Mengupas Makna Nyorog, Tradisi Khas Betawi Menjelang Idulfitri

Mengupas Makna Nyorog, Tradisi Khas Betawi Menjelang Idulfitri
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Sebagaimana yang kawan GNFI ketahui, Indonesia menyimpan bermacam budaya, tradisi, dan adat istiadat yang tersebar di seluruh penjurunya. Mulai dari yang diselenggarakan secara sederhana hingga meriah. Dari mengenang sebuah peristiwa sampai merayakan sebuah hari. Tak luput dari tradisi.

Seperti halnya suku Betawi, mereka memiliki tradisi khusus dalam menyambut Idulfitri. Nyorog namanya, yang dalam bahasa Betawi artinya nganter atau menghantarkan. Menghantarkan di sini maksudnya adalah menghantarkan makanan atau bahan pangan ke saudara, tetangga, atau tokoh penting dalam suatu lingkungan.

Tradisi Nyorog dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada yang lebih tua. Tak heran, yang biasa melakukan Nyorog atau menghantarkan makanan adalah anak kecil, remaja, atau pengantin baru.

Selain sebagai penghormatan, Nyorog juga dilakukan dengan tujuan menjalin silaturahmi dan mempererat tali persaudaraan. Nilai berbagi pun terselip dalam tradisi ini.

Umumnya, Nyorog mulai dilangsungkan sekitar seminggu menjelang Idulfitri. Marak kita jumpai anak-anak dan remaja berlalu lalang di waktu tersebut. Biasanya mereka memakai rantang sebagai wadah hantaran. Namun di era modernisasi seperti sekarang, tak jarang kita melihat orang menggantinya dengan hampers atau parcel yang cenderung lebih praktis dan aesthetic.

Di tempat saya tinggal, Kampung Sawah, kota Bekasi, Jawa Barat, warga setempat biasa memberi hantaran khas Idulfitri seperti ketupat sayur, opor, atau rendang. Dan satu menu unik yaitu kentang yang dipotong besar-besar. Bisa dicampur bihun, ditumis, atau dijadikan sayur santan. Dimasukkan ke dalam rantang, kemudian dihantarkan ke rumah tetua.

Lalu di waktu hantaran datang, tuan rumah langsung memberikan makanan kepada sang tamu sebagai balasan. Perbincangan kecil pun tak terhindari, merefleksikan tujuan nyorog sendiri, yaitu menjalin silaturahmi. Terlebih bagi mereka yang rumahnya berjauhan sehingga jarang bersua, Nyorog adalah momen yang tepat untuk temu kangen.

Sejarah Tradisi Nyorog Bermula

Mengutip dari Okezone, Menurut Yahya Andi, budayawan betawi, nyorog berawal dari sebuah peristiwa ritus baritan atau upacara adat yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terkait peristiwa alam. Di mana, pada zaman dahulu sebelum Islam masuk ke Tanah Jawa, masyarakat sering membawakan makanan atau sesajen untuk dipersembahkan kepada Dewi Sri yang merupakan simbol kemakmuran.

Persembahan berbagai sesajen atau makanan itu dijadikan sebagai rasa syukur kepada Dewi kemakmuran karena telah memberikan tanah, tanaman, dan berbagai bahan makanan kepada kehidupan manusia

Kemudian, seiring berkembangnya zaman, dan mulai masuknya peradaban baru ke Nusantara, tradisi nyorog lantas dijadikan sebuah ajang penghormatan kepada mereka yang dituakan. Dalam artian, orang-orang yang berusia lebih muda sowan atau bersilaturahmi ke tempat tokoh tertua seraya membawakan berbagai macam makanan.

Pendapat lain mengatakan, konon tradisi yang sudah ada sejak tahun 1800 Masehi ini kali pertama dikenalkan oleh para wali Allah yang menyebarkan agama Islam dari tanah Sunda Kelapa. Tradisi ini terus dipelihara hingga masih eksis hingga saat ini. (senibudayabetawi.com)

Tak Hanya Menjelang Idulfitri

Bukan sekedar memperingati Idulfitri atau bulan suci Ramadhan saja, ternyata Nyorog juga kerap dilakukan sesudah pernikahan, menjelang pernikahan, atau setelah lamaran. Dalam rangka meminta restu, memperkenalkan diri pada keluarga pasangan, dan tentunya menjalin silaturahmi.

Meski aktivitas Nyorog masih sering dijumpai di kawasan saya, namun jarang ada yang mengenal istilahnya. Pertanda bahwa pengetahuan tentang kebudayaan sudah mulai terkikis arus zaman. Beruntung tradisi Nyorog tidak terlupakan sepenuhnya.

Dengan melestarikan tradisi Nyorog, kita tidak hanya mengimplementasikan apa yang sudah diwariskan para leluhur terdahulu. Tetapi juga mendidik diri sendiri akan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini; seperti berbagi dan bersilaturahmi.

Di tempat lain, banyak sekali tradisi serupa Nyorog. Seperti Nganteuran milik suku Sunda, Munjung di Jawa Tengah, Ater-Ater di Jawa Timur, dan Ma'burasa oleh suku Bugis.

Semuanya memiliki makna yang sama, membangun persaudaraan yang kokoh dan mengajarkan hidup berbagi.

Pun sama-sama harus dilestarikan oleh kita sebagai penerus bangsa.

Jangan biarkan budaya dan tradisi Indonesia punah dilahap globalisasi. Kendati zaman semakin maju, tradisi tidak boleh tertinggal.

Referensi:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini