Sempat Mengalami Penyusutan, Rehabilitasi Mangrove di Sumatera Utara Telah Diupayakan

Sempat Mengalami Penyusutan, Rehabilitasi Mangrove di Sumatera Utara Telah Diupayakan
info gambar utama

Hutan mangrove atau lebih dikenal dengan nama hutan bakau adalah hutan yang terdapat di pesisir. Mangrove memiliki banyak manfaat untuk ekologi, ekonomi, manfaat fisik, biologi, kimia, hingga manfaat sosial yang juga bisa dirasakan oleh masyarakat yang di daerahnya terdapat hutan bakau. Selain itu, keberadaan hutan mangrove ini berguna sebagai tameng untuk mencegah terjadinya abrasi.

Jadi, tidak heran bila wilayah-wilayah di pesisir terdapat banyak sekali pohon bakau. Karena memang sepenting itu. Bahkan, beberapa wilayah menjadikan hutan mangrove sebagai tempat wisata.

Berdasarkan data yang bersumber dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia di Sumatra Utara, panjangnya pantai timur Sumut dari Kabupaten Langkat sampai ke Labuhanbatu Selatan adalah 314 kilometer dengan luas yang mencapai 47.499 hektar, yang meliputi hutan kawasan lindung dan konservasi. Dengan demikian, memang sudah seharusnya wilayah pantai di Sumatra Utara juga ditumbuhi dengan pohon bakau. Namun, pada tahun 2020 sempat mengalami penyusutan, dalam waktu tiga dekade sebanyak 60 persen.

Baca juga: Mangrove, Aset Diplomasi Indonesia

Degradasi hutan bakau di Sumatra Utara karena adanya peralihan fungsi menjadi tambak ikan serta udang, perkebunan kelapa sawit, hingga penebangan liar yang dilakukan sejumlah oknum dengan tujuan menjadikan bahan dasar pembuatan arang. Fenomena ini terbilang miris karena pada dasarnya mangrove bukanlah sembarang hutan yang semak, melainkan mempunyai berbagai macam manfaat khususnya bagi masyarakat.

Penyusutan lahan terjadi di beberapa wilayah. Akan tetapi, daerah yang beralih fungsi lahan terluas terdapat di daerah Labuhan Batu, Serdang Bedagai, dan Deli Serdang.

Berlandaskan pada data yang didapat dari website resmi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, masalah ini tidak dibiarkan begitu saja. Pada tahun 2022, rehabilitasi mangrove sudah terlaksana, hanya saja terkendala pada anggaran biaya. BRGM menargetkan 13.357 hektar rehabilitasi di Sumatra Utara, tapi realisasinya hanya 373 hektar.

Namun, BRGM tidak menyerah begitu saja. Buktinya terlihat dari adanya penyusunan target indikatif untuk mempercepat rehabilitasi mangrove di Sumatra Utara dengan total 50.674 hektar pada tahun 2021—2024. Anggaran untuk mangrove seluas 7.400 hektar pada tahun 2021 di Sumut ialah sebanyak Rp97 miliar. Sementara untuk tahun 2022 dengan luas 373 hektar sebesar Rp4,3 miliar.

Baca juga: Hutan Mangrove: Penjaga Iklim yang Terlupakan

Adapun untuk tahun 2023 dan 2024 dengan rehabilitasi 7.900 hektar hutan mangrove, BRGM membutuhkan penguatan angggaran. Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove menyebutkan bahwa rehabilitasi mangrove dilakukan dengan konsep silvofishery dua model, yaitu tambak tumpang sari (empang parit) dan tambak selang-seling.

Hal tersebut semata-mata agar rehabilitasi mangrove yang dilakukan sejalan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Jika tidak dilakukan, kerusakan hutan mangrove akan berkembang dan berimbas pada masyarakat. Maka dari itu, dilakukannya rehabilitasi ini harus tersebar fungsi konservasi sekaligus ekonomi bagi masyarakat.

Upaya rehabilitasi terus dilakukan hingga pada Oktober 2023. Pemerintah Provinsi Sumatra Utara menanam 10 ribu bibit magrove dalam upaya pemulihan di Desa Lubuk Kertang yang mengalami masalah cukup serius. Adapun penyebab kerusakannya adalah penebangan yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab.

Aksi pemulihan huran mangrove sudah pasti membutuhkan kerja sama dengan BRMG dan semua stakeholder, serta anak-anak muda. Selain penanaman, satu hal yang harus dilakukan adalah edukasi kepada masyarakat agar sekiranya mereka tahu seberapa penting mangrove bagi keberlangsungan hidup masyarakat sehingga tidak lagi melakukan penebangan untuk dijual. Namun, di samping itu juga tetap dicari solusi agar masyarakat punya sumber penghasilan lain.

Mangrove sangat dibutuhkan, tapi mau bagaimanapun pertumbuhannnya membutuhkan waktu yang lama. Jadi, edukasi yang diberikan kepada masyarakat merupakan upaya dalam pencegahan kerusakan kembali.

Pada kenyataannya, sebuah upaya tidak akan menghasilkan apa-apa jika hanya sebagian pihak yang berusaha, melainkan membutuhkan kerja sama dari semua kalangan. Dalam hal ini, masyarakat menjadi kunci penting pada pelestarian mangrove. Bersama-sama mempertahankan posisi Sumatra Utara sebagai pemilik hutan mangrove terbesar ketiga di Indonesia. Lagi pula, dampak baik-buruknya akan kembali lagi pada masyarakat. Jadi, semua tergantung dari bagaimana kesadaran masyarakat Sumatra Utara dalam menjaga hutan mangrove tersebut.

Baca juga: Pentingnya Pemahaman Komunitas Lokal terhadap Manfaat dan Konservasi Mangrove

Referensi:

  • https://www.voaindonesia.com/a/luas-hutan-bakau-di-pesisir-timur-sumatra-utara-terus-terdegradasi/5391601.html
  • https://brgm.go.id/rehabilitasi-mangrove-di-sumut-terkendala-anggaran-alih-fungsi-masih-masif/
  • https://sumutprov.go.id/artikel/artikel/pulihkan-hutan-mangrove-pemprov-sumut-tanam-10-ribu-bibit-mangrove

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini