Pusaka Waris Adat Samin sebagai Wujud Keadilan Dalam Bingkai Budaya

Pusaka Waris Adat Samin sebagai Wujud Keadilan Dalam Bingkai Budaya
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Secara das sollen pemerintah telah melakukan jaminan secara yuridis atas tercapainya pemenuhan hak-hak tradisional warga negara, yang berupa hak-hak khusus yang melekat atas adanya kesamaan genealogis, kesamaan wilayah, hak atas tanah ulayat, serta objek adat yang dipraktekan dalam masyarakat[1].

Konstitusi Indonesia mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum beserta hak-haknya, hal ini tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Ketentuan ini menegaskan bahwa Indonesia mengenal adanya pluralisme hukum disamping berlakunya peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi.

Konsekuensi hukum dengan adanya pluralisme hukum, ialah perbedaan penyelesaian perkara dalam ranah privat atau keperdataan. Seperti halnya dalam masalah waris, dari ketiga hukum yang ada di Indonesia yakni Islam, Eropa dan Adat memiliki perbedaan dalam pemberian harta dari pewaris kepada para waris yang masing-masing diatur dalam sebuah hukum waris adat.

Hukum waris adat diartikan sebagai aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan atau harta waris diteruskan atau dibagi dari pewaris kepada para waris dan generasi ke generasi berikutnya.[2]

Ter Haar mengatakan bahwa hukum waris adat merupakan aturan-aturan adat yang mengatur tentang bagaimana dari masa ke masa proses penerusan dan pengalihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari satu generasi ke generasi.

Indonesia dengan lebih dari dua ribu komunitas adat masing-masing memiliki corak yang tersendiri dalam pengaturan hukum waris, bahkan perbedaan hukum waris dapat terjadi meskipun dalam bentuk kekerabatan yang sama.

Hukum waris adat digunakan bagi penduduk yang masih menganut sistem hukum adat dan tidak menundukkan diri pada hukum eropa maupun Islam. Penerapan hukum waris adat tercermin dalam pembagian harta warisan dalam masyarakat Samin yang berada di Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro dalam wilayah administratif Jawa Timur.

Pewaris dalam hukum waris adat Samin adalah anak dari pewaris baik laki-laki ataupun perempuan kandung maupun pupon yang sudah berkeluarga dan termasuk saudara istri/suami, dan orang tua dari pewaris apabila pewaris tidak memiliki keturunan.[3]

Masyarakat Samin mengenal adanya istilah sa’pikul sama dengan sa’gendong. Pembagian harta waris dalam masyarakat Samin tidak mengenal adanya besaran tertentu untuk gender anak.

Artinya masyarakat suku Samin tidak membedakan pembagian harta warisan dari struktur geneologi patrilineal ataupun matrilineal yakni yang berasal dari garis bapak ataupun ibu. Namun, pemberian yang diberikan kepada waris anak laki-laki dan anak perempuan sama besarnya, karena anak laki-laki memikul tanggung jawab terhadap keluarganya sedangkan anak perempuan masih terikat dengan kewajibannya terhadap orang tuanya.

Pembagian seperti dalam masyarakat Samin mengadopsi paham sedulur sikep yang menjadi asas bagi masyarakat Samin untuk memperlakukan semua manusia ciptaan tuhan sebagai saudara, tanpa rasa diskriminasi dan mendapatkan hak yang sama.

Nilai-nilai yang ada dalam sedulur sikep diimplementasikan masyarakat Samin dalam kehidupan sehari-harinya yang tercermin dalam tindakannya sebagai petani yang menyongsong ketahanan pangan bangsa, dan salah satunya menjelma menjadi hukum waris adat.

Sistem kewarisan adat Samin dapat dikatakan sebagai sistem individual. Dapat dikatakan sebagai sistem individual manakala harta warisan dapat dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan dengan “hak milik”, yang berarti setiap waris berhak memakai, mengolah, dan menikmati hasilnya atau juga mentraksasikannya, terutama setelah pewaris wafat[4].

Dalam penerusan harta waris, masyarakat Samin kerap melakukannya dengan bentuk wekas[5]ketika pewaris masih hidup, pada umumnya orang tua dalam masyarakat Samin akan memberitahukan kepada anak-anaknya mengenai penunjukan harta warisan tertentu atau menunjukan batas-batas terhadap sawah atau tanah yang akan diberikan kepada anak-anaknya.

Selain itu, masyarakat Samin adakalanya belum sempat membagikan harta warisnya ketika dia masih hidup, sehingga pewarisan dilakukan ketika dia sudah meninggal dengan diwakilkan oleh juru bagi.

Juru bagi biasanya adalah orang tua yang masih hidup (janda atau duda), anak tertua (laki-laki maupun perempuan) dan pemuka adat yang dirasa dapat berlaku jujur, adil, dan bijaksana yang kemudian melakukan musyawarah keluarga pewaris untuk menentukan bagian mana yang akan diwariskan atau menetapkan status harta waris tersebut sebagai waris gantungan.[6]

Hukum waris adat Samin mengenal adanya waris melalui hubungan pertalian darah, mupu[7]dan juga hubungan perkawinan. Sebab adanya hak seseorang untuk mewaris harus terikat dengan ketiga hubungan tersebut. Setelah pewaris wafat, maka harta warisannya harus dibagikan kepada para waris atas dasar hak untuk mewaris.

Anak kandung yang sah merupakan ahli waris dalam hubungan pertalian darah masyarakat Samin, sedangkan anak pupon[8], anak tiri, atau anak yang tidak sah berstatus sebagai waris, namun ketentuan tersebut tidak berlaku apabila tidak adanya anak kandung. Dalam jalannya pernikahan seorang pasangan suami istri dari suku Samin belum dikaruniai anak dan tak kunjung mengangkat seorang anak dan kemudian salah satu dari pasangan tersebut meninggal, maka yang berhak mewarisi harta tersebut adalah saudara dari pewaris yang meninggal dunia.

Namun apabila hal tersebut dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan, karena pasangan yang ditinggal meninggal merasa harta tersebut diperoleh secara bersama-sama maka, diadakanlah musyawarah untuk menentukan bagian yang berhak diperolehnya.

Konsep hukum waris adat Samin tetap eksis hingga saat ini, bahkan tak jarang pemeluk agama Islam di suku Samin masih menerapkan hukum waris Samin, hal ini dikarenakan hukum dalam waris adat Samin menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dengan tidak dibedakannya antara anak laki-laki dna anak Perempuan.

Masyarakat Samin yang menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan tidak memandang harta warisan dalam segi matematis, namun keberadaan nilai-nilai yang ada di dalamnya melanggar tidaknya perbuatan pembagian waris dengan ajaran sedulur sikep hingga dapat dilahirkannya konsep hukum waris adat seperti tercermin dalam masyarakat adat Samin saat ini.

Referensi:

[1] Jawahir Thontowi, Pengaturan Masyarakat Hukum Adat dan Implementasi Perlindungan Hak-hak Tradisionalnya, Pandecta, Vol 10, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2015, hlm 2.

[2] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm 203.

[3] Sampan, Wawancara, Minggu 12 Maret 2023.

[4] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm 204.

[5] Wekas adalah Bahasa Jawa dari pesan atau wasiat.

[6] Waris gantungan merupakan harta waris yang masih menunggu ahli waris hadir atau ahli waris dewasa, dengan waris gantungan maka harta warisan masih dikuasai oleh ibunya atau diserahkan kepada orang lain yang dapat diamanati sebagai pengurus waris tersebut.

[7] Mupu adalah istilah Jawa dari adopsi anak

[8] Anak pupon adalah anak yang didapat dari proses pengangkatan atau sering disebut sebagai anak adopsi

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini