Grebeg Besar Demak, Budaya Turun Temurun dari Sunan Kalijaga

Grebeg Besar Demak, Budaya Turun Temurun dari Sunan Kalijaga
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Sejarah Grebek Besar Demak

Demak merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Jawa Tengah. Daerah yang dikenal dengan sebutan "Kota Wali" ini menyimpan tradisi yang masih dilaksanakan dan awet hingga sekarang, yaitu tradisi Grebeg Besar.

Kabupaten Demak adalah daerah yang tidak terlalu luas dan padat penduduk, sehingga nilai-nilai kebudayaan dan sifat masyarakat tradisionalnya masih terjaga dengan baik. Salah satunya gotong royong dan budi pekerti.

Sebagai masyarakat Demak, sebutan Kota Wali memang berasal dari sejarah para Sunan dan Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Jawa. Dan Demak menjadi salah satu daerah pusat penyebaran agama Islam yang pertama, serta menjadi tempat berkumpulnya Wali Songo. Tradisi Grebek Besar adalah satu dari peninggalan Wali Songo sekaligus Kerajaan Islam yang Pertama. Tradisi ini kemudian diwariskan turun temurun oleh masyarakat hingga sekarang.

Tradisi Grebek Besar Demak, diprakarsai oleh Sunan Kalijaga yang merupakan salah satu Wali Songo yang tersebar di pulau Jawa. Beliau dalam misinya menyebarkan Islam di pulau Jawa, tentu menggunakan strategi akulturasi budaya untuk membuat masyarakat pelan-pelan menerima.

Akulturasi budaya adalah memadukan dua kebudayaan yang berbeda untuk membentuk suatu ikatan agar masing-masing kebudayaan dapat dijalankan tanpa tumpang tindih. Selain Sunan Kalijaga, salah satu tokoh lainnya yang ikut melahirkan tradisi ini adalah Sultan Fattah.

Keduanya menciptakan akulturasi budaya agar masyarakat Demak yang awam dengan Islam menjadi paham dan perlahan memaknai Islam sebagai agama yang benar. Sebab tujuan inilah, Grebek besar difungsikan Sunan Kalijaga sebagai media dakwah dan komunikasi yang efektif.

Tradisi Grebek Besar Demak

Grebek Besar berasal dari dua kata yaitu 'Grebek' yang berarti perkumpulan dalam Bahasa Jawa dan 'Besar' yang berarti Besar. Namun pemilihan kata 'Besar disini dapat diterjemahkan sebagai Hari Raya Idul Adha, karena masyarakat Demak sering menyebut Idul Adha sebagai Hari Raya Besar. Dalam bahasa Jawa disebut 'Besaran'. Jadi tradisi Grebek Besar dilakukan dalam rangka untuk memperingati Hari Raya Idul Adha dalam Islam.

Tradisi Grebek Besar memiliki serangkaian acara yang dilakukan secara runtut dan filosofis. Upacara dimulai dengan Bupati dan Wakil Bupati serta jajaran pemerintah Kabupaten Demak yang mengunjungi Kasepuhan Kadilangu. Setelah itu dilanjutkan berziarah ke makam leluhur Sultan Bintoro di Masjid Agung Demak, lalu menuju makam Sunan Kalijaga. Masjid Agung demak merupakan titik awal tempat berkumpulnya sebagian besar masyarakat yang ingin menyaksikan iring-iringan Bupati dan Wakil Bupati.

Rombongan pemerintah Kabupaten Demak diiringi parade yang super meriah. Salah satunya adalah iringan arak-arakan Prajurit Patangpuluhan sebagai pembuka panji kebesaran ketika menuju ke Kasepuhan Kadilangu.

Prajurit Patangpuluhan mengenakan baju adat Demak serta aksesori perlengkapan tambahan seperti pedang dan tameng, seolah sedang mengawal Raja Demak pada zaman kerajaan. Dalam parade iringan juga terdapat barisan grup rebana, kereta kuda, dan barongan yang ikut serta memeriahkan.

Parade ini merupakan acara pembukaan yang sangat ramai dan menjadi daya tarik utama. Banyak masyarakat Demak berkunjung untuk menyaksikannya, bahkan pendatang dari luar Demak. Mereka mengerumuni parade acara kirab tradisi dengan khidmat. Meskipun cuaca panas maupun hujan, masyarakat tetap menunjukkan antusiasnya.

Prosesi acara selanjutnya adalah saat menjelang malam Hari Raya Idul Adha, diadakan upacara Tumpeng Songo. Dalam bahasa Jawa 'Songo' memiliki arti sembilan. Hal ini dimaksudkan pada penyebar agama Islam, yakni Wali Songo yang berjumlah sembilan sunan. Iring-iringan tumpeng songo ini diarak dari pendopo kabupaten menuju serambi Masjid Agung Demak. Setelah sampai di masjid diadakan tahlil dan doa bersama atau yang biasa orang Jawa sebut dengan 'Selametan'.

Selanjutnya, prosesi penyerahan tumpeng songo dilakukan Bupati Demak kepada pengurus masjid untuk dibagikan kepada masyarakat dan pengunjung. Masyarakat biasanya memadati area sekitar untuk mendapatkan pembagian tumpeng. Makanan tumpeng ini diyakini membawa berkah.

Selain itu, pada acara parade tumpeng songo, biasanya dimeriahkan dengan pasar malam rakyat yang dipenuhi oleh orang-orang dari luar Demak. Mereka sengaja berkunjung dan menghabiskan waktu dengan keluarga untuk liburan dan menikmati waktu untuk ikut merayakan malam Hari Raya Idul Adha.

Kemudian sampai pada runtutan prosesi selanjutnya, yaitu penjamasan pusakan peninggalan Sunan Kalijaga. Penjamasan merupakan proses pengawalan Minyak Jamas oleh Prajurit Patangpuluhan yang dibawa Bupati Demak, sebagaimana yang dilaksanakan Sultan Bintoro pada zaman dahulu.

Minyak Jamas ini akan diserahkan kepada Kasepuhan. Filosofi dari penjamasan ini adalah sebagai pengingat bagaimana pemerintah Demak berhasil menghidupkan tradisi Grebeg Besar dan masih mempertahankannya hingga sekarang.

Minyak Jamas ini kemudian akan dibawa oleh Kasepuhan Kadilangu ke dalam Makan Sunan Kalijaga, dimana seluruh petugas dan juru kunci berada di dalam, sedangkan masyarakat berada di luar serambi makam. Prosesi ini adalah runtutan terakhir dari acara Grebeg Besar yang sakral dan hanya dapat disaksikan oleh anggota Kasepuhan dan orang-orang tertentu.

Secara garis besar, tradisi Grebeg Besar tidak hanya sebagai acara untuk menyambut Hari Raya Idul Adha saja. Karena dibalik setiap prosesi acaranya, terdapat filosofi yang begitu dalam dan sangat penting.

Salah satunya adalah maksud penghormatan kepada Sunan Kalijaga, yang merupakan tokoh berpengaruh di pulau Jawa. Sehingga tidak heran bahwa acara Grebeg Besar Demak menyimpan tradisi sakral yang masih diwariskan dan dilaksanakan setiap tahun oleh Pemerintahan Demak.

Grebeg besar merupakan wujud dari solidaritas dalam menghormati setiap ajaran dan kepercayaan. Apalagi masyarakat Jawa pada zaman dahulu tidak memeluk agama apapun. Karena itu tradisi ini menjadi akulturasi budaya paling berpengaruh dalam tatanan sosial di Demak. Selain untuk menghormati leluhur yang telah membawa agama Islam, sekaligus juga untuk memperingati Hari Raya Idul Adha.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini