Mendaki dan Mengenal Peninggalan Neo-Megalithik dan Tradisi di Gunung Arjuno

Mendaki dan Mengenal Peninggalan Neo-Megalithik dan Tradisi di Gunung Arjuno
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukmelambung

Gunung Arjuno menyimpan banyak misteri dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Banyak peninggalan arkeologi Neo-Megalithik di dalamnya yang tidak banyak orang tau. Peninggalan itu berupa gua, Pertapaan, petirtaan, candi, punden berundak dan masih banyak lagi. Diperkirakan situs peninggalan itu warisan masa Majapahit akhir yang dipergunakan untuk tradisi keagamaan.

Dikutip dari Pendakiawp untuk menuju situs arkeologi peninggalan masa Neo-Megalithik Gunung Arjuno kita harus mendaki sekitar 5 jam. Pendakian bisa dilakukan lewat Desa Tambakwatu, Kabupaten Pasuruan. Letak situs Neo-Megalithik ini berada di ketinggian 1.000 - 2000 meter di atas permukaan laut.

Situs Neo-Megalithik ini adalah peninggalan tradisi pada masa zaman Majapahit akhir, dimana banyak masyarakat pada masa itu kembali melakukan tradisi keagamaan atau pemujaan kepada roh nenek moyang dan Gunung. Masyarakat Jawa Kuno percaya bawasannya roh nenek moyang dan para dewa bersemayam di tempat-tempat yang tinggi, salah satunya adalah di puncak-puncak Gunung termasuk Gunung Arjuno.

Dari tradisi keagamaan itulah banyak situs arkeologi yang dapat kita temui di Gunung Arjuno sampai sekarang. Selain itu tradisi keagamaan itu masih bisa kita lihat di situs Neo-Megalithik yang dilakukan oleh masyarakat sekitar.

Perjalanan ke Situs Neo-Megalithik di Gunung Arjuno

Situs Neo-Megalithik di Gunung Arjuno ini sangat banyak, tersebar di lereng Gunung Arjuno. Namun ada beberapa situs yang banyak orang kunjungi seperti ziarah, lelaku, spiritualitas dan Pendakian Gunung. Selain itu kebanyakan situs di sini masih dipergunakan oleh untuk pemujaan, berdoa oleh masyarakat sekitar.

Guo Ontobugo Gunung Arjuno via Purwosari © Dokumentasi Pribadi @reza_arivianto

Peninggalan arkeologi Neo-Megalithik yang akan kita kunjungi ini antara lain, Gua Ontobugo, Tampuono, Eyang Sakri, Eyang Semar, Candi Mangkhutoromo dan Candi Sepilar. Semua situs ini satu jalur dengan pendakian Gunung Arjuno. Selain itu lokasi situs juga memiliki suasana yang nyaman, menyatu dengan alam.

Di awal perjalanan kita akan melewati pemukiman, setelah itu masuk melewati perkebunan kopi. Di tengah Perkebunan Kopi sudah terdapat gubuk, orang yang berjualan dan untuk istirahat. Untuk kendaraan bisa diparkirkan disini. Tidak jauh dari situ ada Gua Ontobugo.

Situs Ontobugo ini berada di ketinggian 1.000 Mdpl. Situs Ontobugo ini terlihat Ceruk kecil dibawah bukit batu atau masyarakat disini menyebutnya gua. Nama Ontobugo (Antaboga) sendiri di ambil dari seseorang lelaku yang melakukan ritual disana. Ia bermimpi bertemu dewa ular besar bernama Antaboga, dari situlah nama Ontobugo (Antaboga) diambil. Menurut legenda juga Dewa Antaboga ini adalah memiliki tugas menyangga bumi dan di anggap dewa penguasa dunia bawah.

Ornamen Gua Ontobugo ini bersisik menyerupai ular. Selain itu juga terdapat meja untuk menaruh sesaji atau sesembahan.

Setelah dari Ontobugo kita bisa lanjut jalan ke situs Tampuono atau pos 2 pendakian Gunung Arjuno. Perjalanan ke Tampuono memakan waktu 2 jam. Di perjalanan menuju Tampuono nanti kita akan bertemu situs Watu Kursi di pinggir jalan pendakian.

Situs Watu Kursi berupa batu yang bentuknya menyerupai kursi. Bagian atas Situs watu kursi yang datar ini menyerupai altar. Biasanya para peziarah dan spiritual meletakkan sesaji disana sebagai rangkaian perjalanan mereka.

Tampuono © Dokumentasi Pribadi @reza_arivianto

Akhirnya kita sampai Tampuono. Dikomplek Tampuono terdapat beberapa obyek peninggalan Neo-Megalithik diantaranya Arca Dwarapala, Eyang Sekutrem, Eyang Abiyasa dan Sendang Dewi Kunthi. Arca Dwarapala ini terbuat dari batu andesit yang dipahat sederhana. Bentuk Arca Dwarapala ini bentuknya sangat Statis, matanya yang melotot, kaku, mulut menyeringai dan rambutnya ikal di urai ke belakang.

Sedangkan Situs Eyang Sekutrem ini sudah dalam pembugaran, dibuatkan bangunan semi permanen. Dalam penelitian Marsudi Universitas Negeri Malang Di dalam gubuk ada Arca Eyang Sekutrem yang sudah aus dan ada beberapa sisi yang retak. Arca Eyang sekutrem ini berukuran 90x40 cm. Namun Arca itu sudah tidak ada, hanya tinggal 6 bangunan tangga membentuk altar.

Sendang Dewi Kunthi adalah sumber mata air atau petirtaan yang biasa dibuat untuk mensucikan diri bagi para peziarah spiritual. Air disini sangat terjaga, nampak bersih dan sangat segar untuk diminum.

Setelah puas berkeliling Tampuono perjalanan berlanjut ke Eyang Sakri, yang hanya butuh waktu 10 menit. Situs Eyang Sakri ini hanya berupa bangunan gubuk semi permanen, di dalam gubuk itu terlihat batu yang disusun bertingkat menyerupai altar untuk menaruh persembahan.

Dari Eyang Sakri berlanjut ke situs Eyang Semar, perjalanan sekitar 1,5 jam. Situs Eyang Semar berada di ketinggian 1.800 mdpl dengan area sedikit terbuka. Disini ada 3 gubuk semi permanen yang bisa buat istirahat.

Arca Eyang Semar © Dokumentasi Pribadi @reza_arivianto

Situs Eyang Semar ini berupa Arca yang menyerupai Semar dalam wayang kulit. Bentuk Arca Eyang Semar ini sangat sederhana, khas dari peninggalan Neo-Megalithik. Dalam tradisi jawa Eyang Semar ini digambarkan sebagai Nenek Moyang yang menjadi pamong orang Jawa dimana kekuatan dan kesaktiannya melebihi Dewa Indra.

Perjalanan berlanjut ke situs Mangkhutoromo, Situs Mangkhutoromo ini cukup besar berukuran 3,1 cm x 3,3 cm. Kebanyakan orang yang kesini menyebutnya Candi Mangkhutoromo, berbentuk punden berundak dan di atasnya terdapat altar serta batu buat persembahan.

Tidak jauh dari Mangkhutoromo terdapat Candi Sepilar. Candi Sepilar ini sangat Istimewa karena jalan untuk menuju kesana berupa tangga dan di kanan kiri terdapat Arca Dwarapala. Arca Dwarapala disini kurang lebih 21 Arca yang seolah mengawal dan mematai kita saat berjalan menuju puncak sepilar (puncak tertinggi situs Neo-Megalithik).

Candi Mangkhutoromo © Dokumentasi Pribadi @reza_arivianto

Candi Sepilar ini berada di ketinggian 2.150 mdpl. Penamaan Sepilar sendiri menurut masyarakat sekitar karena puncak candinya berbentuk pilar. Namun ada juga yang bilang nama sepilar berasal dari akronim Sepi ing Nalar (sepi dalam pikiran). Di puncak Candi Sepilar terdapat 3 bangunan berupa altar.

Candi Sepilar ©Dokumentasi Pribadi @reza_arivianto

Sangat mengesankan sekali bisa mendaki sambil mengenail peninggalan Neo-Megalithik masa Majapahit akhir. Bagaimana hebatnya orang zaman dulu untuk berdoa dan bersembahyang ke Tuhan yang Maha Esa mereka membangun bangunan suci yang sangat menyatu dengan penciptanya.

Sudah sepatutnya kita sebagai generasi muda menjaga dan melestarikan peninggalan arkeologi Neo-Megalithik ini sebagai warisan yang tak ternilai yang berada di Gunung Arjuno

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini