Mengenal Lebih Dekat Budaya Anim Ha, Suku Malind dari Papua Selatan

Mengenal Lebih Dekat Budaya Anim Ha, Suku Malind dari Papua Selatan
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Kebudayaan di Indonesia sangatlah beragam, termasuk budaya yang ada di Tanah Papua. Papua terdiri dari berbagai suku yang memiliki budaya serta adat yang berbeda-beda. Sebagai contoh, di Papua Selatan terdapat Suku Malind yang pada jaman dahulu terkenal sebagai pemburu kepala manusia. Terdengar menakutkan bukan? Tapi tidak demikian kawan GNFI. Mari aku ceritakan mengenai kebudayaan dari daerahku yakni Provinsi Papua Selatan.

Berdasarkan buku Van Baal, Suku Malind atau yang sering dikenal dengan Malind Anim dikenal sebagai suku dari Papua yang berburu kepala manusia untuk digunakan dalam ritual magis. Jangan takut, kegiatan tersebut telah lama ditinggalkan oleh masyarakat Suku Malind karena berburu kepala manusia tersebut sudah termasuk pelanggaran hukum dan masyarakat Suku Malind adalah orang-orang yang taat pada hukum negara Indonesia. Meskipun demikian, masyarakat Suku Malind tidak melupakan asal-usul mereka sebagai seorang Anim Ha atau “Manusia Sejati” yang dekat dengan alam. Kedekatan masyarakat Suku Malind dengan alam terwujud melalui upacara-upacara adat.

Upacara-upacara adat yang dilakukan oleh Suku Malind sangat menarik terutama dari segi pakaian yang dikenakan selama upacara. Pada upacara inisiasi, laki-laki Suku Malind mengenakan atribut berupa cawat yaitu semacam bawahan berbentuk seperti rok yang terbuat dari daun sagu yang dikeringkan, hiasan dari bunga anggin di bagian kedua belah lengan, dan hiasan kepala berbentuk seperti mahkota bulu yang disebut himbu, sedangkan perempuan Suku Malind juga menggunakan cawat, hiasan dari bunga anggin di lengan, dan mengenakan ikat kepala terbuat dari janur atau daun kelapa. Tidak lupa juga alat-alat upacara lainnya seperti tifa yaitu semacam alat musik pukul dan busur panah.

Mungkin sebagian dari kita tidak asing dengan hiasan kepala yang disebut himbu. Bentuk himbu sangat khas yakni menyerupai mahkota yang terbuat dari bulu burung Kasuari yang ditata tegak berdiri dengan hiasan cangkang-cangkang kerang. Himbu sering sekali dipakai oleh orang-orang dalam kegiatan-kegiatan dalam upaya memperkenalkan budaya Papua. Ternyata hiasan kepala tersebut memiliki filosofi tersendiri dan tidak dipakai secara sembarangan oleh masyarakat Suku Malind. Himbu ternyata tidak diperkenankan untuk dipakai perempuan, karena himbu secara turun temurun diwariskan kepada laki-laki. Himbu biasanya dipakai oleh pakasanem atau mitawal (laki-laki Suku Malind yang dihormati dan lebih memahami adat istiadat Suku Malind) saat kegiatan inisiasi dan tidak dipakai dalam upacara lain. Hal tersebut berkaitan dengan aspek ruang dan aspek waktu, atau aspek spasial dan aspek temporal mengenai penggunaan himbu.

Pada kegiatan seni kolosal yaitu upacara Nggatsi yang merupakan upacara bentuk syukur masyarakat Suku Malind kepada Sang Pencipta, hiasan kepala yang dikenakan laki-laki Suku Malind bukanlah himbu melainkan ndiput atau seseke. Ndiput atau seseke juga terbuat dari bagian bulu burung Kasuari dan rotan yang dijalin membentuk mahkota mengelilingi kepala. Bulu burung Kasuari yang digunakan dalam ndiput dipilih yang berukuran panjang dengan tujuan agar hiasan kepala tersebut ikut bergoyang saat pengguna ndiput menari dan bergoyang.

Perempuan Suku Malind tidak memakai himbu ataupun ndiput. Perempuan Suku Malind dalam upacara Nggatsi biasanya memakai boka atau nama lainnya adalah wandar-wandar yakni hiasan kepala yang terbuat dari janur atau daun kelapa yang masih muda. Kemudian pada kegiatan inisiasi, penampilan perempuan Suku Malind ditambah dengan riasan mayup atau gambaran titik-titik pada wajah. Makna dari mayup adalah seorang perempuan Suku Malind telah menjadi perempuan dewasa yang siap untuk menikah.

Selain melalui pakaian adat, kawan GNFI juga dapat mengenal budaya Anim Ha melalui lukisan-lukisan dalam riasan wajah saat upacara adat. Bentuk dan pola dari riasan wajah atau yang disebut juga dengan huwe terkait dengan simbol-simbol totemistik sesuai dengan marga-marga besar yang ada di Papua Selatan. Terdapat 7 marga besar dalam Suku Malind dengan masing-masing simbol totemistik yang berbeda-beda, yaitu:

  1. Mahuze dengan totem anjing,
  2. Gebze dengan totem kelapa,
  3. Basik-basik dengan totem babi,
  4. Ndiken dengan totem burung ndik (sejenis bangau),
  5. Balagaize dengan totem buaya,
  6. Kaize dengan totem kasuari, dan
  7. Samkakai dengan totem Walabi (sejenis kangguru berukuran kecil).

Foto Kiri Riasan Marga Mahuze, Foto Kanan Atas Riasan Marga Ndiken dan Foto Kanan Bawah Riasan Marga Gebze| Foto: Dokumentasi Pribadi

Pola riasan yang akan dikenakan seseorang disesuaikan dengan totem masing-masing marga. Pada orang Suku Malind dengan marga Mahuze akan melukis wajahnya menyerupai anjing dengan cara mewarnai satu sisi wajah dengan warna hitam dan sisi lainnya dengan warna putih. Seseorang dengan marga Gebze akan warnai wajahnya dengan pola melingkar pada kedua mata dengan warna kuning yang merupakan perlambang dari kelapa. Seseorang dengan marga Ndiken akan melukiskan pola dengan menggunakan warna kuning membentuk satu garis vertikal dari tengah kening hingga hidung dan satu garis horizontal dari tulang pipi kanan melintang ke tulang pipi kiri melewati sepanjang bawah mata. Pada bagian ujung dan pangkal garis horizontal, masing-masing ditarik satu garis vertikal ke arah bawah kemudian bercabang tiga seperti kaki burung. Garis vertikal di hidung melambangkan kepala dan leher burung, garis horizontal melambangkan sayap, dan garis vertikal kecil bercabang 3 melambangkan tungkai kaki burung ndik.

Terdapat 3 warna dasar dari Suku Malind yaitu warna hitam, putih dan merah. Warna-warna yang digunakan oleh masyarakat Suku Malind tersebut juga merupakan warna-warna yang dekat dengan kehidupan sehari-hari serta bahan bakunya mudah didapatkan di tanah Anim Ha. Seluruh riasan wajah tersebut menggunakan bahan alami seperti perasan air dari batang pohon mangga yang ditumbuk dan dicampur dengan kapur sirih untuk menghasilkan warna kuning, lumpur untuk menghasilkan warna putih, arang untuk menghasilkan warna hitam, dan buah kaisepe atau buah dari tanaman kesumba keling dengan nama Latin Bixa orellana untuk menghasilkan warna merah. Dalam bahasa Malind, warna hitam disebut dengan kunaihi sebagai perwujudan dari sikap bijaksana, warna putih disebut dengan koihi sebagai perwujudan dari sikap netral, dan warna merah disebut dengan dohi sebagai perwujudan dari kelahiran. Selain ketiga warna dasar tersebut, tedapat juga warna kuning, warna kuning dianggap memiliki makna sebagai keagungan Tuhan. Masing-masing warna memiliki nilai budaya yang erat dengan nilai-nilai filosofis kehidupan masyarakat Suku Malind.

Melalui atribut masyarakat Suku Malind, kawan GNFI dapat mengenal lebih dekat budaya Anim Ha sebagai warisan budaya dari Tanah Papua. Kita perlu menghargai dan melestarikan kekayaan budaya Indonesia sebagai warisan yang tak ternilai bagi generasi Indonesia di kemudian hari. Salam #IndonesiaMelumbung

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SU
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini