Tantangan Menjadi Penari Laki-Laki

Tantangan Menjadi Penari Laki-Laki
info gambar utama

Indonesia memiliki banyak kesenian daerah. Perbedaan letak geografi dan karakter di setiap daerah menghasilkan produk kesenian yang berbeda-beda. Salah satu kesenian yang sering kita lihat adalah tari. Hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki tarian khas masing-masing. Uniknya tarian tersebut mencerminkan karakter masyarakat di daerah tersebut. Dengan melihat sebuah tarian tradisi suatu daerah, kawan GNFI dapat mengetahui nilai dan norma yang dijunjung di daerah tersebut.

Salah satu provinsi di Indonesia yang banyak kegiatan kebudayaan adalah DI Yogyakarta. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh Keraton Yogyakarta yang masih menjalankan pemerintahannya hingga kini. Upacara adat, tradisi keagamaan, seni pertunjukan masih dilestarikan oleh Keraton Yogyakarta. Seni pertunjukan di Keraton Yogyakarta dapat kawan GNFI saksikan setiap Sabtu dan Minggu di Keraton Yogyakarta. Biasanya terdapat beberapa kesenian yang dipertunjukan, salah satunya adalah tari. Tari yang dipertunjukan di Keraton Yogyakarta adalah tari klasik gaya Yogyakarta. Tari klasik gaya Yogyakarta berasal dari Kerajaan Mataram yang kemudian dipecah menjadi Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Keraton Kasunanan Surakarta, sehingga kesenian tari Kerajaan Mataram juga ikut terpecah menjadi tari klasik gaya Yogyakarta dan tari klasik gaya Surakarta.

Menari diidentikan dengan gender feminim. Mungkin dalam benak kawan GNFI mendengar kata penari mungkin akan terbesit seorang perempuan yang bergerak dengan anggun dan lembut. Namun pada kenyataannya dalam pertunjukan tari membutuhkan laki-laki. Dalam tari klasik gaya Yogyakarta terdapat pembelajaran untuk tari klasik putri dan putra. Pembelajaran tari klasik putra sendiri dibagi menjadi dua yaitu alus dan gagah. Gerakan putra alus digunakan untuk tokoh-tokoh pangeran dan ksatria seperti Arjuna, Krisna, Yudhistira, dll. Sedangkan gerakan putra gagah digunakan untuk tokoh-tokoh raksasa dan pangeran yang berkarakter keras seperti Rahwana dan Duryudana.

Sebagai seorang laki-laki yang berkecimpung di dunia seni, bidang tari memiliki tantangan tersendiri. Awalnya hanya diajak guru untuk lomba menari ketika SMA. Karena kekurangan penari laki-laki yang mau menari. Walaupun awalnya saya pernah menari di pertunjukan teater. Namun untuk mengikuti lomba tari menjadi pengalaman pertama bagi saya. Tapi ternyata justru menjadi rezeki tim saya karena berhasil menjadi juara pertama.

Kemudian saya memutuskan untuk berkuliah di jurusan pendidikan seni tari dan belajar tari klasik gaya Yogyakarta di sanggar tari. Orang tua saya merestui pilihan saya untuk meneruskan di bidang tari. Namun syaratnya adalah di jurusan pendidikan, bukan di jurusan seni murni. Selain itu, orang tua saya pernah meminta saya untuk double degree dengan mengambil jurusan eksak. Walaupun pada akhirnya saya memutuskan untuk fokus berkuliah di satu jurusan saja.

Setelah lulus, saya mengajar ekstrakulikuler di beberapa sekolah. Hal yang sering saya temui adalah lebih banyak siswa Perempuan daripada laki-laki yang berminat untuk menari. Pernah suatu ketika ditanya beberapa siswa SD “Cowok kok nari?” dari pertanyaan tersebut sudah terlihat bahwa anak-anak menganggap bahwa tari hanya untuk perempuan. Hal ini menjadi tantangan saya sebagai guru tari laki-laki untuk merangkul dan memfasilitasi anak laki-laki yang berminat untuk menari. Pendekatan yang saya lakukan adalah dengan menunjukan kesenian rakyat terlebih dahulu. Karena setelah saya coba untuk mengajak anak-anak menari tarian kreasi tradisi. Mereka menganggap bahwa itu tarian perempuan dan memilih untuk tidak menari. Dengan menunjukan kesenian jathilan, anak-anak laki-laki menjadi lebih semangat untuk menari. Beda kasus dengan siswa SMA, diantara 30 siswa yang mengikuti ekstrakulikuler tari. Hanya 1 siswa laki-laki yang mendaftar dan memiliki kemampuan menari tari klasik gaya Yogyakarta yang cukup mumpuni.

Melakukan regenerasi dan merawat para penari laki-laki untuk mengembangkan bakat dan semangat mereka merupakan salah satu tugas yang sulit. Pengaruh toxic masculinity benar-benar kuat. Anggapan bahwa menari hanya untuk perempuan mematahkan semangat beberapa anak laki-laki dan membuat mereka berhenti menari. Berhentinya mereka menari membuat jumlah penari laki-laki menurun. Hal ini membuat koreografer kesulitan dalam mencari penari laki-laki. Kasus yang saya temui di desa saya juga seperti ini. Adanya kegiatan Desa Budaya mengharuskan untuk menampilkan sebuah tari garapan. Namun karena kurangnya penari laki-laki membuat tim kreatif perlu merombak beberapa kali dan hal ini terjadi beberapa kali. Perlu adanya bantuan dari masyarakat untuk membantu dalam melestarikan penari laki-laki.

Melestarikan tari tradisi baik tari klasik, tari kerakyatan, maupun tari kreasi baru untuk penari laki-laki memerlukan usaha lebih dibandingkan dengan penari perempuan. Sikap masyarakat yang menganggap tari hanya untuk perempuan sangat berpengaruh dalam psikologis anak. Saya berharap dengan adanya tulisan ini membuat kawan GNFI di manapun berada membantu untuk mengubah pandangan dari tari hanya untuk perempuan menjadi tari untuk semua kalangan. Karena setiap orang berhak untuk mengekspresikan emosinya melalui tari.


(pastikan sertakan sumber data berupa tautan asli dan nama jika mengutip suatu data)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

BM
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini