Hari Ketujuh Bulan Syawal di Negeri Mamala

Hari Ketujuh Bulan Syawal di Negeri Mamala
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023#PekanKebudayaanNasional2023#IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Hari ketujuh Lebaran Idul Fitri merupakan momen penting bagi masyarakat Maluku, khususnya masyarakat Mamala. Negeri Mamala adalah sebuah desa di Kecamatan Leihitu Maluku Tengah yang jaraknya tidak begitu jauh dari pusat kota Ambon, yakni sekitar dua puluh empat kilometer jarak tempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor. Momen penting yang diperingati oleh masyakat Mamala dan hampir seluruh masyarakat Maluku dan sekitarnya pada hari ketujuh di bulan Syawal adalah atraksi pukul sapu. Atraksi pukul sapu dikenal dengan nama ukuwala maihate oleh penduduk setempat. Atraksi ini telah menjadi sebuah tradisi turun temurun di negeri Mamala sejak abad ke-16.

Meski atraksi pukul sapu merupakan acara inti, namun terdapat beberapa pertunjukan yang sayang untuk dilewatkan. Seperti tari lenso, dimana sebagai pembuka dari acara atraksi pukul sapu. Tari lenso ditampilkan oleh pemuda-pemudi negeri Tiouw. Negeri Tiouw merupakan gandong (sebutan untuk negeri-negeri yang berserikat di Kepulauan Maluku) negeri Mamala. Selain itu, tarian yang tidak kalah menarik, yang ditampilkan oleh muda-mudi negeri Mamala adalah tari manuhua. Nama tarian ini berasal dari kata manu yang berarti burung, dan hua yang artinya bertengger. Sehingga, manuhua artinya burung bertengger. Tarian ini mengisahkan tentang para pejuang yang sedang beristirahat dalam berperang melawan penjajah.

Selanjutnya adalah Hu’ul. Sebuah ritual yang merupakan salah satu bagian paling penting selain atraksi pukul sapu itu sendiri. Hu’ul adalah ritual alifuru Mamala yang disinyalir telah ada bahkan sebelum adanya atraksi pukul sapu. Hu’ul ditampilkan oleh penduduk asli Mamala, mulai dari anak, remaja, sampai dewasa. Sebelum memulai ritual ini, para peserta mengusap badan mereka dari kepala sampai kaki dengan sejenis arang. Ritual ini dimulai dengan bunyi tabuhan tifa (gendang) di kejauhan sebelum peserta ritual memasuki tempat pertunjukan. Bunyi tabuhan tifa menjadi pengiring lagu adat (lagu berbahasa Mamala) sampai peserta memasuki tempat pertunjukan, duduk melingkar dan menyenandungkan lagu adat. Hu’ul menjadi sebuah pertunjukan yang dinanti karena ritual ini mengisahkan tentang masyarakat Mamala pada zaman dahulu. Ritual ini sungguh khidmat, membuat merinding sekaligus terharu. Salah satu ritual yang tidak boleh dilewatkan.

Setelah disuguhi dengan ritual Hu’ul yang khidmat, acara selanjutnya adalah atraksi pukul sapu. Sekitar dua puluhan anak muda bertelanjang dada yang dibagi menjadi dua kelompok dengan menggunakan seragam berbeda (secarik kain yang diikat di kepala senada dengan warna celana) dan tangan yang menggenggam beberapa helai sapu lidi yang berasal dari pohon enau. Kemudian, masing-masing dari tiap kelompok mulai saling pukul-memukul sapu di badan kelompok lainnya sampai menimbulkan luka dan goresan-goresan sapu lidi yang tidak sedikit. Terlihat mengerikan dan menyakitkan, namun inilah atraksi yang ditunggu oleh banyak pasang mata di lapangan depan masjid besar negeri Mamala tersebut. Uniknya, para peserta atraksi pukul sapu tidak sedikitpun terlihat meringis ketika sabetan sapu lidi menghujam kulit tubuh mereka. Atraksi pukul sapu ditutup dengan pengusapan minyak Mamala (minyak nyualaing matetu atau minyak tasala) yang sebelumnya telah didoakan oleh tetua adat atau imam negeri Mamala.

Menurut salah satu peserta atraksi, kulitnya terasa perih ketika pukulan sapu lidi mulai menghujam, namun seiring berjalannya atraksi, rasa perih berganti dengan semangat membara untuk memacu pukulan sapu lidi ke kulit tubuh rekan-rekannya, dan menyambut pukulan sapu lidi dari rekan-rekannya ke kulit tubuhnya sendiri. Hanya orang-orang terpilih yang mampu menahan perihnya sabetan sapu lidi, imbuhnya. Dan hanya orang-orang yang percaya bahwa minyak Mamala dapat menyembuhkan rasa sakit karena pukulan sapu lidi yang akan bertahan. Benar saja, ketika minyak Mamala menyentuh kulit yang berdarah karena sabetan sapu lidi yang berasal dari pohon enau tersebut, seketika rasa perih berkurang, meski tentu saja membutuhkan waktu dua sampai tiga hari hingga luka itu benar-benar sembuh tanpa bekas.

Keseluruhan atraksi pada hari ketujuh di bulan Syawal di Negeri Mamala menjadi sebuah pengingat bahwa adat maupun tradisi yang telah ada sejak zaman dahulu memiliki makna besar bagi generasi terdahulu maupun generasi sekarang. Seyogyanya, budaya yang telah mendarah daging dan menjadi warisan turun temurun ini dapat dilestarikan hingga generasi yang akan datang.


(pastikan sertakan sumber data berupa tautan asli dan nama jika mengutip suatu data)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

LA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini