Tradisi Mantu Bubak Dalam Masyarakat Kabupaten Ngawi, Bukti Cinta Orangtua Pada Sang Anak

Tradisi Mantu Bubak Dalam Masyarakat Kabupaten Ngawi, Bukti Cinta Orangtua Pada Sang Anak
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Dalam pandangan masyarakat Indonesia secara umum, pernikahan menjadi suatu momen yang sakral dan sangat dinantikan. Karena diharapkan hanya terjadi sekali seumur hidup, banyak orang yang berusaha menyelenggarakan pesta pernikahan semeriah mungkin.

Momen pernikahan bukan saja dinanti oleh calon mempelai, namun juga bagi kedua keluarga besar. Mengingat sakralnya momen pernikahan, tidak heran jika muncul beragam tradisi di Indonesia untuk merayakan prosesi tersebut.

Salah satu tradisi yang muncul sebagai respon kebahagiaan atas pernikahan adalah tradisi mantu bubak dalam masyarakat Suku Jawa di Kabupaten Ngawi. Mantu bubak bagi masyarakat wilayah Ngawi umumnya diselenggarakan sebelum akad nikah berlangsung.

Prosesi mantu bubak ini dilakukan sebagai simbol rasa syukur orangtua telah dimampukan oleh Tuhan untuk menikahkan putra atau putrinya untuk pertama kali. Bagi masyarakat Ngawi, keluarga yang belum pernah menikahkan anaknya wajib melakukan prosesi bubakan terlebih dahulu.

Prosesi mantu bubak di wilayah Kabupaten Ngawi
info gambar

Rangkaian acara dalam tradisi bubakan atau mantu bubak

Prosesi pelaksanaan mantu bubak ini umumnya dilakukan sebelum acara akad nikah dilangsungkan. Mantu bubak terdiri dari beberapa rangkaian acara yang masing-masing memiliki filosofi dan makna tersendiri. Rangkaian acara dalam tradisi mantu bubak dimulai dengan prosesi menyalakan api dan menanak nasi.

Prosesi ini dilakukan oleh orangtua laki-laki dari pihak yang menyelenggarakan acara bubak manten. Bagi masyarakat Ngawi, prosesi menyalakan api dan menanak nasi memiliki makna di mana orangtua atau keluarga yang melakukannya tengah memiliki hajat untuk menikahkan anaknya dalam waktu dekat serta siap untuk menyambut tamu.

Setelah prosesi menyalakan api dan menanak nasi, rangkaian acara dilanjutkan dengan nyiarne daringan kebak. Kegiatan ini dilakukan oleh orangtua pengantin atau penyelenggara acara bersama dengan tetua adat setempat.

Prosesi ini dilakukan dengan cara menyiarkan kepada warga yang hadir bahwa daringan (tempat penyimpanan beras) telah kebak (penuh). Daringan yang digunakan dalam prosesi ini bukanlah wadah penyimpanan beras yang besar, melainkan miniaturnya yang terbuat dari tanah liat.

Pada prosesi mantu bubak, miniatur daringan ini akan diisi beraneka ragam bahan pangan, seperti beras putih, beras kuning, beras ketan, kacang hijau, dan cok bakal. Cok bakal merupakan wadah dari daun pisang yang dibentuk menyerupai mangkuk.

Wadah ini akan diisi dengan bunga setaman, kemiri, telur, bawang putih, bawang merah, nasi, cabai, kacang hijau, dan daun sirih. Bersama dengan beras, cok bakal ini juga akan dimasukkan dalam salah satu daringan.

Makna yang terkandung dalam prosesi nyiarne daringan kebak adalah harapan agar selama acara mantu, sang pemilik rumah tidak kekurangan rezeki untuk memberi makan pada para tamu undangan. Sementara itu, adanya cok bakal dalam daringan dijadikan simbol bahwa sesuatu yang disimpan sedikit demi sedikit akan menjadi simpanan untuk masa depan.

Rangkaian tradisi mantu bubak akan ditutup dengan prosesi membuka daringan kebak. Kegiatan ini diawali dengan menggendong daringan kebak dengan menggunakan jarik untuk keluar dari tempat cara atau keluar rumah.

Jarik yang digunakan untuk menggendong daringan kebak bukan jarik sembarangan, melainkan jarik dengan motif toh watu. Tetua adat atau tokoh masyarakat setempat dalam prosesi ini akan memastikan bahwa seluruh kebutuhan yang dipelurkan telah masuk ke dalam daringan.

Sang tetua adat juga bertugas untuk meminta masyarakat sekitar yang hadir sebagai saksi. Para saksi ini juga akan diberi upah berupa sebuah pisang dan uang (biasanya Rp2.000) oleh pemilik rumah atau orangtua yang menikahkan anaknya.

Rangkaian adat mantu bubak dalam masyarakat Jawa di wilayah Kabupaten Ngawi secara umum bermakna sebagai harapan agar diberi kelancaran, ketentraman, dan kedamaian selama menyelenggarakan acara pernikahan.

Selain itu prosesi ini juga sebagai simbol doa agar kehidupan rumah tangga kedua pengantin dimudahkan dalam segala urusan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

LS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini