Pageu Gampong, Ternyata OVOP Juga

Pageu Gampong, Ternyata OVOP Juga
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023, #PekanKebudayaanNasional2023, #IndonesiaMelambung. Apakah dengan tehnologi, kecakapan manajerial dan kapasitas investasi yang kita miliki, kita tidak mampu memberi solusi mengatasi kemiskinan dan ketidakmampuan masyarakat miskin melakukan pilihan?.(C.K.Prahalad)

Membicarakan kemiskinan, masyarakat miskin dan gampong-sebutan desa di Aceh ternyata menjadi dasar argumentasi kritis diskusi yang selalu menarik.

Apakah sesungguhnya kemiskinan itu memang sekedar konsekuensi logis pembangunan?. Atau mungkin cara pandang kita yang salah dalam memahami kemiskinan hanya sebagai aib atau beban pembangunan?.

Entah mengapa setiap kali menemukan narasi tentang Sustainable Development Goals (SDGs), saya teringat dengan gagasan Profesor strategi korporasi India C.K Prahalad, dengan The Bottom Of The Pyramidnya, salah satu buku solusi kemiskinan yang menarik perhatian saya sejak lama.

Menurutnya, membicarakan kemiskinan harus dalam perspektif yang berbeda (out of the box). “Kemiskinan” harus diposisikan sebagai sumber daya baru dan “kaum miskin” diposisikan sebagai modalitas baru.

Memberdayakan orang miskin adalah sebuah frasa yang bisa membuat kita memikirkan ulang tentang kemiskinan dan bagaimana kita menghadapi tantangannya.

Terutama karena isu besar dunia masih berkisar pada ketahanan pangan, kemiskinan dan kelompok rentan; perempuan, anak dan orang tua, yang membutuhkan banyak perhatian.

Prahalad mencoba menawarkan jalan keluar dengan paradigma baru. Meminjam istilah Prahalad kita harus mulai meninggalkan istilah “pengentasan kemiskinan” dan “kaum miskin” dengan istilah “pasar yang kurang terlayani” dan “konsumen”.

Prosesnya, Pertama; menjadikan kaum miskin sebagai individu merdeka dan bersama pihak lain dianggap sebagai solusi masalah kemiskinan. Kedua; kita harus memahami bahwa mengubah masyarakat miskin menjadi pasar aktif pada hakekatnya merupakan kegiatan pembangunan.

Diperlukan pendekatan baru dan kreatif, guna mengubah kemiskinan menjadi peluang bisnis--bukan dibisniskan, itulah tantangan terbesarnya. Penguatan tradisi “Pageu Gampong” sebagai bagian dari gerakan Beudoh Gampong di Aceh, adalah sebuah solusi kearifan lokal yang sangat menarik.

Memudarnya Kearifan Lokal

Mengapa gagasan Beudoh Gampong dan Pageu Gampong menarik untuk dijadikan sebagai solusi dalam pembangunan?, karena wujud kearifan lokal selalu berkorelasi dengan keselarasan alam sebagai salah satu ciri khasnya.

Dalam konteks Aceh, gampong adalah sebuah institusi struktur tradisional terkecil namun sangat penting dan memberi pengaruh dalam pembentukan karakter ke-Acehan. Bukan itu saja, gampong juga menjadi kekuatan kemandirian yang simboliknya ditandai dengan istilah Pageu Gampong (Pagar Kampung).

Sejatinya pageu gampong adalah sistem penjagaan adat dan budaya gampong dari intervensi atau pengaruh anasir luar. Lebih kompleks dari itu, pageu gampong merupakan wujud dari kemandirian gampong dari sisi sumber daya. Meskipun belum dikenal dengan istilah One Village One Product (OVOP) atau One Gampong One Product (OGOP), Pageu Gampong adalah representasi dari pola OVOP.

Namun gagasan ini kemudian redup dan nyaris mati. Padahal gampong-gampong di Aceh dahulu, telah memiliki karakteristik dan spesifikasi, karena membangun kemandirian, sekaligus membangun ikonik melalui sumber daya spesifiknya.

Kekuatan sumber daya yang spesifik ini menjadi kekuatan kemandirian ekonomi dan daya saing. Konteksnya persis seperti kodifikasi holtikultura yang dilakukan Pemerintah Belanda ketika mengklasifikasi setiap daerah di Indonesia. Mirisnya, kekuatan tersebut belum optimal dijadikan rujukan, bahkan kearifan lokal kita justru mengalami degradasi.

Padahal kodifikasi itu selaras dengan upaya membangun sistem keamanan pangan (food safety). Apalagi perubahan yang semakin kompleks dan cepat mengharuskan kita berada pada tahapan ketahanan pangan (food security), kemandirian pangan (food self sufficiency), maupun kedaulatan pangan (food sovereignity).

Gerakan Beudoh Gampong

Apa yang dikembangkan di Jepang sebagai Isson Ippin Undo atau One Village One Product (OVOP), yang digagas oleh Dr.Mirihiko Hiramatsu pada tahun 1979, adalah membangun sinergisasi pada institusi pemerintahan terkecil; gampong, sebagai kekuatan yang saling berkontribusi dan saling mensubsitusi dalam pemenuhan kebutuhan sumber daya skala kecil, maupun dalam konteks ekonomi negara secara menyeluruh.

Peran pemerintah dibutuhkan untuk menstimulasi OVOP atau Pageu Gampong menjadi sebuah gerakan besar di Aceh.

Bahkan dalam kebutuhan sinergi kepentingan ekonomi, Page Gampong menjadi modalitas penting. Jika trend pasar membutuhkan kopi, maka seluruh sentra gampong penghasil kopi akan berkontribusi aktif sebagai penyumbang kebutuhan eksport.

Konsepnya, masyarakat diberi penguatan menghasilkan spesialisasi barang atau komoditas khas dengan nilai tambah yang tinggi. Setiap gampong di fokuskan menghasilkan satu produk utama yang kompetitif serta mampu bersaing di tingkat global namun tetap memiliki ciri karakteristik dari gampong tersebut. Sehingga diharapkan mampu menyulap desa berbasis tradisional menjadi desa modern dan episentrum bisnis.

Melalui Gerakan Beudoh Gampong (Bangun kampung) yang massif dan sinergis, Page Gampong dihidupkan kembali spesifikasinya. Contoh realitisnya, jika Gampong Siem, sebagai sentra industri tradisional dihidupkan kembali, selain melestarikan kain songket tradisional Aceh, juga menjaga para pengrajin dan pelaku seni kain songketnya.

Dalam jangka panjang dapat dikembangkan menjadi desa wisata, yang ber-multiple effect positif bagi pengembangan sisi ekonomi masyarakatnya. Ini adalah wujud optimalisasi melalui gerakan Top Down dan Botom Up sekaligus.

Gampong menunjukkan spesifikasinya dan Pemerintah menjadi payung yang mendukung melalui kebijakan, manajerial, bahkan finansial dengan mengandeng mitra atau menstimulasi lembaga keuangan sebagai sponsorship-nya.

Melalui perubahan pola pikir (mindset) secara totalitas dalam melihat masalah kemiskinan, kaum miskin dan potensi yang tersembunyi sebagai berkah demografi, melalui penguatan Pageu Gampong, diharapkan akan menjadi pendorong peningkatan kapasitas yang berimbas pada meningkatnya pendapatan gampong dan warga gampong dengan dukungan berbagai kebijakan sinergis dan strategis.

Akses permodalan yang bank-able, bimbingan tehnis, selektifitas sumber daya dan komoditas, membangun spesifikasi melalui intensifikasi serta diversifikasi produk di setiap gampong, hingga proses sertifikasi dan marketing yang menjangkau pasar ekspor.

Memajukan kembali gagasan yang berasal dari akar rumput—tradisi kearifan lokal kita adalah wujud, peran serta kita merancang pembangunan tanpa melupakan keseimbangan alam. Peran kita mengkritisi banyak persoalan terkait potensi masyarakat gampong selalu ditunggu untuk membantu menyiapkan masa depan yang lebih baik.

Bukankah itu inti dari gagasan pembangunan yang idealnya adalah kemakmuran--kata sederhana, namun sulit diimplementasikan, namun harus selalu diusahakan dengan semua potensi yang kita miliki. Bagaimana menurut kawan semua?.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

HS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini