Kerrabhan Sapeh, Simbol Yang Mengangkat Harkat dan Martabat Masyarakat Madura

Kerrabhan Sapeh, Simbol Yang Mengangkat Harkat dan Martabat Masyarakat Madura
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Dengan iringan musik saronèn (gamelan khas Madura), parade bagi sapi yang akan bertanding (èkerrap) resmi dimulai. Semua sapi berusaha merilekskan otot-ototnya sekaligus menunjukkan keindahan pakaian (ambhin) dan aksesoris warna-warni kepada seluruh penonton. Setelah parade usai, pakaian dan semua aksesoris dilepas, kecuali topi (obet) yang memberikan rasa percaya diri dan kekuatan pada sapi.

Debu mulai membumbung tinggi, ketika sepasang sapi dengan alat tambahan (kalèlès) untuk dinaiki oleh pawang tongkok (joki/sais) bergerak dengan langkah cepat memasuki area pertandingan. Mereka bertarung adu cepat dengan pasangan sapi jantan lainnya. Para penonton pun bersiap dengan tepukan tangannya untuk menyambut para peserta. Tak jarang pula, penonton juga bersiap untuk melarikan diri apabila secara tiba-tiba ada sapi yang keluar dari area pertandingan menuju ke tempat penonton.

Selama pertandingan berlangsung, kalèlès beberapa kali terbang di udara, sementara joki mencoba mengendalikan dan mendemonstrasikan keahliannya. Sorakan dari para penonton semakin menambah kemeriahan pertandingan ini.

Betapa hebatnya tradisi Madura yang satu ini. Demi menyaksikan tradisi ini, banyak masyarakat yang rela berpanas-panasan, bergelut dengan debu, serta berdesakan dengan penonton lainnya. Selain itu, tak jarang pula penonton yang hadir berasal dari luar daerah yang jauh.

Contohnya seperti kala itu, aku berhasil berkenalan dengan penonton yang berasal dari Jawa Tengah, padahal kerapan sapi ini diadakan di Bangkalan, daerah asalku. Ketika aku bertanya alasannya datang untuk menonton, jawabannya adalah karena dia menyukai tradisi kerapan sapi ini. Ketika itu, aku merasa bangga karena tradisi daerah asalku diminati dan disukai oleh banyak orang. Dan yang lebih mengherankan lagi, saat menyaksikan kerapan sapi, ternyata ada bule yang juga ikut menyaksikan. Tetapi saat itu aku tidak sempat menyapa mereka, dikarenakan padatnya penonton yang menghalangi.

Berdasarkan cerita yang aku dengar, ternyata masyarakat Madura percaya bahwa sapi memiliki raja. Raja sapi betina berada di Desa Gadding, Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep. Sedangkan raja sapi jantan berada di daerah Sapudi, yaitu sebuah pulau di sebelah timur Madura.

Menurut cerita sejak ratusan tahun lalu, sapi betina di Gadding dipelihara dengan baik sehingga dikenal sebagai sapi yang berkualitas. Dari daerah itu maka lahirlah kontes kecantikan sapi betina yang dikenal dengan istilah sapè sono’. Sementara itu, daerah Sapudi dikenal sebagai daerah yang menghasilkan sapi jantan unggul sehingga dijadikan sebagai sapi untuk kerapan.

Karapan sapi terdiri dari beberapa macam, yaitu kerap kèni’ (kerapan kecil), kerap rajâ (kerapan besar), kerap onjângan (kerapan undangan), kerap karèsidènan (kerapan tingkat keresidenan), dan kerap jar-jaran (kerapan latihan).

Kerap kèni’ sering kali diikuti oleh sapi jantan kecil yang tidak terlatih dari suatu kecamatan. Pemenangnya dapat mengikuti kerap rajâ atau kerap negara yang diadakan dua kali di ibukota kabupaten dan memperebutkan Piala Bupati. Pemenang kerap rajâ akan berpartisipasi dan bersaing memperebutkan Piala Presiden yang sangat bergengsi.

Selain itu, kerap onjângan biasanya diadakan untuk merayakan hari besar, syukuran, dan acara lainnya. Acara tersebut biasanya berlangsung di kota Pamekasan dan diikuti oleh para juara dari empat kabupaten di Madura untuk menutup musim kerapan. Sedangkan kerap jar-jaran sering digunakan untuk melatih sapi balap sebelum diberangkatkan untuk bertanding.

Bagi sebagian besar masyarakat Madura, kerapan sapi bukan sekedar tadisi rakyat pada umumnya atau sekadar warisan turun-temurun. Karapan sapi merupakan simbol kebanggaan, meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Madura. Hal itu dikarenakan semua sapi yang digunakan dalam kerapan sapi memiliki kualitas yang sangat baik dan mendapat perlakuan khusus dari pemiliknya.

Pemilihan sapi sangat menentukan kemenangan dalam kompetisi kerapan sapi. Sapi yang cocok untuk kerapan biasanya ditentukan pada umur 3 sampai 4 bulan. Kemudian, mulai umur 10 bulan, sapi mulai dilatih, diberi tanaman obat, dipijat, dan dimandikan. Hal ini terus dilakukan hingga sapi siap turun ke arena.

Dalam kerapan sapi, harga diri para pemilik sapi dipertaruhkan. Jika menang, mereka mendapat hadiah dan uang taruhan. Selain itu, harga sapi pemenang juga melambung tinggi. Jika kalah, harga diri pemilik sapi jatuh dan kehilangan uang yang tidak sedikit. Sebab, perawatan sapi terbilang mahal. Berbagai cara pun rela dilakukan demi meraih kemenangan. Termasuk menyewa seorang dukun untuk menjaga sapi-sapi tersebut aman dari serangan sihir musuh.

Kerapan Sapi merupakan pertunjukan unik yang masih dipertahankan hingga saat ini. Tradisi ini menjadi simbol Madura dan menjadi destinasi wisata yang menarik perhatian wisatawan domestik maupun mancanegara.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SC
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini