Menelisik Ronggeng Gunung Ciamis: Menyimak Legenda Menemukan Fakta

Menelisik Ronggeng Gunung Ciamis:  Menyimak Legenda Menemukan Fakta
info gambar utama

Menelisik Ronggeng Gunung Ciamis:

Menyimak Legenda Menemukan Fakta

Oleh Fabian Satya Rabani

#LombaArtikelPKN2023 #PekanBudayaNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Selain tari jaipong yang sudah kesohor, Jawa Barat masih memiliki banyak tari tradisional khas daerah. Ada tari topeng, tari merak, tari ketuk tilu, dan tari sintren. Namun, selain itu, ada lagi tari tradisional khas Ciamis yang sangat menarik. Tari itu adalah Ronggeng Gunung. Seni pertunjukan ini popular juga, sehingga menjadi ciri khas dan identitas daerah Ciamis, Jawa Barat. Tari ini memiliki keunikan dibanding jenis tari yang lain. Mendengar alunan lagu yang dinyanyikan penarinya dari kejauhan saja, orang Sunda akan tahu jika sedang ada pertunjukan ronggeng gunung.

Seni tradisi ronggeng gunung ini memiliki riwayat yang ambigu: antara kebenaran legenda dan sejarah nyatanya. Ada yang mempercayai asal-usul ronggeng gunung ini seperti kisah dalam legenda yang didengarnya dari mulut ke mulut. Sementara itu bagi yang melek huruf atau kaum terpelajar tentu mempercayai sejarah nyata asal-usul yang dibacanya.

Legenda Ronggeng Gunung

Dahulu kala, dikisahkan bahwa di pinggir Pananjung terdapat kerajaan dengan raja bernama Raden Anggalarang. Istri raja ini bernama Dewi Siti samboja. Raden Anggalarang adalah anak dari raja Galuh yang bernama Prabu Haur Kuning.

Pada suatu hari, Raden Anggalarang minta pada ayahndanya bahwa ia akan pergi meninggalkan kerajaan Galuh dan ingin mendirikan kerajaan sendiri. Prabu Haur Kuning memperbolehkan. Maka pergilah Raden Anggalarang dari kerajaan mencari daerah yang bisa dipakai untuk mendirikan kerajaan itu. Lokasi yang ditemukannya untuk mendirikan kerajaan itu berada tidak jauh dari pinggir pantai. Wilayah tersebut sebenarnya adalah tempat bermukim andar-andar atau bajo (perampok). Maka, wilayah tersebut kemudian dinamai Pangandaran dan kerajaannya dinamai Pananjung Pangandaran.

Dalam waktu singkat, setelah kerajaan itu berdiri, terjadi peperangan antara kerajaan dengan para rampok. Pemimpin rampok sangat bersemangat dalam penyerangan itu, sebab tahu bahwa Dewi Siti Samboja istri dari sang raja begitu cantik. Dalam peperangan tersebut, para bajo berhasil menang dan Raden Anggalarang melarikan diri.

Raden Anggalarang kembali bertempur dengan para bajo yang terus mengejarnya. Raden Anggalarang kalah kuat dan berhasil dibunuh oleh para perampok itu. Dewi Siti Samboja bersama Mama Lengser melarikan diri ke utara. Sampai di tepi sungai bertemu dengan tukang rakit. Tukang rakit itu diminta untuk menyebrangkan dirinya dan Mama Lengser. Dewi Siti Samboja berpesan agar tukang rakit itu tidak memberi tahu keberadaannya pada para bajo yang mengejarnya.

Lalu, Dewi Siti Samboja menyepi dan bertapa. Dalam keheningan, dia mendengar suara ghaib yang memberi perintah agar ia menyamar masuk menjadi anggota rombongan seni doger (ketuk tilu) bersama-sama dengan pemuda-pemudi setempat. Karena keelokan parasnya, Dewi Siti Samboja diminta menjadi waranggana atau ronggengnya. Tujuan penyamaran itu adalah untuk menyelamatkan Dewi Siti Samboja beserta rombongan dari kejaran para bajo. Beberapa bulan Dewi Siti Samboja menyamar sebagai ronggeng di daerah pegunungan Kendeng. Saat itu, Dewi Siti Samboja mengubah namanya menjadi Dewi Rengganis.

Pada suatu hari, Prabu Haur Kuning memerintah patihnya, Sawung Guling, untuk menelusuri keadaan putranya yang mendirikan kerajaan di daerah pantai. Ketikan melewati Pegunungan Kendeng, sang patih mendengar ada pergelaran seni yang dipimpin oleh Mama Lengser setiap malamnya. Oleh karena itu, pada suatu malam, patih Sawung Guling menemui Mama Lengser. Ternyata Mama Lengser mengetahui patih itu adalah utusan dari Prabu Haur Kuning. Sawung Guling menyampaikan bahwa kedatangannya untuk mengetahui keadaan anak raja dan menantunya.

Pada waktu itu, Mama Lengser minta tolong pada Sawung Guling dalam menghadapi para bajo yang mengejarnya. Singkatnya, patih Sawung Guling berhasil mengalahkan para bajo. Dewi Rengganis, Mama Lengser, dan Sawung Guling tetap menyamar sebagai rombongan seni. Pada siang hari mereka menjadi petani atau bercocok tanam bersama-sama dengan masyarakat. Pada malam harinya mereka menggelar hiburan ronggeng. Pada akhirnya, Dewi Siti Samboja (yang menyamar menjadi Dewi Rengganis) dan Sawung Guling kembali ke kerajaan bekas Raden Anggalarang, yaitu ke Pananjung Pangandaran.

Dari cerita ini, banyak orang mempercayai ronggeng gunung adalah warisan Siti Samboja yang menyamar jadi ronggeng dengan nama Dewi Rengganis itu.

Fakta dan Upaya Pelestarian

Fakta sejarah menjelaskan bahwa ronggeng gunung adalah salah satu jenis seni yang lahir pada abad ke-16 di Kerajaan Haur Kuning Ciamis Jawa Barat. Jika ditinjau secara etimologis, ronggeng berasal dari kata ‘renggana’ yang artinta perempuan pujaan dalam bahasa Sansekerta. Perempuan pujaan ini menari diiringi seperangkat alat musik tradisional dan tariannya berperan sebagai penghibur tamu kerajaan. Diperkirakan ada sejak abad VII pada masa Kerajaan Galuh. Sedangkan gunung adalah tempat yang permukaannya lebih tinggi dari dataran rendah. Ronggeng adalah perempuan yang memiliki banyak peran dalam seni ronggeng gunung. Dalam setiap pertunjukan seni tersebut, dia akan bertindak sebagai penari dan sekaligus sebagai penyanyi ( https://budaya.kemdikbud.go.id)

Kekhasan seni ronggeng gunung ini terletak pada kekuatan warna suara, tempo, dan nada nyanyian ronggengnya. Suaranya memiliki karakter yang kharismatik. Nyanyian yang didendangkan seorang ronggeng sesekali terdengar pilu. Namun seringnya berupa lengkingan-lengkingan panjang yang menyayat sukma. Nada dan irama muncul tak terduga. Suara seperti ini hanya bisa dilakukan oleh orang tertentu yang sungguh-sungguh sudah terlatih, baik dalam olah vokal maupun pernafasannya.

Sampai sekarang Rongeng Gunung masih tetap dipertahankan oleh masyarakat. Seni tradisi ini bertahan selama berabad-abad, yaitu dari abad 16 hingga sekarang. Hal ini adalah kelebihan dari Ronggeng Gunung. Bisa beertahan dalam kurun waktu yang lama membuktikan bahwa ada nilai-nilai positif dan penting atau berharga dari ronggeng gunung. Oleh karena itu, kita sepakat budaya tradisional ini haruslah dijaga dan dilestarikan.

Memang benar. Seni ronggeng gunung adalah khasanah budaya lokal, aset besar budaya Kabupaten Ciamis yang harus dilestarikan. Sudah saatnya pemerintah terlibat untuk menyosialisasikan seni ronggeng gunung kepada generasi muda. Khususnya di Tatar Sunda.

Apabila seni ronggeng gunung bisa lebih dikuatkan eksistensinya, tentu berpengaruh terhadap pendapatan pelakunya dan secara umum pada pendapatan daerah. Caranya adalah dengan adanya peran serta dari pihak pemerintah daerah itu. Contoh nyata kegiatannya adalah mempertunjukkan ronggeng gunung pada acara-acara hajatan desa, hajatan kecamatan, hajatan kabupaten, dan acara-acara lain yang bersifat publikatif. Perlu juga diadakan pelatihan-pelatihan tarian ronggeng gunung pada generasi muda dengan mendirikan sanggar-sanggar. Regenerasi ronggeng gunung untuk anak-anak dan remaja juga bisa dilakukan dengan memasukkan ronggeng gunung sebagai materi ekstrakurikuler di sekolah.

Pada dasarnya upaya ini bukan saja dapat memperbaiki pendapatan masyarakat, melainkan juga sebagai upaya melestariakan budaya asli Indonesia yang sudah mulai tergerus arus globlal sekarang ini.

Referensi:

https://budaya.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/asal-usul-seni-ronggeng-gunung/

https://commons.wikimedia.org/w/index.php?search=ronggeng+gunung+ciamis&title=Special:MediaSearch&go=Go&type=image

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FR
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini