Melestarikan Nilai Lokalitas Dalam Mengimplementasikan Kebudayaan “Bulusan” Di Kudus

Melestarikan Nilai Lokalitas Dalam Mengimplementasikan Kebudayaan “Bulusan” Di Kudus
info gambar utama

MELESTARIKAN NILAI LOKALITAS DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN KEBUDAYAAN “BULUSAN” DI KUDUS

Muhammad Syaihuddzikkri Amin

Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam, IAIN Kudus

msyaihuddzikkria@gmail.com

Tagar : #LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melumbung

Pelestarian Budaya sangatlah penting khususnya Budaya Lokal, dengan tetap melestarikan nilai-nilai yang terkandung dan sudah tertanam di masyarakat sejak lama. Budaya lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh suatu wilayah dan mencerminkan keadaan sosial di wilayahnya masing-masing, melestarikan budaya yang ada akan menjadikannya tetap ada ditengah era-zaman modern sekarang ini, sehingga tidak akan luntur nilai-nilainya oleh perkembangan zaman. Dalam hal ini penting sekali untuk dipelajari oleh para generasi agar tetap lestari sehingga dapat memperkenalkan sekaligus mempertontonkan kepada orang banyak bahkan tidak hanya lokal, nasional bahkan internasional. Melestrikan kebudayaan lokal berarti ikut berperan serta dalam masyarakat dalam hal ini generasi muda bangsa untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang luhur dan tetap menjaga keutuhan warisan dari nenek moyang.

Setiap daerah memiliki ragam cerita rakyat, baik secara lisan, setengah lisan, maupun non-lisan. Tanpa terkecuali di daerah Kabupaten Kudus, kota kecil yang kaya akan cerita dan sejarahnya. Salah satu cerita rakyat yang tetap eksis hingga masa sekarang yaitu tentang asal-usul Bulusan yang berasal dari Dukuh Sumber, Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Cerita rakyat Bulusan termasuk dalam legenda setempat yang dipercaya masyarakat akan kebenaran yang terjadi karena berkaitan dengan nama dukuh Sumber (Isnaeni, 2014). Sampai saat ini bulusan dijadikan sebuah tradisi sebagai upaya dalam melestarikan cerita rakyat tersebut. Cerita tentang asal-usul Bulusan memiliki ragam nilai yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat, diantaranya yaitu nilai religius dan nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dan tuntunan hidup suatu individu.

Nilai Moral Cerita Rakyat Bulusan

Moral berasal dari kata “mores” yang berarti kebiasaan, adat istiadat atau tata cara hidup. Kata tersebut selalu berkaitan dengan peraturan atau adat suatu golongan masyarakat. Nilai moral dapat dijadikan sebagai pedoman mengetahui baik dan buruknya tingkah manusia. Oleh karena itu, nilai moral begitu penting untuk menilai baik buruknya seseorang. Dalam penilaian ini melekat kepada perilaku yang dilakukan manusia, baik secara sengaja maupun tidak, dengan ini penilaian buruk terhadap perilaku manusia bersifat relatif (Kanzunnudin, 2021). Sedangkan menurut (Sa’ida, 2020) nilai moral adalah sesuatu yang perlu dilaksanakan oleh manusia, namun jika tidak dilaksanakan maka akan mengalami kerugian, seperti orang yang melakukan perjanjian namun orang tersebut sering mengingkari janji, maka orang tersebut tidak akan dipercaya lagi karena sering mengingkari janji. Nilai moral selalu berhubungan dengan budi pekerti, kebaikan dan nilai moral selalu dihargai dan dijunjung tinggi.

Nilai- nilai moral pada anak dapat diterapkan dan dikembangkan melalui cerita rakyat Bulusan, salah satu cerita rakyat dan tradisi yang ada di kota Kudus. Aspek- aspek Nilai moral yang terdapat pada cerita Bulusan banyak sekali untuk dapat diteladani seperti nilai gotong royong, nilai tanggung jawab, dan nilai patuh kepada sang guru.

  • Nilai gotong royong

Pada cerita Bulusan adalah sebuh cerita yang mengisahkan tentang mbah Dudo seorang alim ulama yang memliki santri bernama umara dan umari, suatu ketika mbah Dudo memerintah kedua santrinya untuk melakukan aktivitas cocok tanam dan mereka melakukannya bersama- sama. Hal tersebut menunjukan aspek nilai moral gotong royong karena umara dan umari dapat bercocok tanam dengan kerja sama yang baik.

  • Nilai tanggung jawab

Pada cerita rakyat bulusan, memuat nilai moral berupa tanggung jawab, dimana sunan muria yang tidak sengaja berkata bahwa santri yang bekerja pada malam hari menyerupai bulus, dari perkataan sunan muria tersebut para santri seketika berubah menjadi bulus, setelah kejadian tersebut sunan muria meminta maaf kepada kepada mbah buyut dudo. Setelah itu sunan muria menancapkan tongkat pada suatu tempat dan muncul sumber air sebagai sumber kehidupan bulus bulus tersebut dan juga sunan muria berjanji jika bulus bulus tersebut akan selalu diberi makan oleh warga. Dari hal tersebut termasuk dalam nilai tanggung jawab.

  • Nilai patuh

Pada cerita bulusan, memuat nilai moral patuh, dimana santri yang bernama umara dan umari yang diutus oleh mbah Dudo untuk bercocok tanam. Dikarenakan Umara dan Umari yang sangat taat dan patuh kepada mbah Dudo ingin segera melaksanakan tugas yang diberikan oleh gurunya namun karena pada saat itu umara dan umari sedang berpuasa maka mbah Dudo menyuruh untuk bercocok tanam pada malam hari dan umara dan umari pun mengikuti perkataan dari gurunya tersebut. Dari hal itu dapat diketahui bahwa ada nilai moral patuh didalam cerita Bulusan.

Umara dan Umari bertanya, “Guru, bisakah kami menanam sekarang?”. Mbah Dudo menjawab, “Karena kalian sedang berpuasa, lakukanlah di malam hari”. Umara dan Umari pun mengikuti perintah gurunya tersebut.

KESIMPULAN

Salah satu cerita rakyat legendaris Kota Kudus yaitu cerita rakyat Bulusan yang diwariskan secara turun temurun dan masih dipercaya kebenarannya hingga saat ini. Cerita rakyat Bulusan dijadikan tradisi masyarakat setemapat yang diperingati setiap tanggal delapan Bulan Syawal, tepat tujuh hari setelah Idul Fitri. Perayaan tersebut terdiri dari berbagai rangkaian kegiatan dan dimeriahkan oleh seluruh warga Sumber dan sekitarnya.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa dari asal-usul cerita rakyat Bulusan terdapat nilai-nilai kehidupan di dalamnya, yaitu nilai religius dan nilai moral. Nilai religius yang terkandung dalam cerita tersebut antara lain nilai ketaatan, keyakinan, dan pengamalan. Adapun nilai moral yang ditemukan pada cerita Bulusan yakni nilai gotong royong, kepatuhan, dan kesopanan.

DAFTAR PUSTAKA

https://digilib.iain-palangkaraya.ac.id/1409/1/Kebudayaan%20Islam%20Kalimantan%20Tengah_UNESCO_HVS_rev.pdf#page=91

https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/3639360

Ernawati, E., & Kanzunnudin, M. (2023). Analisis Cerita Lisan Asal – usul Nyai Ageng Ngerang dan kaitannya dengan Pembelajaran Sastra di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan, Sosial Dan Humaniora, 2(2), 311–317.

Yetti, E. (2011). Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Nusantara: Upaya Melestarikan Budaya Bangsa 1 Erli Yetti 2 Abstrak. Mabasan, 5(2), 13–24.

Afdolia, N. S., & Kanzunnudin, M. (2023). CERITA LISAN PUTRI CEMPA DALAM KAJIAN STRUKTURAL DAN NILAI KEARIFAN LOKAL DI DESA BONANG. 1(1), 14–25. Kanzunnudin, M. (2016). Penulisan Cerita Rakyat sebagai Konservasi Budaya Lokal. Budaya Literasi Menuju Generasi Emas Bagi Guru Pembelajar, December 2016. Kanzunnudin, M. (2021). Seminar Nasional “ Potensi Budaya, Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya untuk Pengembangan Pariwisata dan Industri Kreatif ” Kudus, 13 Oktober 2021. 2, 228–237.

Isnaeni, Y. B. (2014). Nilai Pendidikan Karakter Cerita Rakyat Sunan Muria Di Kabupaten Kudus (Sebuah Pendekatan Struktural).

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini