Bobotoh, Koboi Sunda dan Domba yang Menari

Bobotoh, Koboi Sunda dan Domba yang Menari
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Bukan. Bukan bobotoh yang itu. Ini bobotoh yang lain. Namun, keduanya sama-sama berasal dari Bumi Pasundan yang lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.

Hawa panas Oktober yang mencekik tidak menghalangi warga untuk berkumpul di lapangan merah. Meskipun dibanjiri manusia, siapa pun dapat dengan mudah menemukan orang-orang dengan topi bertepi lebar yang menyembul di tengah-tengah keramaian. Pakaian mereka serba gelap, monoton, tetapi aura mereka nyentrik. Kebanyakan dari mereka pernah menyaksikan proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Namun, tidak sedikit yang baru lahir setelah SBY terpilih menjadi presiden untuk pertama kalinya.

Bobotoh namanya, pendekar domba dari Tanah Sunda.

Hari itu, dalam rangka memburu foto feature untuk ujian tengah semester mata kuliah Jurnalisme Foto, saya dan rekan saya mengunjungi sebuah acara latihan bersama seni laga ketangkasan domba yang diadakan oleh Himpunan Peternak Kambing dan Domba Indonesia (HPDKI) di Cinenggang, Jatinangor, Sumedang pada Minggu (22/10) pagi. Jatinangor telah menjadi rumah kedua bagi saya, karena kampus utama Universitas Padjadjaran terletak di kecamatan dengan luas 262 km² tersebut.

Berkat upaya menangkap foto feature terbaik untuk mendapat nilai A, saya justru menemukan tradisi masyarakat lokal yang tidak pernah saya dengar sebelumnya.

Jalan menuju lapangan merah lokasi latihan bersama diadakan cukup curam dan sempit. Sepanjang perjalanan ke lokasi, sulit bagi saya untuk menemukan warga sejauh mata memandang. Jalanan sepi. Saya bertanya-tanya, "ke mana orang-orang pergi?"

Pertanyaan itu lantas terjawab setelah sayup-sayup terdengar suara alunan musik tradisional Sunda. Semakin lama, suara tersebut kian nyaring. Nyanyian dari sinden yang disertai sorak-sorai warga membuat saya yakin bahwa saya telah dekat dengan lokasi. Begitu saya tiba di mulut lokasi, saya tahu ke mana semua orang pergi.

Terakhir kali saya melihat kumpulan orang sebanyak ini yang terlihat sangat menikmati pertunjukkan seni adalah ketika saya menghadiri konser musik mahasiswa di lingkungan kampus. Konser dengan panggung megah, gitar elektrik, drum, lampu sorot, layar LED (Light Emitting Diodes), dan irama EDM (Electronic Dance Music).

Saya tidak melihat lapisan generasi di depan panggung sederhana dari pertunjukkan musik Kendang Penca yang ditabuh oleh para nayagan. Saya hanya melihat orang-orang yang menari dan berdendang bersama sebelum acara latihan dimulai. Tua, muda, anak-anak, mereka melebur dalam gelombang musik Kendang Penca. Tangan dan pinggang mereka meliuk, kaki mereka membentuk kuda-kuda yang lentur mengikuti irama musik. Sebuah pemandangan yang baru bagi mahasiswa rantau dari kota seperti saya.

Bobotoh yang mengenakan laken dan pangsi sedang menari dialuni musik Kendang Penca dan nyanyian dari sinden © Dokumentasi Pribadi
info gambar

"Panayagan itu wajib ada di setiap acara," jelas Kang Abo—dipanggil Kang Abo karena sering mengurus kebo—seorang warga lokal yang mengenalkan saya pada Seni Laga Ketangkasan Domba Garut di Jatinangor.

Seni Laga Ketangkasan Domba Garut merupakan tradisi dengan sejarah yang panjang dan berdarah. Pada awalnya, tradisi yang berasal dari Garut ini disebut Ngadu Domba atau Ngaben yang berarti mengadukan atau melagakan domba (Febriani & Sukmawan, 2022). Ngaben merupakan hiburan masyarakat yang brutal dan diwarnai perjudian. Dengan peraturan yang tidak pasti, pemenang ditentukan dari siapa domba yang mati pertama kali.

Namun, unsur perjudian dan penyiksaan hewan pada Ngaben banyak ditentang oleh masyarakat, hingga akhirnya pada tahun 1970-an didirikan lembaga penggemar domba tingkat Jawa Barat yang dipimpin oleh H. Husen Wangsaatmaja, kini lembaga tersebut bernama Himpunan Peternak Kambing dan Domba Indonesia (HPDKI). Istilah Ngadu Domba atau Ngaben pun diganti menjadi Seni Laga Ketangkasan Domba Garut (SLKDG). Penggantian nama ini dilakukan dengan tujuan untuk mengubah perspektif masyarakat dan mengenalkan laga ketangkasan domba sebagai laga yang mengedepankan seni dan estetika, bukan kekerasan.

Salah satu domba yang akan diadu menonton kawannya yang sedang bertanding di arena di hadapannya
Salah satu domba—mengenakan gongseng—menonton kawannya yang sedang diadu ketangkasannya di arena di hadapannya © Dokumentasi Pribadi

Laga ketangkasan domba memiliki kemiripan dengan pertandingan olahraga seperti tinju dan gulat, yakni memiliki kelas berat. Terdapat tiga kelas berat di SLKDG.

"Ada kelas A, paling besar 90 kg; kelas B, 60 kg ke atas; sama kelas C, 40 kg ke atas," ungkap Kang Abo.

Seorang bobotoh sedang mengarahkan domba yang diadu dengan melambaikan tangan ke atas © Dokumentasi Pribadi
info gambar

Sistem penilaian SLKDG yang menitikberatkan pada estetika dan mengutamakan keselamatan domba membuat peran seorang bobotoh sangat krusial ketika pamidangan. Bobotoh bertugas mendampingi domba saat laga berlangsung. Bobotoh memiliki dua tugas utama, yakni mengarahkan kapan domba bergerak maju menyerang dan mundur melalui lambaian tangan ke udara serta merawat domba setelah domba menyelesaikan 15 pukulan. Bobotoh juga memiliki fungsi pendamping sebagai penghibur dengan turut berjoget mengikuti irama musik Kendang Penca sambil tetap menjaga dinamika pertandingan.

Biasanya, bobotoh mengenakan pangsi (pakaian adat Sunda) dan laken (topi bertepi lebar) atau totopong (iket Sunda). Laken yang digunakan oleh bobotoh tersebut mengingatkan saya pada topi yang biasa dikenakan oleh koboi.

Selain itu, posisi bobotoh tidak terbatas usia dan gender. Selama menonton pertandingan dari pagi hingga menjelang petang, saya memperhatikan ragam usia dan gender dari bobotoh ketika pamidangan, mulai dari anak-anak, remaja, hingga lansia.

Dua domba sedang diadu ketangkasannya di arena © Dokumentasi Pribadi
info gambar

Sistem penilaian seni laga ketangkasan domba pun menarik perhatian saya.

"Satu sesi 15–20 pukulan. Poin dilihat dari gimana kepala si domba gerak pas mundur," ujar Kang Abo seraya memeragakan tangannya seperti kepala domba yang bergerak ke kanan-kiri, sedang mengambil ancang-ancang menyerang.

"Dilihat dari keberaniannya," tambahnya.

Laga ketangkasan domba bukan pertandingan yang buru-buru. Semua pihak mengambil waktu untuk menjalankan peran mereka. Domba-domba yang bertanding tidak sembarangan menyeruduk ke sana kemari, tanpa arah. Di bawah lambaian tangan dan seruan bobotoh, domba mengambil beberapa langkah mundur, pandangan mereka terpaku pada lawan, kaki belakang mengumpulkan momentum, kemudian...

Serang.

Tarik kaki depan, tundukkan kepala, tunjukkan tanduk pada lawan. Ambil langkah mundur lagi. Serang.

Suara tanduk yang saling beradu, debu lapangan merah yang berterbangan karena hentakan kaki domba, seruan dan lambaian tangan bobotoh, wasit yang hilir-mudik, juri yang menilai gerakan domba, serta penonton yang berjoget mengelilingi arena. Semua tampak seperti pertunjukkan teater yang padu dengan lantunan Kendang Penca dan nyanyian sinden sebagai pengiringnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

ZS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini