Bong Suwung, Cita-Cita Anak di Sepanjang Rel Kereta

Bong Suwung, Cita-Cita Anak di Sepanjang Rel Kereta
info gambar utama

Sinar matahari pagi mulai masuk ke dalam kamar, menandakan bahwa pagi telah tiba. Kulihat jam di layar hpku, jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Ternyata alarm yang sudah kupasang sejak malam tak mempan juga untuk membangunkanku. Bergegas aku mandi karena hari ini adalah hari pertamaku sebagai volunteer dan mengajar anak-anak di Bong Suwung.

"Bong Suwung" sebuah nama yang sering dikonotasikan sebagai daerah yang memiliki rekam sejarah kelam. Bong Suwung lekat dengan kehidupan dekaden yaitu sebagai tempat kehidupan para pekerja yang menjual jasa seks. Namun, ini bukan kisah tentang bagaimana mereka menjajakan jasanya atau bagaimana mereka dapat terjerumus dalam pekerjaan itu. Ini adalah sebuah kisah tentang orang tua dan anak yang memiliki semangat tinggi untuk keluar dari lingkaran kelam dan berusaha untuk selalu memberikan pendidikan yang terbaik.

Pertama kali aku menginjakkan kaki di Bong Suwung, sesak adalah kesan yang langsung muncul di kepala. Rumah berpetak-petak dengan atap yang rendah terlihat di sepanjang rel kereta. Secara geografis Bong Suwung memang berada di barat Stasiun Tugu Yogyakarta. Tempat ini masuk dalam Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Yogyakarta. Bong Suwung tidak memiliki status administrasi yang jelas. Tanah yang mereka tempati merupakan Sultan Ground yang hak penggunaan diberikan pada PT. KAI.

Teringat jelas diingatan ketika aku dan teman-temanku datang ke aula berkumpul dan memperkenalkan diri kepada mereka. Binar kebahagiaan dan sikap manja dari anak-anak itu menyiratkan sebuah kasih sayang. Mereka selalu menunjukkan sikap yang menunjukkan bahwa kami harus selalu bersama mereka. Mereka tidak hanya menunjukkan sikap manja, tetapi lebih dari itu. Mulai menangis ketika kita telah usai dan ingin berpamitan pulang hingga permintaan mereka yang selalu ingin kami mengantarkan mereka pulang ke rumah masing-masing. Ini merupakan pertama kalinya bagiku merasa begitu dibutuhkan oleh orang lain.

"Halo adik-adik sekarang giliran kalian ya yang berkenalan, nanti disebutkan nama, umur, sekolah, dan cita-cita," ucap temanku sang pembawa acara.

"Dokter''

"Polisi"

"Polwan"

"Masinis"

"Pramugari"

"Artis"

Photo by Afan Husein Julian
info gambar

Sampai sekarang aku masih mengingat setiap cita-cita yang diucapkan oleh mereka. Meskipun mereka hidup dalam sebuah lingkungan yang dianggap "buruk", tetapi mereka memiliki pandangan yang luas akan kehidupan yang ingin dicapai di masa depan. Sebagian orang menganggap bahwa cita-cita anak kecil merupakan hal yang tidak pasti. Itu hanyalah sebuah ucapan yang bisa berubah seiring berjalannya waktu. Namun, bagiku itu merupakan hal yang luar biasa ketika diucapkan oleh anak anak Bong Suwung. Binar semangat untuk mempunyai kehidupan yang lebih baik dari orang tua mereka terlihat dari setiap cita-cita yang mereka ucapkan.

"Mbak, besok datang lagi nggak kesini?" ucap seorang anak ketika kami ingin berpamitan pulang.

"Enggak e, kita kesini lagi minggu depan, hari Sabtu. Jadi jangan lupa dateng ke aula yaa hari Sabtu depan. Jangan lupa mandi dulu sebelum berangkat kesini," jawabku membalas pertanyaan mereka.

"Yah mbak, tapi kan besok masih libur. Kita nggak sekolah mbak."

"Ayolah, Mbak besok datang kesini lagi. Kita mewarnai dan belajar lagi," rengek mereka padaku dan teman-teman yang lain.

Ada keinginan dariku untuk besok datang lagi ke Bong Suwung mengajar mereka lagi. Namun, apalah daya waktuku sudah terisi dengan jadwal kegiatan yang lain. Selain itu, kesepakatan dengan teman-teman volunteer yang lain kita hanya akan melakukan kegiatan ini seminggu sekali.

"Kita nggak bisa e, besok soale ada acara," ucap temanku

"Yah," hanya itu yang keluar dari mulut anak itu. Satu kata yang menunjukkan sebuah kekecewaan. Raut merekapun berubah menjadi sedih.

"Mbak, nanti anterin aku yaa kalau pulang."

"Mbak, pegang tanganku."

"Mbak, aku jangan ditinggal."

"Mbak, aku takut sama guk-guk (anjing)."

"Mbak, nyebrang relnya bareng."

"Mbak, gendong."

"Mbak, solatnya di mushola yang sana aja."

Masih banyak keinginan dan permintaan manja mereka yang terucap pada kami. Menurutku mereka memang manja, tetapi aku menyukai mereka. Karena bersama mereka aku merasa dibutuhkan, aku merasa bisa bermanfaat bagi orang lain. Meskipun sedikit ilmu yang dapat kuberikan pada mereka, tetapi aku tetap bahagia karena bisa membantu mereka untuk terus berkembang. Bahkan ada permintaan dari salah satu orang tua yang menginginkan kami untuk mengajarkan anak mereka mengerjakan PR karena menurutnya soalnya sudah sulit dan mereka tidak bisa mengajari.

Bagiku Bong Suwung bukanlah tempat yang penuh akan kekelaman. Anak-anak Bong Suwung ini menunjukkan sebuah cahaya yang terang akan sebuah kehidupan. Ada banyak cita-cita dan keinginan anak-anak yang ingin mempunyai kehidupan lebih baik dari orang tua mereka. Hidup dari sebuah lingkungan yang “buruk” tidak selalu menunjukkan bahwa mereka akan selamanya buruk.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

UA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini