Merawat Tutur Adat dalam Budaya Manggarai

Merawat Tutur Adat dalam Budaya Manggarai
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023

#PekanKebudayaanNasional2023

#IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan budaya dan bahasa. Setiap daerah memiliki budaya dan bahasa khas, baik yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari, maupun dalam tutur adat. Dalam konteks budaya Manggarai, Flores, NTT, misalnya bahasa daerah yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari berbeda dengan bahasa-kosa kata yang digunakan dalam acara adat (tutur adat). Dalam perkembangan bahasa, hampir sebagian besar anak muda di Manggarai, termasuk saya, kurang cakap dan paham dalam menggunakan dan mengerti kosa kata yang digunakan dalam tutur adat. Bahkan tidak semua orang dewasa atau yang masuk dalam generasi X yang menguasai tutur bahasa daerah khas dalam ritus-ritus budaya.

Bertolak dari pengantar singkat di atas, saya mengangkat sebuah tema tentang pentingnya merawat tutur adat dan strategi pewarisannya. Tutur adat ini penting karena selalu diekspresikan dalam acara adat, seperti lamaran dan pernikahan. Dalam dua acara adat ini, komunikasi intens terjadi antara pihak laki-laki dan perempuan yang diwakili oleh tongka (juru bicara). Tutur adat menjadi kunci utama dalam kelancaran dua acara adat tersebut. Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendeskripsikan bagaimana prosesi adat lamaran dan pernikahan di Manggarai, tetapi lebih menguraikan kesan saya terkait bagaimana pentingnya belajar dan merawat tutur adat?

Tutur Adat Sarat Perumpamaan

Pada bulan Agustus dan September 2023, saya mengikuti dua ritus adat yang hampir sama, yaitu pernikahan (Agustus, 2023) dan lamaran (September, 2023). Dalam ritus adat pernikahan saya menyaksikan secara langsung dan bahkan duduk di belakang tongka. Sedangkan dalam acara lamaran, saya adalah pasangan laki-lakinya. Dalam dua acara ini, saya menyaksikan secara langsung bagaimana tutur adat itu diekspresikan. Ada banyak kosakata dan perumpamaan yang digunakan, yang jauh dari kosa kata bahasa daerah harian.

Semua tahapan ritus budaya lamaran dan pernikahan itu menekankan pentingnya pemahaman kosa kata dan ungkapan khas daerah. Karena itu, tongka baik dari pihak perempuan maupun laki-laki harus menguasai bahasa khas dan berbagai perumpamaan yang digunakan. Dalam acara penyerahan belis atau mahar dari pihak laki-laki ke pihak perempuan, misalnya, dua tongka dari masing-masing pihak duduk berhadapan. Keduanya berkomunikasi, berinteraksi dengan bahasa atau tutur adat.

Kosa kata yang digunakan oleh dua tongka ini adalah kosa kata yang tidak biasa digunakan sehari-hari. Jokes mereka juga terkadang sulit ditangkap dan dipahami oleh masyarakat Manggarai sendiri yang tidak terbiasa ikut dalam acara-acara adat seperti ini. Penguasaan tutur adat yang sarat perumpamaan itu sangat menentukan kelancaran acara. Dalam ritus lamaran dan pernikahan, misalnya, mahar tidak disebut paca, sebagai kosa kata bahasa Manggarai yang artinya mahar/belis. Tetapi yang digunakan adalah bahasa perumpamaan wa tanah eta sekang (di tanah dan di atas rumah). Istilah wa tanah eta sekang digunakan untuk menentukan jumlah belis atau mahar (Narung, dkk, 2021). Wa tanah (di tanah) menunjukkan jumlah mahar hewan, sedangkan eta sekang (dalam rumah) menunjukkan jumlah mahar uang yang diserahkan oleh pihak laki-laki.

Interaksi dan komunikasi dengan menggunakan bahasa atau tutur adat menjadikan acara adat itu berjalan lancar. Seni dan nilai budayanya terkespresi dengan jelas di sana. Para tongka sepertinya saling berbalas perumpamaan dalam ritus budaya seperti itu.

Merawat Tutur Adat

Dalam konteks ritus lamaran dan pernikahan di Manggarai yang menunut belis atau mahar yang besar, posisi tongka dan kecakapannya dalam menggunakan dan memahami ungkapan-ungkapan atau perumpamaan-perumpamaan khas bahasa daerah itu sangat penting. Jika tidak, maka komunikasi adat tidak akan berjalan lancar dan seni budayanya tidak akan nampak. Seni budaya yang dimaksud di sini adalah seni saling tukar atau saling balas perumpamaan khas daerah. Tanpa menguasai tutur adat, ritus pernikahan kemudian akan berjalan hambar dan tidak memberikan nuansa dan nilai budaya.

Saya sebagai anak muda yang mengikuti secara langsung beberapa ritus adat yang mengandalkan tutur adat, merasa sedikit bingung dan sulit memahami berbagai perumpaamaan yang digunakan para tongka. Kosa kata dan perumpamaan yang mereka gunakan tidak mudah untuk dipahami. Karena itu, pada titik ini saya merasakan, bahwa budaya tutur khas daerah ini mesti dirawat melalui, salah satunya regenerasi tongka.

Dalam kaca mata saya sebagai orang awam dalam konteks ini, sepertinya ada strategi khusus yang digunakan oleh orang tua untuk mewariskan budaya tutur ini. Di mana, dalam setiap ritus, tongka selalu di dampingi dua “asisten” yang duduk di samping kiri dan kanannya. Mereka tidak banyak bicara, tetapi lebih menjadi teman dari tongka untuk memberikan kesempakatan atas sebuah keputusan. Keduanya, misalnya lebih banyak mengangguk dan ketawa untuk mencairkan suasana. Nah, dua orang yang mendampingi tongka ini, tidak mesti orang tua, namun harus paham tutur adat. Sistem dua “asisten” ini sepertinya menjadi salah satu cara untuk merawat, menghidupkan, dan mewariskan tutur adat.

Namun, cara ini tidak cukup. Pendidikan mesti berperan dalam hal ini. Pendidikan dari tingkat dasar hingga menengah sejatinya memperkenalkan tutur adat dan sekaligus memberikan ruang untuk mengekspresikannya sejak dini. Saya menyebut dunia pendidikan, karena pendidikan menjadi ruang formal dan wajib bagi anak-anak untuk belajar tutur adat. Dengan demikian, belajar tutur adat tidak dilihat sebagai alternatif, tetapi sebagai kewajiban untuk dipelajari dan dirawat.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

YH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini