar hal itu, Datu Tanete akhirnya memanggil delapan orang tersebut lalu meminta kepada seorang masyarakat Datu Tanete bernama I Pundeng mencari satu orang lagi. Akhirnya, I Pundeng menyuruh anaknya yang bernama I Untung bergabung. Bergabungnya I Untung ke dalam barisan akhirnya menggenapi jumlah pasukan menjadi sembilan orang.

Sebelum berangkat ke medan perang, kesembilan prajurit tadi dibekali ilmu perang. Namun, syarat mendapatkan ilmu itu adalah para prajurit harus berjanji untuk tidak melakukan larangan-larangan yang dipersyaratkan. Larangan tersebut ialah ketika selesai berperang jangan pernah menaiki rumah sendiri atau rumah siapapun sebelum memotong satu ekor ayam putih. Jika tidak maka seluruh tubuh akan menjadi belang. Walhasil, karena kelalaian, pasukan yang pulang setelah berperang langsung menaiki rumah mereka, sehingga mengakibatkan kulit mereka menjadi belang.

Cerita mistik berikutnya yaitu asal muasal kulit belang pada tubuh To Balo disebabkan oleh nazar. Adalah sepasang suami yang telah lama membina rumah tangga belum memiliki keturunan. Pada suatu masa sang suami sedang melintas di sebuah sawah kemudian melihat seekor kuda belang. Sekembalinya suami kepada istrinya, sang suami mengajak sang istri mengucap nazar dan meminta kepada Dewata (entitas yang dianggap Tuhan oleh masyarakat Bugis) agar dikaruniai anak sekalipun kulitnya belang seperti kuda belang yang dilihat sang suami. Tidak lama berselang setelah nazar itu diucapkan, sang istri akhirnya mengandung kemudian melahirkan seorang anak yang berkulit belang.

Unsur kebudayaan terakhir yang dimiliki To Bentong adalah tradisi Massagala. Massagala merupakan tradisi leluhur masyarakat To Bentong yang sampai hari ini masih lestari. Massagala terdiri dari Ma’ dan Sagala. Ma’ dalam istilah Bugis berarti melakukan dan Sagala yaitu penyakit kulit. Berdasarkan wawancara penulis dengan tokoh adat setempat menjelaskan bahwa Massagala adalah tradisi yang sejak dahulu dilakukan untuk mengobati penyakit kulit yang dulu pernah melanda To Bentong. Syarif Longi menjelaskan Massagala adalah ritual atau upacara adat yang dilakukan untuk mengobati penyakit Puru, Sarampa’, Kasiwiang, Sagala (penyakit kulit dalam istilah Bugis).

Darwis Kadir memaparkan bahwa tradisi ini dilakukan apabila terdapat luka memar atau gatal-gatal pada kulit anak-anak atau orang dewasa yang belum pernah mengikuti Massagala. Durasi pelaksanaan tradisi ini yaitu sebulan. Selama berlangsung, orang yang mengikuti Massagala dilarang memakan-makanan tertentu, seperti makanan dari hewan yang disembelih; sapi, kambing, ikan yang dipancing dari sungai, dilarang menebang pohon dan memotong rumput, serta suami istri tidak diperbolehkan berhubungan badan. Hakikat dari tradisi ini adalah terinternalisasinya nilai-nilai perikemakhlukan dimana Massagala menjadi sarana melatih masyarakat To Bentong agar memelihara hubungan baik kepada sesama makhluk yaitu mempergunakan fasilitas alam sebijaksana mungkin dan menyembelih hewan secukupnya.

Syahdan. Itulah sekelumit cerita kebudayaan dari daerah penulis. Olehnya itu, dalam menyongsong pekan kebudayaan nasional, sangat penting bagi generasi Indonesia hari ini agar menulis kebudayaan sesuai konteks lokalitasnya masing-masing sebagai agenda mengabarkan budaya setempat kepada masyarakat Indonesia yang belum mengetahuinya. Upaya ini sekaligus merupakan strategi bagaimana merawat dan melestarikan budaya dari generasi ke generasi. Lewat tulisanlah budaya itu akan diingatkan kepada generasi berikutnya. Sebab, tulisan adalah budaya itu sendiri.

Sumber referensi:

https://www.kompas.com/stori/read/2023/03/16/130000879/10-suku-bangsa-terbesar-di-indonesia?page=all#page2

Buku Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam - Ali Syari’ati, Hal. 29

Buku To Bentong Barru Geliat di Kampung Budaya – Syarif Longi, Hal. 81

https://ettapedia.org/budaya/mengenal-manusia-belang-to-balo-di-barru/31/01/2021/

Buku Mengungkap Tabir To Balo di Tanah Bentong (Sebuah Tinjauan Sosiologis) – Darwis Kadir, Hal. 9

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MR
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini