Festival Pusako: Sebuah Upaya Mewariskan Ruang Temu antar-Kolektif di Sumatera Barat

Festival Pusako: Sebuah Upaya Mewariskan Ruang Temu antar-Kolektif di Sumatera Barat
info gambar utama

Pekan Kebudayaan Nasional memberi ruang dan wadah untuk membuka pintu kesempatan kolaborasi bagi siapa saja, tidak terbatas pada medan seni dan kebudayaan.

Hilmar Farid, Direktur Jendral Kebudayaan Kemendikbudristek

Sebagai perempuan keturunan Tionghoa, saya tidak pernah membayangkan akan diberi kepercayaan menjadi kurator di sebuah festival budaya di Padang, Sumatera Barat (Sumbar). Setahu saya, dalam banyak festival budaya, kurator lazimnya dipegang oleh laki-laki. Selain itu, sejauh yang saya amati, selama ini dalam kegiatan-kegiatan budaya yang digelar pemerintah, masyarakat Tionghoa-Padang biasanya diundang hanya sebagai penampil atau tamu.

Namun kali ini saya berkesempatan mengkurasi item-item budaya yang tampil dalam festival. Artinya, masyarakat Tionghoa tidak hanya diberi ruang, juga peran lebih untuk terlibat aktif menentukan ‘wajah’ festival. Hal ini sangat berarti, ketika festival-festival budaya di Sumbar selama ini cenderung lebih mengakomodir budaya dari kelompok suku mayoritas.

Syahdan festival yang terasa tak lazim di Sumbar, karena keterlibatan perempuan Tionghoa di jajaran kuratorial, itu bernama: Festival Pusako.

16.552 pengunjung memenuhi Fabriek Bloc selama 11-15 Oktober 2023. Selama 5 hari itu pula, gedung bekas pabrik seng seluas 1,3 hektar disulap tim Festival Pusako menjadi ruang temu.

Pada ruang itulah, setiap orang dari ragam usia, etnis, komunitas, pelaku dan pegiat budaya, akademisi dan lainnya merayakan perjumpaan sekaligus berproses bersama: saling belajar dan bekerja bersama memberi makna pada setiap pusako yang hadir dan terus bertumbuh di Sumbar agar lestari serta dinikmati hingga generasi seterusnya.

***

Ruang Temu Festival Pusako
info gambar

25 Agustus 2023 pukul 1 dini hari, telpon genggam saya berdering. Mahatma Muhammad, Direktur Artistik, dan Akbar Nicholas, kurator Musik Festival Pusako menelpon saya secara paralel mengajak jadi kurator. Awalnya saya pikir salah dengar dan spontan menjawab, ”Saya harus menampilkan apa, bang?” Mereka tertawa. “Tidak Like. Kamu akan mengkonsep dan menyelenggarakan festival ini bersama kami,” ujar Akbar.

Saya masih bingung bercampur kaget, “Tapi saya bukan seniman tradisi.”

Mahatma menjelaskan bahwa kebudayaan itu tidak milik kelompok seni tradisi saja. Penulis, fotografer, instruktur masak, akademisi, penggerak isu hak asasi manusia, serta ragam pekerjaan lainnya turut berperan penting dalam merawat kebudayaan.

“Ini tawaran serius. Tugas kita merangkul, merajut semangat, dan mendorong keterlibatan bermakna dari ragam komunitas di Sumbar. Keterlibatan mereka sebagai peserta aktif atau pengunjung, keduanya sama penting. Kita akan meramu festival ini bersama. Pengalamanmu sebagai penggerak komunitas isu keberagaman dan multikultural diperlukan,” Mahatma meyakinkan.

Malam itu saya tidak bisa tidur.

Obrolan tadi terngiang di kepala. Sekali lagi, saya tak pernah bermimpi bisa terlibat mengkonsep acara besar: Festival Pusako, rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional (PKN).

***

Cameron Foto Esai Gastronomi dan Kalcer
info gambar

Saya dipercaya mengkurasi Gastronomi dan Kalcer: menggali gastrodiplomasi pada kuliner sebagai warisan bersama kelompok multietnik di Sumbar agar terus dikembangkan, terutama di bidang ekonomi kreatif.

Setelah mengkurasi beberapa kuliner yang akan ditampilkan dalam kuratorial, akhirnya saya putuskan kuliner yang disuguhkan (dengan didahului diskusi bersama tim lainnya): aneka kuliner India, Tionghoa, dan gula ‘saka’ Minang. Diskusi ihwal silang budaya dalam kuliner-kuliner Sumbar digelar dengan diikuti demo masak.

Kuliner tersebut juga dinarasikan dalam pameran foto esai. Jika selama ini khalayak baru mengenal tampilan kuliner cakwe, misalnya, dalam pameran pengunjung bisa melihat lebih dalam latar dan interaksi budaya yang melahirkan inovasinya. Dengan kata lain, pameran gastronomi ini berupaya mengedepankan nilai-nilai multikultural yang melibatkan sejarah panjang pembauran antaretnik.

Selain saya, Akbar, dan Mahatma, Rijal Tanmenan berlaku sebagai kurator Atraksi Budaya; Harista Wijaya sebagai kurator Arsip, Film dan Literasi; Yusuf Fadli Aser sebagai kurator Seni Rupa; dan Huddiyal Ilmi sebagai Direktur Kreatif. Semuanya merupakan penggerak komunitas dan kami adalah formasi inti Festival Pusako 2023.

Saya sempat sedih ketika beberapa orang di luar penyelenggara sempat mempertanyakan kredibilitas saya sebagai kurator festival. Namun teman-teman tim menyakinkan bahwa saya diajak terlibat bukan karena saya menyandang triple minoritas yang bisa jadi ‘objek’ festival. Justru saya dilibatkan karena pengetahuan dan pengalaman ihwal keragaman budaya serta berbagai produk dan praktiknya di Sumbar.

***

Penutupan Festival Pusako
info gambar

Sepanjang pekan di akhir Agustus, tim inti festival melakukan rapat maraton. Kami memulainya dengan diskusi tematik terkait tema besar PKN 2023, “Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan” dan kuratorial nasional dari Handoko Hendroyono tentang ‘Gerakan Kalcer untuk Jenama Berdaya’. Lalu kami menarik keterhubungannya dengan ‘pusako’. Pondasinya adalah nilai-nilai dari kekayaan ekspresi lisan dan seni tradisi warisan bersama bumi Sumbar.

Hasil pembacaan dan permenungan yang dialogis lantas diterjemahkan tim kurator dalam catatan kuratorial. Setelahnya, menyusun indikator kurasi konten, penjaringan partisipan, dan pemilihan tim penyelenggara. Konten-konten yang dihadirkan harus mampu menggali dan merangkai beragam cara pandang dan pola kerja di antara seniman serta pelaku budaya dari setiap komunitas.

Setelah rampung, Mahatma merajutnya menjadi jalinan utuh Festival Pusako. Ia membangun jembatan agar kerja kuratorial dengan pengelola ruang budaya dan festival terhubung. Selain mengkurasi, Aser dan Rijal dengan sukarela membantu Mahatma membangun perwajahan ruang sebagai bagian penting dari rajutan artistik. Sedangkan Huddiyal Ilmi menerjemahkan seluruh hasil rajutan menjadi konten desain visual.

Kami pun berefleksi tentang tren festivalisasi hari ini. Betapa festival budaya kerap sebatas selebrasi eksistensi yang minim substansi. Kemeriahan yang kering makna. Gegap gempita saat perayaan, lalu hampa ketika panggung dibongkar. Begitupun perihal pola kerja festival yang menyepelekan transparansi anggaran dan kelengkapan dokumen administrasi pelaku budaya. Kombinasi hal-hal tersebut berdampak pada minimnya partisipasi aktif komunitas maupun publik di banyak ajang budaya.

Refleksi ini menjadi acuan kerja kami. Rancangan Anggaran Biaya (RAB) disusun dengan prinsip “ado samo dibagi, indak ado samo dicari” yang merangkul banyak komunitas dan khalayak Sumbar.

***

Karya instalasi tim kurator Festival Pusako berjudul
info gambar

Karena etos kolaboratif yang diusung penyelenggara, sekira 500-an orang yang berasal dari 70 lebih komunitas terlibat dalam kegiatan ini.

Setelahnya, para kurator melakukan kunjungan kuratorial dan lokakarya bagi partisipan. Tujuannya agar gagasan besar Festival Pusako dapat diterjemahkan dengan baik pada karya setiap partisipan. Seluruh partisipan didorong membuat sinopsis karya untuk dirangkum menjadi bunga rampai.

Seluruh permenungan itu diterjemahkan tim kurator dalam karya instalasi berjudul “Puncak-puncak Kebudayaan Nasional”. Karya ini mengajak setiap orang masuk ke ruang pergumulan agar gelaran budaya yang diadakan sanggup menyentuh substansi, tak sebatas seremoni.

Maka, Festival Pusako juga bertujuan mendorong gerakan bersama untuk belajar dan bertanggung jawab membenahi pondasi maupun pola kerja festival agar kehadirannya berdampak serta berkelanjutan bagi generasi berikutnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AC
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini