Bagaimana Mitologi, Seni dan Peradaban Membentuk Jiwa Manusia

Bagaimana Mitologi, Seni dan Peradaban Membentuk Jiwa Manusia
info gambar utama

Bagaimana Mitologi, Seni dan Peradaban Membentuk Jiwa Manusia

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung Manusia tak lahir dari cara sederhana, ada banyak sekali perkara yang membentuk mereka. Genetik, lingkungan dan budaya adalah sedikitnya partikel yang membentuk manusia, bagaimana pribadinya, nurani, hasrat serta sudut pandang mereka dalam menghadapi kerumitan yang sedang berlangsung.

Lalu pada mitologi-mitologi kuno yang mulai terlupakan, generasi baru tak suka hal tabu, tak ingin tahu hal-hal di luar logika dan nalar yang kemudian pelan-pelan menenggelamkan sebuah peradaban bernama tradisi yang kadangkala diisi dengan banyak seni. Ada banyak sekali seni yang di dalamnya di penuhi berbagai cerita atau dongeng yang lebih menyerupai peristiwa imajiner. Membuat generasi baru tak meletakkan minat pada seni leluhurnya sendiri.

Dan terkadang seni ditinggalkan bukan sebab media yang tak memadai, tapi cara berpikir manusia saat ini memilih untuk tak mengerti dengan segala esensi, karena bagi mereka segalanya sudah tak sama lagi. Tapi pada kenyataannya seni bergerak sesuai dengan bagaimana pikiran manusia bekerja. Seni akan menyesuaikan bagaimana jaman bergerak.

Lalu bagaimana sebuah seni membentuk jiwa manusia? Bagaimana budaya mempengaruhi setiap generasi muda? Dan sesungguhnya tanpa mereka sadari dan bahkan saat mereka tak mengakuinya, seni adalah alasan bagaimana mereka melanjutkan hidup. Bukankah definisi seni yang universal adalah sesuatu yang tidak terbatas? Hal-hal yang kita ambil dari budaya yang bahkan hanya setengahnya kita ketahui tetapi kita jadikan dalih untuk melanjutkan hidup.

Manusia dibentuk dari berlimpah soal, dari rumitnya sebuah pertanyaan tanpa jawaban, dari derasnya realitas kehidupan. Layaknya kuda kosong yang hanya di pamerkan satu tahun sekali, sebuah seni yang kadangkala orang kaitkan dengan hal-hal mistis di luar logika manusia, tanpa mengetahui cerita dibalik kuda yang dibiarkan berjalan tanpa seorang pun di atasnya.

Kuda kosong adalah lambang bagaimana diplomasi antara Mataram dan Cianjur di mulai, bagaimana tiga buah cabai, tiga butir beras dan tiga butir lada diberikan pada raja Mataram, bagaimana Cianjur menolak tunduk dan tak keberatan untuk melawan, begitu sebuah harga diri dan keberanian sudah diajarkan bahkan saat kertas bukan tempat kita menyimpan tulisan. Bahwa manusia setidaknya memiliki satu nilai kebaikan untuk menjalani kehidupan.

Jadi apa kaitan itu semua? Mari membuat sebuah analogi sederhana, bahwa manusia layaknya kuda kosong tanpa penunggang, tapi dipamerkan seolah-olah memiliki beban yang begitu besar padahal tak ada hal apapun di atasnya, lalu pada kenyataannya saat ini manusia terlihat memikul berlipat-lipat kesulitan. Tetapi, yang sesungguhnya terjadi adalah, semua perkara itu hanyalah rasa kecewa terhadap angannya yang hancur saat realita tak memberikan makan untuk ego mereka, untuk ambisi yang digunting semesta lalu hangus tanpa sisa.

Manusia lari meninggalkan budaya penuh pekerti, mereka angkat kaki dari tradisi, kemudian lupa dan tersesat dalam sebuah kotak bernama nafsu pretensi.

Apa seni membentuk jiwa manusia? Iya, mereka merakit sedikit lebih besar dari setiap isi kepala manusia. Bagaimana seni menilai dan membawa setiap manusia pada apapun keinginannya, pada pandangan baru, sebab seni yang kita nikmati adalah sebuah dongeng penuh rasa kemanusiaan, lalu saat jaman berubah menjadi sangat menakutkan diam-diam dan tanpa kita sadari setidaknya ada satu harapan mustahil yang kita nyalakan dalam hati. Layaknya sebuah candi yang dibangun hanya semalam atau untuk sebuah perahu besar yang terbalik hanya karena satu tendangan.

Peradaban membawa manusia pada perubahan ektrim yang kemudian menyulitkan diri, menyusun sebuah amunisi yang pada akhirnya menyakiti diri sendiri. Merubah sebuah impian polos menjadi hal tak manusiawi, mereka mencetak manusia yang kehilangan jati diri.

Dan sepertinya terlalu jumawa bila manusia menginginkan kehidupan seperti dahulu kala, memainkan tradisi seperti semula, sebab segalanya memang sudah tak lagi sama, semua orang sepakat bila mempertahankan lebih sulit dari memulainya kembali, mungkin seni di masa depan memiliki cukup ruang baru untuk ditampilkan kendati dalam ragam yang berbeda, mari kita terima apapun bentuknya nanti. Dan lebih baik dari itu semua, merawat jiwa manusia yang dipenuhi nilai akan luhurnya pekerti menjadi bagian paling mendebarkan untuk dipertahankan, untuk terus dijalani.

Seni tak akan bisa mati, ia akan terus lahir dan beradaptasi, ia akan tumbuh menjadi hal yang berbeda di setiap generasi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini