Membangun (Kebudayaan) Desa, Membangun Indonesia

Membangun (Kebudayaan) Desa, Membangun Indonesia
info gambar utama

Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) telah selesai digelar 20-29 Oktober 2023 lalu. Bertema “Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan”, PKN bermaksud memberi makna dan relevansi dalam setiap aksi kehidupan dilakukan dengan berakar pada nilai dan kearifan lokal sebagai refleksi harmoni dalam hidup. Dikutip dari kemdikbud.go.id, filosofi ‘lumbung’ yang diangkat mengakar pada nilai wadah kolektif, tempat semua sumber daya yang dimiliki disimpan, dimaknai dan dikelola sebagai cara kerja yang mendorong untuk saling belajar, berjejaring dan saling memperkuat antarekosistem untuk mendukung pemajuan budaya secara kolektif dan kolaboratif secara luas.

Digunakan fase-fase “Rawat” (kegiatan residensi dan penelitian), “Panen” (pengumpulan data, pendokumentasian dan pengarsipan) dan “Bagi” (pameran, tur, perjamuan, pagelaran, konferensi, lokakarya, hingga penerbitan untuk konsumsi publik) di “Ruang Tamu” yang siap menerima seluruh masyarakat dengan kehangatan yang membuka peluang kolaborasi dan aksi kolektif demi semangat #IndonesiaMelumbunguntukMelambung .

Dalam PKN, juga digelar Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) yang merespon salah satu problem semesta yaitu krisis sosial ekologis berupa perubahan iklim, perampasan tanah, akses pada air dan pangan, hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan lingkungan dan merosotnya daya dukung bumi.

KKI menghasilkan rekomendasi kebijakan kebudayaan masa depan, diantaranya menegaskan masyarakat adat dan lokal lainnya (yang banyak terdapat di desa) adalah subjek yang berdaulat atas wilayah, sumber daya alam, dan sumber pengetahuan budaya, serta merupakan pengusung keanekaragaman budaya dan hayati yang bisa menjadi modal pembangunan. Seluruh elemen bangunan logika tersebut membuktikan bahwa kebudayaan desa menjadi elemen penting kebudayaan nasional.

Selama berabad-abad sisi hulu kebudayaan Indonesia memang ada pada kebudayaan masyarakat desa. Desa merupakan tempat ekosistem budaya berakar, hidup dan diwariskan secara turun–temurun. Ekosistem kulturalnya terwujud dalam pengetahuan, nilai, dan praktik kearifan masyarakat dalam bergotong–royong, mengelola lingkungan secara berkelanjutan, dan berbagai kearifan lain yang reflektif-kontekstual bagi kehidupan kiwari.

Desa dalam konseptualisasi kebudayaan adalah wilayah dan wahana sekelompok manusia yang melakukan aktivitas tumbuh dan berkembang mengaktualisasikan potensi dan mengonservasi kekayaan kultural yang dimilikinya sebagai sarana meningkatkan kualitas (ke)manusia(an). Budayanya lahir dari sinergi dengan alam lingkungan dalam relasi sosial yang menguatkan nilai komunalnya.

Stereotip

Tapi selama ini desa kerap hanya menjadi objek dalam dinamika kehidupan. Pembangunan yang selama ini dilakukan pemerintah, seturut Mahpur (2008), membuat identitas desa tergadai oleh motivasi pengembangan prototipe konsumerisme sebagai bagian dari representasi gaya pembangunan modern. Desa bukan kebanggaan dan sengaja dimatikan karena kebijakan pembangunan yang mematikan potensi desa sebagai hibridasi ekonomi.

Secara ekonomi, desa tereksploitasi penguasaan sumber daya ekonomi (alam) dan perdagangan. Secara sosial, kota melakukan penetrasi karakter individualitas dalam hubungan bermasyarakat sehingga modal sosial mengalami delusi sistemik (Yustika, 2017).

Muncul stereotip yang telah diberikan sejak dari Orde Baru sampai pasar kontemporer saat ini: bahwa desa identik dengan kuno-lama-oleh-karenanya-tertinggal, katrok, atau bahkan sebagai liyan (other). Konsep liyan selama ini secara laten dipakai untuk membangun sebuah struktur hirarki budaya dominan-marjinal, modern-etnik, global-lokal. Jelas, hal ini bukan pandangan yang egaliter, tapi hanya ingin mengukuhkan superioritas yang dominan-modern-global atas yang marjinal-etnik-lokal. Yang disebut terakhir dihadirkan sebagai bentuk ekspresi eksotisme komunalitas yang lokal, sekaligus partikular, sebagai kontras dari rasionalitas modernitas global.

Keberhasilan desa dilihat dari infrastrukturnya. Orang desa (ndeso) adalah orang yang ”dipaksa” iri terhadap kota. Gaya hidup kota telah mengambil-alih gaya hidup orang desa. Kecenderungan kuat modernisme menjadi bagian dari infiltrasi kognitif agar orang desa juga patuh pada gaya hidup kekinian, maka identitas desa justru tidak lagi dipandang secara bijaksana (wisdom). Hal ini adalah sebuah kehilangan yang tak tergantikan.

Seturut tulisan Harian Kompas (28/11/2018) yang mensinyalir bahwa telah terjadi proses reduksi kebudayaan karena belum terwujudnya pembangunan berbasis kebudayaan. Wawasan kebangsaan menipis sementara akses masyarakat pada keanekaragaman budaya tidak merata sehingga dialog antar tata nilai yang berbeda menjadi kurang optimal. Ekosistem budaya dan lingkungan hidup dihancurkan oleh akumulasi modal yang membuat irama hidup masyarakat berbenturan dengan daur hidup alam dan masyarakat adat di dalamnya serta irama hidup lingkungan.

Budaya

Disisi lain, pandemi lalu membuktikan adanya kondisi yang menuntun kita kembali ke desa sebagai pusat kehidupan. Desa tidak hanya menjadi kekuatan sosial ekonomi (di masa pandemi), berbagai sumber daya seperti kemampuan lokal (gotong-royong, tepa selira), juga etos, etika, ingatan kolektif dan entitas produk budaya yang mewujud lainnya, menjadi seperangkat pengetahuan yang menginspirasi. Kebudayaan (desa) terbukti mampu meningkatkan daya lenting masyarakat, memperkuat inklusi dan kohesi sosial, dan memperkuat pembangunan yang berpusat pada manusia yang menjadi tujuan pembangunan berkelanjutan,

Dalam konteks pembangunan, budaya menjadi salah satu kekuatan utama perdesaan yang adaptif menjadi petunjuk langkah hidup dan pemenuhan kebutuhan warga untuk mengelola tata sosial, ekonomi, hingga pemerintahan, dengan cara-cara yang paling sesuai bagi setiap desa. Ini terwujud dalam sikap bersama warga dalam menghadapi masalah yang dihadapinya berdasar pada kekuatan lokalitas yang ada.

Dengannya, desa tidak hanya menjadi konsep kekuatan ekonomi (pertanian, peternakan, perkebunan), berbagai sumber daya seperti kemampuan lokal (sudut pandang, abstraksi, nilai-nilai khas), juga objek sejarah, warisan seni, ingatan kolektif dan wujud lainnya sebagai produk budaya, seperangkat pengetahuan yang bisa menjadi inspirasi (Budianta, 2021).

Dengannya, kita perlu membangun arah peradaban yang berbasis pada komunitas yang mempunyai ketahanan pangan dan ketangguhan budaya lokal yang dapat dikembangkan menjadi pengetahuan, wawasan dan nilai untuk menjaga keanekaragamanhayati, solidaritas dan keguyuban sosial yang mampu menjaga, merawat relasi antar manusia dan memanusiakan manusia.

Dengannya, kita meletakkan paradigma pembangunan dimulai dari desa sebagai unit kebudayaan terkecil. Desa jadi medium transformasi nilai-nilai budaya dan penguatan ikatan-ikatan sosial antarwarga masyarakat untuk menjawab tantangan yang terus berubah. Desa menjadi agenda penting strategi kebudayaan dan pembangunan (manusia) Indonesia. Termasuk dalam tahun politik ini, perspektif kebudayaan calon presiden perlu disaring melalui janji dan komitmen politiknya sebagai pemegang kebijakan tertinggi negara, khususnya dalam bidang kebudayaan. Siapapun yang memimpin negeri ini, ia bertanggung jawab membangun kebudayaan desa, yang berarti juga membangun Indonesia.

Prinsip ini penting ditekankan agar desa tidak lagi menjadi wahana objektifikasi logika pembangunan modern dan komodifikasi kontemporer yang justru menyuburkan gaya hidup dengan teknologi baru dan menumbuhkan konsumerisme semata. Sekaligus sebagai sebuah usaha mengunjungi kembali (revisiting) dan menemukan kembali (reinventing) gagasan-gagasan yang lebih masuk akal tentang bagaimana sebuah masyarakat dapat dikembangkan dalam sebuah konsep yang tidak saja partisipatoris tapi juga kontekstual.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

PA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini