Samparan: Rupa Tari, Rupa Peradaban

Samparan: Rupa Tari, Rupa Peradaban
info gambar utama

Tidak semata sebagai seni pertunjukan, tari bisa menjadi ide dasar, logika pemikiran, alat propaganda hingga diplomasi budaya. Membicarakan tari tidak semata mempertimbangkan presentasi tubuh yang bergerak dalam teknik-teknik tertentu. Tubuh tari (sebagai realitas panggung) sebenarnya adalah sebuah refleksi virtualitas yang tidak sesederhana realitasnya, yaitu badan. Ia merupakan medan kompleks representasi estetika gerak, elemen-elemen artistik pergelaran, imaji, kreasi serta simbolisasi nilai dan makna yang berlaku di masyarakat. Tubuh tari memiliki arti sebagai anatomi, artikulasi, ataupun ideologi sekaligus.

Hal ini sudah berlangsung sepanjang sejarah kemanusiaan, dalam bentuk tari sebagai ritual, hayatan maupun sebagai hiburan dan presentasi tradisi dan komunalitas. Oleh karenanya tari bisa dibaca sebagai artefak dalam memahami sejarah dan identitas kita sebagai pribadi maupun sebagai sebuah kelompok masyarakat. Membaca tari adalah membaca biografi tubuh dalam kelindan hal-hal yang melewatinya (kebiasaan sehari-hari, pranata, norma, hingga teknik gerak dan (re)presentasi dalam sebuah (politik) seni pertunjukan tubuh.

Tari bersentuhan langsung dengan sistem normatif dan nilai yang berlaku di masyarakat. Perempuan mempunyai kapabilitas untuk me(re)presentarikan tari sebagai estetika dan eksotisme sekaligus. Seperti misalnya kecantikan, keayuan, keanggunan dan keluwesan penari perempuan menjadi representasi kualitas nilai perempuan Jawa.

Konstruksi identitas semacam ini telah berlangsung sejak Raffles menulis The History of Java yang menyebutkan wacana kedekatan perempuan dan tari. Dalam presentasi estetisnya, representasi makna dan nilai ini muncul dalam busana dan atau kostum yang dipakai.

Samparan

Dalam tradisi, dari tiga jenis tarian perempuan Jawa, bedhaya serimpi merupakan “tarian istana yang bersuasana tenang dan khidmat” (Sedyawati, 1984). Para penari bedhaya memakai kostum kain panjang yang disebut dodot. Selain menggunakan dodot penari juga memakai samparan yaitu ujung kain jarik yang dilebihkan menjuntai diantara dua kaki dan berurai ke lantai. Pada tari Bedhayasamparan dimainkan dengan gerakan kaki (gebeg-gejuk sambil membuat sabetan) hingga kain seperti dilemparkan ke kanan ke kiri sementara bunga pandan, melati, dan mawar yang ditaruh didalamnya membuat efek keindahan yang dramatis.

Samparan yang biasanya hanya merupakan kain (jarik) biasa namun berukuran lebih panjang, menjadi kostum yang unik sekaligus sarat pesan. Dalam adat Jawa, jarik adalah benda yang selalu ada dalam siklus peralihan hidup manusia seperti kelahiran, pernikahan maupun kematian. Samparan adalah simbolisasi nilai kemanusiaan, estetika dan religiusitas sekaligus.

Samparan juga merepresentasikan entitas bentuk-bentuk rupa melalui tradisi Jawa. Afrizal Malna (2010) melukiskan entitas bentuk rupa yang terdapat pada bentuk tubuh penari perempuan yang tercetak lewat balutan jarik pada tubuh mereka, bentuk sanggul, gong, gamelan dan gending; juga keris, ukiran dan tembang atau musik Jawa. Semua entitas ini memperlihatkan bentuk-bentuk lingkaran dengan pusat di tengah, garis-garis meliuk; melodi-melodi dalam kharisma ritual maupun tembang dalam kharisma mantra. Semuanya menyuarakan narasi-narasi keagungan, keanggunan dan keindahan dalam keseluruhan romantismenya.

Tubuh tari memiliki arti sebagai anatomi, gerakan, ataupun simbolisasi makna sekaligus. Lebih lanjut dikatakan bahwa presentasi tarian itu menghasilkan representasi tubuh bergerak yang indah, dengan sikap terjaga namun penuh kharisma. Aura dan enerji tubuh membuat semacam bola-bola imaji yang mengelilingi tubuhnya melalui jalan napas yang diikuti oleh seluruh anggota tubuh dan otot-ototnya. Tubuh indah itu bekerja dengan kemampuan otot-otot untuk merajut seluruh gerakan, maupun representasi simbolik yang dilakukan melalui gerak tangan dan wajah. Jalan napas itu sama dengan bagaimana tubuh merasakan seluruh gerak yang menjadi. Rotasi gerak berlangsung lewat bloking-bloking ruang yang merepresentasi arah mata angin dengan pusat ruang yang terjaga. Rasa di sini jadi semacam jalan pikiran tubuh dalam konteks tari. Gerakan-gerakan yang dilakukan tidak hanya sebuah presentasi tari, tetapi juga merupakan representasi tubuh-Jawa.

Filsafat

Memaknai samparan, meminjam analogi Afrizal lagi, membawa kita pada sebuah cara berpikir yang membawa pada ruangan tertentu dimana filsafat pandangan hidup dipraktekkan dalam seni pertunjukan. Ketika menikmati kelebatan samparan dalam tarian kita bagai masuk dalam perpustakaan Plato, tentang idealisme dan ide-ide (meski kita tidak pernah sampai pada ide-ide itu sendiri). Kadang seperti ada di perpustakaan Heidegger: kita membaca tidak dengan cara melihat, tidak dengan kesadaran, karena kesadaran itu cenderung melupakan. Karena kesadaran itu dirutinkan, dilembagakan dalam hidup sehari-hari, yang membuat kita lupa. Kadang bagai masuk ke perpustakaan Hegel: tidak ada penanda sehingga kita selalu bergerak diantara yang substansi dan artifisial. Penanda yang bergerak untuk mencapai (bukan untuk memenuhi) kerinduan itu. Hal ini yang membuat kita menjadi generasi ahistoris, tidak ada jejak-jejak sejarah yang mengantar kita pulang. Sejarah justru ada dalam diri kita, dan terletak pada cara kita membacanya. Tradisi, oleh karenanya adalah kita, bagian dari diri kita.

Persoalan ini bukan satu-satunya yang mampu melahirkan pengalaman estetik, tapi mendukung lahirnya sensasi dan sublimitas yang lain, yang baru. Memaknai samparan, seturut logika Merleau Ponty melalui teori kebertubuhan manusia menyebut bahwa “tubuh dan segenap kebertubuhan adalah cara kita berkomunikasi dengan waktu dan ruang”, artinya tubuh kita menyediakan persepsi didalam ruang dan waktu di manapun (Afianto, 2020). Kehadiran tari menjadi sebuah kerinduan untuk menghayati sesuatu secara bersama. Dengannya tari adalah wujud sebuah relasi keterhubungan, sebuah ruang inter-relasi antara ketubuhan dan lingkungannya, antara konstruksi sosial dan logika kultural.

Dengannya, kita bisa memaknai tubuh tari adalah alat ekspresi dengan intensitas, kualitas, dan virtuositas, serta koordinasi gerak yang total. Kualitas semacam ini membentuk konsepsi mengenai kebudayaan yang utuh dalam konteks kosmologis dan pada akhirnya menjadi sumber reproduksi identitas dan pembayangan atas dunia yang dianggap ideal.

Seni tradisi (Jawa) bukan hanya catatan sejarah yang tercipta berdasarkan unsur kebetulan. Melainkan representasi eksotisme ketajaman rohani, spiritualitas dan eksistensi budaya manusia di bumi ini dalam pemahaman konsep kehidupan yang menyeluruh - vertikal dan horizontal dalam segala aspek kehidupan.

Tari adalah sebuah susunan dinamis, prinsip aransemen dan ekspresi tanpa bingkai. Sebuah "himpunan" yang dibangun elemen-elemen gerak (tubuh, kostum, iringan, panggung) serta elemen-elemen non-tari lainnya (elemen sosial, psikis, politik, budaya bahkan spiritualitas) dengan membentangkan cakrawala dan horizon luas yang mengintegrasikan tari dengan makna eksistensi kita.

Dalam konteks yang lebih luas, seturut Stuart Hall (1997), melalui buku ini kita bisa memahami bahwa tradisi pada dasarnya adalah sebuah mental facts yang dalam wujud penciptaannya merupakan aktivitas sistemik yang sejajar dengan kristalisasi, baik dalam bentuk transferknowledge maupun transfer values. Sebagai sebuah bangunan logika, konstruksi psikologi, persepsi sosial dan teori seni budaya sekaligus.Dengannya tari bisa menjadi road map bagi seni pertunjukan yang reflektif, kontekstual tapi menjadi daya yang penting untuk menjalani hidup ke depan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

PA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini