Dugderan : Cara Masyarakat Semarang Untuk Menyambut Bulan Ramadhan

Dugderan : Cara Masyarakat Semarang Untuk Menyambut Bulan Ramadhan
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Setiap daerah pasti memiliki cara uniknya sendiri untuk menyambut bulan suci Ramadhan, bulan dimana setiap umat Islam wajib menjalani ibadah puasa dari subuh hingga adzan maghrib. Di Jawa Tengah, tradisi Nyadran menjadi bagian dari perayaan, sementara di wilayah barat Indonesia, seperti Aceh, tradisi Meugang dianut, dan di pusat ibu kota, suku Betawi merayakan Nyorog sebagai persiapan menyambut bulan Ramadhan. Di Semarang, ada tradisi yang sangat unik untuk menyambut bulan suci ini, yaitu Festival Dugderan

Apa Itu Festival Dugderan?

Dugderan adalah sebuah festival khas yang menjadi tradisi tahunan di Kota Semarang. Festival ini bertujuan untuk menandai dimulainya bulan suci Ramadhan, periode dimana umat Islam diwajibkan untuk berpuasa dari subuh hingga adzan maghrib. Festival Dugderan memiliki peran penting dalam mengingatkan penduduk Semarang tentang pentingnya bulan Ramadhan dalam agama Islam serta dalam mempererat ikatan sosial antar warga kota.

Selama festival Dugderan, wali kota Semarang membuka perayaan ini dengan meriah, dimulai dengan penabuhan bedug yang menggema di seluruh kota, dan diiringi dengan pelepasan mercon dan kembang api yang memenuhi langit. Festival ini memiliki peran penting dalam mempersatukan warga Semarang dari berbagai latar belakang etnis dan sosial. Selain itu, festival ini juga memiliki nilai historis, karena mencerminkan perlawanan terhadap pengelompokan etnis yang diterapkan oleh pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.

Asal Usul Dugderan.

Festival Dugderan memiliki sejarah yang cukup menarik. Sejarah festival ini dimulai pada tahun 1881 di saat Semarang diperintah oleh Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung Purbaningrat atau dikenal sebagai KRMT Purbaningrat. Pada masa itu, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan yang memecah masyarakat Semarang menjadi empat kelompok etnis yang terpisah, yakni Pecinan (etnis Tionghoa), Pakojan (etnis Arab), Kampung Melayu (warga perantauan dari luar Jawa), dan warga Jawa asli. Kyai Raden Mas Tumenggung Purbaningrat yang melihat kebijakan ini hanyalah siasat Belanda untuk memecah persatuan masyarakat Semarang. Bupati Purbaningrat kemudian menciptakan Festival Dugderan sebagai bentuk protes terhadap kebijakan kolonial ini.

Nama "Dugderan" sendiri diambil dari onomatope (menirukan sebuah suara), dengan "dug" yang merujuk pada suara bedug yang dipukul, dan "der" yang merujuk pada suara petasan yang meledak. Festival ini tidak hanya bertujuan untuk menyambut bulan Ramadhan yang akan segera tiba, tetapi juga sebagai sarana untuk mempersatukan berbagai kelompok etnis dalam masyarakat Semarang. Dugderan menjadi simbol perlawanan terhadap diskriminasi etnis dan pemisahan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Melalui festival ini, masyarakat Semarang berusaha untuk mempertahankan persatuan dan integritas bangsa Indonesia. Dalam festival ini juga ditampilkan makhluk mistis khas Semarang yaitu Warak Ngendhog, hewan mistis khas Semarang yang melambangkan kerukunan antar-etnis di kota tersebut.

Ritual dan Tradisi Dugderan

Festival Dugderan memiliki serangkaian ritual yang khas dan bersejarah. Acara dimulai satu minggu sebelum awal bulan suci Ramadhan dan berakhir pada hari sebelum bulan Ramadhan dimulai (H-1). Festival dibuka dengan penabuhan bedug yang mengumumkan dimulainya festival, sementara mercon dinyalakan sebagai tanda kegembiraan. Puncak festival Dugderan adalah kirab akbar, sebuah perayaan budaya yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat.

Prosesi pembacaan doa di Dugderan oleh walikota semarang | Foto: Wikimedia Commons
info gambar

Selama kirab ini, masyarakat Semarang memainkan peran penting dengan menampilkan tarian-tarian tradisional, drumband, pasukan merah-putih, atraksi bela diri, dan pertunjukan kostum yang mencerminkan kekayaan budaya Semarang. Selama kirab akbar, Warak Ngendhog, makhluk mistis khas Semarang yang melambangkan kerukunan antar-etnis di kota, turut serta. Ini menjadi simbol persatuan etnis Tionghoa, Arab, dan Jawa. Penutupan festival Dugderan ditandai dengan seruan wali kota Semarang untuk menjalani ibadah puasa dengan baik, diiringi suara mercon, petasan, dan penabuhan bedug yang menggema di seluruh kota.



Festival Dugderan pada akhirnya adalah tradisi yang menjadi bukti bahwa masyarakat Semarang menolak segala bentuk diskriminasi dan pengelompokan etnis yang berdampak buruk dalam persatuan dan integritas bangsa Indonesia. Apalagi dengan kehadiran Warak Ngendhog yang memeriahkan festival Dugderan memiliki makna persatuan dari 3 etnis yaitu Tionghoa, Jawa, dan Arab. Oleh karena itu pelestarian terhadap festival ini sangatlah diperlukan di zaman yang penuh gempuran dari budaya luar. Selain untuk mempertahankan identitas kota Semarang, pelestarian dilakukan untuk mendidik generasi muda akan indah nya keberagaman dan pentingnya persatuan di dalam perbedaan.

Referensi:

Wiyono, P. (n.d.). Catat Tanggalnya! Dugderan di Semarang Kali Ini bakal Lebih Meriah. Diakses dari: https://jateng.solopos.com/catat-tanggalnya-dugderan-di-semarang-kali-ini-bakal-lebih-meriah-1569158

Ningsih, W. L. (2021, December 6). Dugderan, Tradisi Sambut Ramadan di Semarang Halaman all - Kompas.com. Diakses dari: https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/06/110000879/dugderan-tradisi-sambut-ramadan-di-semarang?page=all#page3

Sondang, E. (2021, September 27). Dugderan: Asal Muasal dan Makna Tradisinya Jelang Ramadan. Diakses dari:

https://id.theasianparent.com/dugderan

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini