Ilmu Kimia dalam Upaya Melestarikan Tradisi Tenun Lombok

Ilmu Kimia dalam Upaya Melestarikan Tradisi Tenun Lombok
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023

#PekanKebudayaanNasional2023

#IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Modernitas dengan budayanya yang serba instan telah menghilangkan berbagai kearifan budaya dari kehidupan masyarakat Nusantara. Salah satu budaya yang semakin menghilang adalah tradisi mewarnai benang dengan pewarna alam. Awalnya, tradisi ini merupakan salah satu tahapan penting dalam proses pembuatan kain tradisional, seperti tenun songket dan tenun ikat. Meskipun demikian, tahapan ini telah lama ditinggalkan oleh para perajin kain tradisional. Para perajin kini telah beralih pada benang-benang berwarna yang berasal dari pabrik-pabrik tekstil.

Desa Sukarara di Pulau Lombok (NTB) masih mempertahankan tradisi tenun tradisional. Meskipun demikian, tradisi mewarnai benang dengan pewarna alam sudah jarang terlihat di sentra tenun lombok tersebut. Saat ini, para perajin kain di Desa Sukarara lebih terbiasa menggunakan benang-benang toko. Benang-benang pabrikan tersebut memiliki warna-warni yang berasal dari pewarna sintetis. Penulis, sebagai seorang sarjana kimia, sangat memahami dampak negatif dari penggunaan pewarna sintetis tersebut khususnya bagi lingkungan hidup. Selain itu, penggunaan pewarna sintetis ternyata juga merugikan budaya asli Lombok. Menurut hasil wawancara dengan pihak Museum Negeri NTB, dahulu tenun lombok dibuat dengan memanfaatkan pewarna alam. Fakta ini pun menjelaskan bahwa penggunaan benang dengan pewarna sintetis tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga kebudayaan.

Pada era pemanasan global saat ini, masyarakat internasional telah memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya keberlanjutan lingkungan. Hal ini membuat mereka lebih mendukung penggunaan pewarna alam daripada pewarna sintetis. Akibatnya, kini para wisatawan asing cenderung menyukai produk-produk hasil budaya yang dibuat dengan pewarna alam. Menurut Baiq Dita, seorang pemilik usaha tenun lombok di kota Mataram, kecenderungan ini sering menjadi penyebab kurang diminatinya kain tenun lombok oleh para wisatawan asing. Menurut pemilik Galeri Tenun Lombok tersebut, pada setiap pameran tenun tradisional, kain dengan benang pewarna alam akan lebih diminati daripada kain dengan pewarna sintetis. Kondisi ini pun semakin menjelaskan bahwa penggunaan pewarna sintetis pada kain tenun lombok tidak hanya merugikan lingkungan dan kebudayaan, tetapi juga membuat produk hasil budaya ini kehilangan nilai ekonominya.

Galeri Tenun Lombok merupakan sebuah usaha kecil yang dirintis oleh generasi milenial perkotaan. Meskipun demikian, mereka sangat prihatin terhadap masalah budaya di Desa Sukarara. Menurut mereka, fenomena hilangnya tradisi mewarnai benang dengan pewarna alam merupakan masalah yang harus segera ditanggulangi. Pihak Galeri Tenun Lombok pun segera mengajak penulis untuk berkolaborasi melakukan penelitian sederhana terkait pewarna alam bagi benang tenun lombok. Mengingat masalah ini sangat penting bagi kebudayaan dan lingkungan, penulis pun segera melakukan penelitian terkait hal tersebut.

Merujuk pada penelitian Saputri dalam Skripsi Pewarna Alami IPB, penulis telah melakukan percobaan mewarnai benang katun dengan pewarna alam. Benang dalam percobaan ini adalah benang katun yang biasa digunakan oleh para perajin Desa Sukarara. Sumber pewarna dalam percobaan ini adalah tumbuh-tumbuhan penghasil warna yang umum digunakan di seluruh Nusantara, seperti kulit secang, kulit pohon mahoni, akar mengkudu, daun kelengkeng, dan daun ketapang. Hasil percobaan ini menghasilkan benang berwarna merah muda, abu-abu, cokelat, kuning, dan putih tulang. Selanjutnya, perajin Desa Sukarara melakukan proses penenunan hingga terciptalah kain songket motif subahnale lepang.

Foto Songket Lombok Motif Subahnale Lepang

Secara garis besar, percobaan ini sangat berhasil. Meskipun demikian, penulis menganalisis kembali bahwa metode pewarnaan ini bukanlah tradisi asli generasi terdahulu. Metode ini menggunakan mordan dari bahan kimia sintetis, yakni kapur sirih (Ca(OH)2), tawas [KAl(SO4)2.12H2O], dan tunjung (FeSO4). Kearifan budaya tidak akan menggunakan bahan yang merugikan penggunanya, lingkungan, dan generasi berikutnya. Penggunaan mordan sintetis ini selain berbahaya bagi lingkungan juga tidak mudah digunakan oleh orang awam dan anak-anak. Meskipun demikian, menurut para ahli kimia dalam Frontiers Natural Dye, pewarna alam adalah pewarna mordan karena pigmen pewarna dari tumbuhan tidak akan melekat sempurna ke dalam serat katun tanpa adanya mordan. Menurut buku The Chemistry of Natural Dyesdalam penjelasan Exploratorium, mordan adalah kation logam yang berperan sebagai jembatan antara molekul pigmen pewarna dan serat katun. Ikatan kimia dengan senyawa mordan akan membuat warna pada benang menjadi lebih tajam dan lebih tahan lama. Penjelasan ini memunculkan pertanyaan, mordan apa yang digunakan oleh generasi terdahulu saat mewarnai benang dengan pewarna alam?

Pencarian jawaban dari pertanyaan tersebut mengantar penulis pada studio Bidadariku di kabupaten Lombok Tengah. Studio milik Mas Afriandi dan Mbak Dina ini telah memanfaatkan resep asli pewarna alam dari nenek moyang masyarakat Pulau Lombok. Menurut penjelasan Mas Afriandi, generasi terdahulu menggunakan mordan alami dan bahan sejenisnya, seperti daun Symplocos brandisii, biji kemiri, biji jarak, nyamplung, daun tarum (indigofera), dan genangan lumpur. Jika ditelaah lebih lanjut, seluruh bahan alam tersebut mengandung senyawa-senyawa yang sama dengan kapur sirih, tawas, ataupun tunjung. Inilah kearifan budaya yang sesungguhnya, metode ini ramah lingkungan, tidak membahayakan bagi para pencelup warna, dan mudah diajarkan sejak dini kepada anak-anak. Pada akhirnya, kembali pada kearifan budaya sendiri merupakan cara yang paling efektif untuk merawat bumi dan merawat kebudayaan.

Upaya melestarikan tradisi mewarnai benang dengan pewarna alam tidak dapat berakhir pada tahap ini. Berbagai langkah strategis harus penulis lakukan untuk melestarikan bagian dari tradisi tenun tradisional ini. Penulis berharap tradisi ini lebih dikenal luas khususnya di Mataram, ibu kota provinsi NTB yang letaknya cukup jauh dari pusat kebudayaan asli Lombok.



Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AD
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini