Pionir dan Gotong Royong dalam Usaha Pelestarian Budaya

Pionir dan Gotong Royong dalam Usaha Pelestarian Budaya
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Hujan gerimis malam itu membantu menyamarkan air mata yang luruh di pipi. Bagaimana tidak, setelah digagas sejak lima tahun yang lalu, akhirnya kegiatan Festival Budaya Desa Pujananting (2021) bisa terlaksana. Bukan hanya butuh waktu yang panjang, tetapi juga butuh usaha, perjuangan, dan pengorbanan untuk sampai di titik itu. Wajarlah jika kebahagiaan itu kemudian diwakili oleh air mata panitia setelah mendengar sorak dan tepuk tangan dari warga.

***

Festival Budaya Desa Pujananting, Kab. Barru, Sulawesi Selatan, pertama kali kami “ucapkan” pada tahun 2016. Saat itu, kami (pemuda desa) masih berstatus mahasiswa di berbagai kampus di Makassar. Ide itu bermula saat kami melihat Desa Pujananting lebih banyak menganggarkan dana desa untuk kegiatan olahraga dibandingkan dengan kegiatan budaya.

Setelah berhadapan dengan berbagai dinamika, pada akhirnya ide itu hanya berakhir dalam wujud rencana. Kesibukan kami untuk menyelesaikan studi membuat gagasan itu timbul tenggelam dalam pembicaraan warung kopi. Sebenarnya, pada tahun 2018, kami mendapatkan lampu hijau dari pemerintah desa. Kami bahkan sudah melakukan riset lapangan. Hanya saja, karena terlalu banyak intervensi “politik” dari luar, kami memutuskan untuk tidak melanjutkannya.

Pada tahun 2020, kami mencoba jalan lain. Saat itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Jenderal (Dirjen) Kebudayaan mengadakan Lomba Cerita Budaya Desaku 2020. Atas nama Komunitas Pemuda Pelajar Mahasiswa Pujananting (KPPMP), dengan segala keterbatasan, kami memberanikan diri untuk berpartisipasi. Cerita yang kami angkat tentang sejarah dan eksistensi Genrang Riwakkang. Cerita yang pada akhirnya mengantarkan kami mendapatkan penghargaan 30 desa terbaik. Kami bahkan menjadi pemenang pertama untuk kategori penulisan narasi.

Berawal dari keberhasilan tersebut, kami mencoba terus konsisten bergerak di bidang kebudayaan. Kami melakukan penelusuran dan pendokumentasian budaya. Selain itu, kami juga menghimpun anak muda melalui kelompok-kelompok diskusi. Akhirnya, pada tahun 2021, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, melalui program Budaya Desa, kami mendapatkan bantuan pendanaan kegiatan pemajuan kebudayaan.

Pendanaan dari Kemendikbud ternyata tidak serta-merta dengan seketika membuat mimpi kami terwujud. Masalah baru muncul, sumber daya manusia kami, terutama teman-teman pemuda di desa, kesulitan untuk menjalankan konsep kegiatan sebagaimana yang sudah diajukan ke Kemendikbud. Akhirnya, keputusan terbaik saat itu adalah kolaborasi lintas lembaga dan lintas segmen masyarakat.

Kegiatan Festival Budaya Desa Pujananting 2021 akhirnya terlaksana berkat kolaborasi tiga lembaga pemuda, yaitu Komunitas Pemuda Pelajar Mahasiswa Pujananting (KPPMP), Karang Taruna Desa Pujananting, dan Forum Anak Negeri Desa Pujananting. Selain itu, dilakukan juga kerjasama dengan pemerintah desa, serta pelibatan penuh masyarakat melalui gotong royong. Seluruh elemen bahu-membahu untuk menyukseskan kegiatan tersebut.

Konsep dasar kegiatan Festival Budaya Desa Pujananting 2021 dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu seminar, lokakarya, dan atraksi budaya. Seminar diadakan dengan konsep tudang sipulung (berembuk) dan dialog budaya. Lokakarya dilaksanakan dalam bentuk belajar penulisan, dokumentasi, dan belajar dari tetua tentang cara menenun dan menganyam. Sementara itu, atraksi budaya dilaksanakan dengan konsep pesta panen, yaitu menampilkan berbagai kesenian tradisional, seperti genrang riwakkang, kecapi, gambus, silat, tari-tarian, hingga mappadendang.

Panitia dan warga berfoto bersama

Terselenggaranya Festival Budaya Desa Pujananting 2021 membuat kami bangga sekaligus cemas. Sebagaimana amanat pihak Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, bahwa kegiatan pemajuan kebudayaan harus berkelanjutan. Pendanaan dari Kemendikbud hanyalah stimulus awal agar pelaku budaya bisa terus bergerak melakukan pemajuan budaya secara mandiri.

Kecemasan itu semakin mendalam saat kami menyadari bahwa pada kegiatan tahun 2021, seluruh pegiat budaya yang terlibat mendapatkan honorarium. Sementara itu, pada perencanaan kegiatan tahun 2022, kami tidak punya apa-apa selain semangat dan kebersamaan. Meski demikian, organisasi-organisasi pemuda mencoba bergerak ke akar rumput untuk menjemput aspirasi warga. Hasilnya cukup menggembirakan, pelaku-pelaku budaya yang akan terlibat ternyata tidak mempermasalahkan soal ada tidaknya honorarium. Bagi mereka, bisa terlibat dalam pelestarian dan pewarisan kebudayaan sudah menjadi kebangaan tersendiri.

Kabar baik berikutnya hadir dari pemerintah desa. Berkaca pada kegiatan tahun 2021 yang sukses dan bahkan diapresiasi berbagai kalangan, pemerintah memutuskan menyediakan anggaran tahunan untuk kegiatan tersebut. Meski anggarannya cukup terbatas, tetapi setidaknya alokasi dana yang disediakan mencukupi kebutuhan dasar untuk pelaksanaan sebuah festival budaya.

Lebih mengejutkan lagi, setelah mengetahui bahwa pendanaan terbatas, warga secara sukarela terlibat dan membantu kebutuhan kegiatan. Bambu, papan, tenda, tali, bahkan pangan lokal yang disediakan untuk tamu undangan semua berasal dari sumbangsi warga. Alasan mereka untuk terlibat cukup sederhana: pesta panen adalah bentuk kesyukuran mereka kepada Tuhan atas segala limpahan hasil panen.

Cerita berlanjut, sebagaimana yang dijanjikan, Festival Budaya akan menjadi agenda tahunan pemerintah Desa Pujananting. Tahun 2023, kegiatan itu kembali dilaksanakan dengan skala yang lebih luas. Salah satu gagasan yang dibangun saat itu bahwa kebudayaan tidak mengenal batas wilayah. Kebudayaan adalah milik kolektif dan tanggung jawab bersama.

Kami kemudian mengundang pelaku-pelaku budaya yang berasal dari luar Desa Pujananting. Hal ini sebagai bentuk kolaborasi dan gotong royong kami dalam pelestarian kebudayaan. Salah satu atraksi yang paling memikat pada Festival Budaya tahun 2023 adalah sere api (menari di kobaran api).

Atraksi Sere Api atau menari di atas kobaran api

Setelah pelaksanaan kegiatan selama tiga tahun berturut-turut, salah satu tuah yang kami dapatkan adalah apresiasi dari pemerintah Kabupaten Barru. Festival Budaya Desa Pujananting rencananya akan dimasukkan ke dalam agenda pariwisata Kab. Barru melalui Dinas Pariwisata. Selain itu, apresiasi lain juga hadir dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, salah satu kesenian tradisional kami, Genrang Riwakkang, sedang dalam proses pendaftaran sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) ke Kemendikbud.

Dari seluruh cerita tentang pemajuan budaya Desa Pujananting, setidaknya ada dua hal penting terkait pemajuan budaya – terutama di desa yang masih dalam tahap berkembang. Pertama adalah pionir. Setiap daerah butuh pelopor, perintis, atau penggerak untuk melakukan kerja-kerja kebudayaan. Dengan adanya pionir, terlebih jika sudah ada bukti kerja nyata, dengan sendirinya masyarakat akan terlibat dan berperan dalam proses pelestarian dan pemajuan kebudayaan.

Hal kedua adalah gotong royong. Gotong royong merupakan kearifan lokal asli Indonesia. Di masyarakat Bugis misalnya, jauh sebelum penggunaan istilah kolaborasi, masyarakat sudah mengenal konsep sibali reso. Konsep ini secara sederhana dapat dimaknai sebagai gotong royong, kolaborasi, atau kerjasama di segala aspek kehidupan. Dengan melibatkan seluruh elemen dalam kegiatan pelestarian dan pemajuan kebudayaan, yakin dan percaya usaha tersebut jauh lebih efektif.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

A
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini