Kecerdasan Bahasa dan Refleksi Kultural Yang Diakui Dunia

Kecerdasan Bahasa dan Refleksi Kultural Yang Diakui Dunia
info gambar utama

Indonesia adalah sebuah gambaran statistik keragaman yang luar biasa impresif. Sebagai bangsa yang plural dalam ekspresi budaya, seni sebagai karya kreatif dalam bentuk dan cita rasa estetis telah menjadi bagian dari hidup masyarakat Indonesia. Keberadaan seni berkembang dari aktivitas kognitif yang murni dengan cara-cara yang dipakai manusia. Oleh karena itu keberadaannya telah berakar kuat dalam sebuah kerangka kerja tentang kehidupan kolektif. Seni merupakan sebuah bentuk komunitas umum yang intens, sehingga menambah kekuatan komunikasinya dan bahkan memperluas maknanya. Itulah sebab mengapa di setiap kesatuan masyarakat tumbuh dan berkembang berbagai kesenian.

Salah satu bukti kekayaan seni budaya itu adalah pantun yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) pada tanggal 17 Desember 2020. badan khusus PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang mengurusi kebudayaan ini menilai pantun memiliki arti penting bagi masyarakat, bukan hanya sebagai alat komunikasi sosial namun juga sebagai pesan kultural dalam harmoni kearifan lokal, ia kaya akan nilai-nilai yang menjadi panduan moral. Pesan yang disampaikan melalui pantun menekankan keseimbangan dan harmoni hubungan antarmanusia.

Pantun adalah bentuk syair Melayu yang digunakan untuk mengungkapkan gagasan dan emosi, yang disampaikan melalui metafora yang halus dan sopan. Sebagai ekspresi komunal, pantun diperkirakan telah hadir di masyarakat Nusantara sejak 500 tahun lalu dan terdapat di hampir seluruh wilayah, dari Sabang sampai Merauke. Penelitian menunjukkan pantun digunakan dalam 35 bahasa dengan berbagai ketentuan. Pantun disebut dengan berbagai nama dan dilantunkan dengan beragam bahasa. Sebut saja pantun Minang, pantun Betawi, parikan (Jawa), paparikan (Sunda), umpasa (Batak), kinoho (Tolaki), panton (Ambon), pantong (Sulawesi), paparegan (Madura) dan lainnya.

Pantun tidak semata kata indah dengan rima yang menggoda. Keunikannya terdapat dalam bentuk persajakan a-b-a-b, dimana dua baris pertama merupakan sampiran dan dua baris terakhir adalah isi. Sampiran yang digunakannya tidak semata susunan kalimat bernada, tapi berhubungan erat dengan isi, maksud dan tujuan yang hendak disampaikan dalam simbolisme etis-estetis yang kaya makna.

Kecerdasan Linguistik

Pada konteks masyarakat Melayu, pantun memungkinkan seseorang dengan lihai memainkan bahasa dan imajinasi. Pantun menjadi bukti keindahan struktur bahasa yang bersari dan bersendikan alam dan kehidupan. Pantun menjadi retorika yang mencerminkan harmoni dalam bahasa yang indah dan pesan mendalam untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran. Dengannya, pantun bukan hanya sastra yang dilisankan, tapi sekaligus bida dibaca sebagai tamasya bahasa dan presentasi kecerdasan linguistik masyarakat penggunanya.

Fitri Nura Murti (2017) menyebut bahwa sejak abad 17, pantun dianggap bentuk sempurna dari sastra lisan yang menjadi jati diri masyarakat Melayu. Pemerintah Hindia Belanda bahkan mendirikan Bataviaasch Genootshap van Kunsten en Wetenshappen (Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia) tahun 1778 untuk mempelajari sastra lokal Nusantara yang satu ini. Pantun dalam teks tertua ditemukan pada manuskrip-manuskrip sejarah Melayu, diantaranya Memoirs of Malayan Family (1880), Kisah Pelayaran Abdullah Ke Kelantan (1838), Grammair De La Langue Malaise (Favre, MDCCCLXXVI), Bijdragen Toot De Taal-Land- En Volkenkunde (1884), Het Familie-Et Kampongleven Op Groot-Atjeh (1894), dan Papers on Malay Subject (Wilkinson-Winstedt, 1909).

Lebih lanjut dikatakan Murti, pantun menjadi logika retoris masyarakat Melayu, sebagai strategi komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan maksud dan tujuan dengan tetap memperhatikan kesopanan dan kelembutan meskipun melontarkan kritik dan teguran sehingga lawan bicara tidak tersinggung. Selain memberi efek estetis, namun fungsi utama pantun adalah mengamankan sistem nilai (nomoi and athea) dalam masyarakat tersebut secara turun-temurun. Nilai-nilai local genius disimpan dalam ungkapan dan formula yang siap pakai dan berfungsi sebagai alat mnemonik dan penanda dalam tradisi-tradisi lisan.

Dalam konsep sosiologi sastra, pantun dihasilkan dari penutur yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Pantun menjadi ekspresi dan bagian dari masyarakat sehingga memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut. Dengannya, pantun dibentuk oleh masyarakatnya dan berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya (Bakdi Soemanto, 1993).

Dengannya, pantun menjadi ekspresi kultural yang menampung dan memberi ruang bagi kebebasan dalam ikatan rambu-rambu kultural untuk menyampaikan pelbagai macam hal. Dalam ekpresinya, para penggunanya seperti menemu dunia lain di dalam pantun: dunia yang terbuka, jenaka dan liar, namun tetap terjaga dalam harmoni, tanggung jawab dan kasih sayang.

Hal ini terwujud dalam presentasi para penutur pantun yang penuh gairah dan vitalitas dalam bertutur, berwicara dan berwacana berbalas pantun namun dengan tetap merawat memetik hikmah dari pantun yang saling terlantun. Dunia imaji pantun yang luas dan terbuka membuka kemungkinan elaboratif antara pengalaman, pengetahuan dan pemaknaan: “Burung punai memakan saga, Saga merah besar batangnya, Rukun dan damai di rumah tangga, Amal ibadat jadi tiangnya” atau “Encik Mamat membelah bambu, Bambu berjalin rotan saga, Baiklah hormat kepada ibu, Supaya terjamin masuk surga”.

Pantun memiliki keutuhan dan keluhuran dalam dimensi keindahan maupun kebenaran (the truth). Sehingga dalam menyampaikan suatu pesan, ia mengedepankan prinsip: keindahan berbahasa dan keindahan budi. Kritik dan pengingat disampaikan dalam tutur bahasa yang sopan, ucap-kalimah yang tamah dan etika-nirmala yang krama, meskipun tentu saja dengan tetap diiringi kepastian yang reflektif.

Konklusi

Pantun menjadi konklusi penting untuk merepresentasikan orientasi nilai komunal, kultural dan sosial dalam ekspresi artistik dan estetik. Melalui pantun kita bisa lebih arif menyikapi kehidupan. Ia menjadi medium edukasi dalam menempa sikap, sifat dan karakter dalam konteks kemanusiaan. Itu sebabnya konten pantun selalu menyiratkan nilai lokal tentang ajaran budi pekerti sebagai wacana tentang peradaban dalam konteks yang lebih luas. Pantun hadir sebagai medan yang menyimpan peluang untuk membuka tafsir kenyataan kehidupan yang baru sekaligus berfungsi sebagai tengara mengingatkan manusia atas baik buruk masa silam dan masa datang.

Dengannya, pantun menjadi bukti kepemilikan terhadap refleksi tradisi ketika ekspresi hidup makin dimanjakan dengan diskursus pengetahuan dan estetika modern. Meski pada saat yang sama, penetrasi modernitas telah menempatkan pantun dalam eksistensi periferial atau bahkan, artifisial.

Pengakuan pantun sebagai WBTb oleh UNESCO tidak sekedar kado hadiah pelipur lara di masa pandemi. Hal ini membuktikan bahwa pantun sebagai ekspresi dan identitas kultural di Nusantara belum tamat sampai hari ini. Ia masih dihidupi untuk merumuskan makna identitas dalam laju waktu. Pantun menjadi produk kebudayaan sebagai struktur sekaligus pedoman yang menentukan arah kehidupan dengan mengacu pada relasi hubungan sosio-kultural, ekologi dan spiritual. Pantun merepresentasikan kehalusan dan keluhuran sebagai kualitas nilai-nilai tradisi dalam menghadapi pelbagai perubahan zaman.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

PA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini