Megafauna Asia: Melawan Kepunahan Sejak 12 Ribu Tahun Terakhir

Megafauna Asia: Melawan Kepunahan Sejak 12 Ribu Tahun Terakhir
info gambar utama

Sebuah riset terkini telah mengungkapkan cara di mana satwa liar di Asia berhasil bertahan dan menghindari kepunahan selama 12 ribu tahun terakhir. Harimau, gajah, babi hutan, dan macan dahan ternyata telah menunjukkan peningkatan populasi di daerah dengan adanya infrastruktur manusia.

Studi ini, dilakukan oleh Zachary Amir, Jonathan H. Moore, dan tim dari University of Queensland, yang diterbitkan dalam jurnal Science Advance pada 21 Oktober 2022, Volume 8, Issue 42, menyoroti bahwa keempat spesies ini berhasil bertahan di daerah dengan kehadiran manusia.

Para peneliti menjelajahi data paleontologi untuk membandingkan distribusi historis dari 14 spesies terbesar di Asia, termasuk harimau, beruang madu, macan tutul, dhole, gajah Asia, badak sumatera, dan lainnya.

Hasil analisis fosil menunjukkan pergeseran dramatis dalam penggerak kepunahan megafauna antara zaman Pleistosen, Holosen, dan zaman Antroposen. Selama Pleistosen, perubahan geologis, iklim, dan biologis yang lambat memainkan peran penting dalam dinamika kepunahan.

Namun, dengan masuknya manusia dan faktor-faktor seperti pola kolonisasi, permukiman, dan perubahan iklim yang memengaruhi habitat, lonjakan kepunahan megafauna terjadi pada Pleistosen Akhir dan awal Holosen.

Malelang Jaya, harimau sumatera yang telah dikembalikan ke habitat aslinya di hutan Terangun, Gayo Lues, Aceh, pada 9 November 2020. Foto: Junaidi Hanafiah
info gambar

Pengaruh manusia semakin meningkat sejak pertengahan abad ke-20, yang disebut sebagai zaman Antroposen, di mana aktivitas manusia menjadi pendorong utama keberlangsungan spesies.

Para peneliti juga melakukan survei kamera jebak di sepuluh lanskap hutan tropis primer di Sumatera, Kalimantan, Singapura, dan Thailand untuk mendokumentasikan pemusnahan megafauna dan mengukur kelimpahan lokal megafauna.

Hasilnya menunjukkan bahwa beberapa spesies, seperti harimau, macan dahan, gajah asia, dan babi hutan, menunjukkan hubungan positif dengan kehadiran manusia atau degradasi hutan. Mereka mampu bertahan dan bahkan berkembang di lingkungan yang terpengaruh oleh manusia.

Gajah sumatera yang pernah menjadi bagian penting kehidupan manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
info gambar

Namun, delapan dari 14 spesies megafauna mengalami kepunahan selama zaman Holocene dan Antroposen. Misalnya, badak sumatera mengalami kepunahan yang besar akibat tekanan perburuan dan reproduksi yang rendah.

Faktor-faktor seperti degradasi hutan dan tekanan manusia terbukti menjadi penyebab utama pemusnahan megafauna. Meskipun demikian, penelitian ini juga menyoroti bahwa jika spesies-spesies hewan besar tidak diburu, mereka mampu bertahan bahkan di habitat yang terfragmentasi dan dekat dengan manusia.

Studi ini juga menegaskan bahwa deforestasi tetap menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup spesies. Terutama, di Sumatera, kekhawatiran terhadap musnahnya megafauna terus meningkat karena deforestasi yang cepat untuk industri pulp, karet, dan sawit.

Badak Rosa dan anaknya yang lahir Kamis, 24 Maret 2022, di Suaka Rhino Sumatera [Sumatran Rhino Sanctuary, SRS] Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: Biro Humas KLHK
info gambar

Temuan ini menarik karena menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu, beberapa hewan besar mampu bertahan hidup di lingkungan yang terpengaruh manusia, sementara penurunan populasi hewan besar masih terkait erat dengan perburuan dan dampak deforestasi.

Zachary Amir dari School of Biological Sciences and the Ecological Cascades Lab UQ menyatakan bahwa penelitian ini menunjukkan bahwa hewan-hewan besar dapat hidup berdampingan dengan manusia jika tidak diburu, menyoroti pentingnya konservasi dan perlindungan habitat mereka.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini