Green Politics Global: Anarkis, Libertarian, Sosialis, dan Ekologi

Green Politics Global: Anarkis, Libertarian, Sosialis, dan Ekologi
info gambar utama

Perang dingin merupakan keberlanjutan dari perang dunia II. Diawali dengan pecahnya aliansi Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dari sini, terpecahlah menjadi dua kubu, yaitu blok barat dan blok timur, yang berdasakan ideologi liberalisme dan komunisme.

Pada Perang Dingin antara Blok barat dan Timur, ada suatu pisau analisis, yaitu Paradigma Realisme di dalam ilmu hubungan Internasional, tentang teori Balance of Power. Hal ini membuahkan kebenaran. Sebab, di antara blok tidak saling serang militer satu sama lain, melainkan persaingan yang lebih berpikiran maju dalam berbagai bidang seperti: ekonomi, militer bahkan perlombaan luar angkasa, dan untuk mengukur siapa sebenarnya hegemon dunia.

Pada tanggal 31 Desember 1991, Teori Realisme itu dibatalkan oleh runtuhnya Uni Soviet dan termarjinalkannya ideologi komunis di tatanan global. Sehingga ideologi liberalisme pemenang dan diterima kebanyakan entitas negara sampai hari ini.

Pasca Perang dingin, kaum Construktivis mengkritik perang ideologi tersebut, dikarenakan banyaknya kerusakan akibat perlombaan pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan hidup. Fenomena kerusakan ekologi yang lebih nyata terjadi pada akhir Perang Dingin, sebagaimana dijelaskan oleh Al Gore dalam bukunya "Earth in Balance" (1994, hlm 86), di mana ia menulis bahwa masyarakat global mulai menghadapi situasi ini sejak tahun 1989.

Tingkat polusi yang sangat buruk, terutama di wilayah komunis seperti Polandia, Rumania, Cekoslowakia, dan Ukraina. Ia juga memaparkan beberapa kota di negara berkembang seperti Ulan Bator dan Mexico City serta beberapa kota di negara maju seperti Los Angles, Tokyo dan London.

Melihat akan hal itu, banyak LSM-LSM yang biasanya terorganisir didalam nya adalah masyarakat sipil, mulai melakukan unjuk rasa untuk menggaungkan betapa pentingnya concern terhadap permasalahan ini. Itu karena betapa buruknya kondisi lingkungan seperti polusi udara berbagai belahan dunia pada saat itu.

Diplomasi tentang lingkungan juga sudah dilaksanakan sebelum di brazil, yaitu pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia. Namun, menurut penulis, diplomasi di tahun ini kurang mengena terhadap lingkungan global. Nyatanya Perang Dingin sedang berlangsung sehingga negara hanya mementingkan negaranya saja, tanpa memikirkan secara global.

Pada tahun 1993 di Rio Janeiro, Brazil, barulah negara bangsa melakukan diplomasi lingkungan dan membahas isu-isu lingkungan ini di PBB Dengan tema "Think globally, act locally”. Sesuai dengan temanya yang berpikir global, bertindak secara lokal. Maknanya adalah bergerak di dalam lokal untuk kemaslahatan dunia.

Penulis ingin menganalisis lebih dalam lagi, diplomasi lingkungan memang menjadi harapan baru bagi dunia. Akan tetapi, setelah Perang Dingin, banyak negara-negara berkembang berkeinginan dan berlomba-lomba untuk menyamai negara maju, seperti membuat menara atau bangunan-bangunan yang berpotensi merusak lingkungan.

Yang tidak kalah menariknya adalah pengaruhnya terhadap aspek gaya hidup masyarakat yang semakin kapitalis (setelah kemenangan ideologi Liberal) dengan kebebasan yang dimiliki. Bahkan, tidak segan-segan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di muka bumi tuhan ini.

Melihat ideologi liberalisme menang di Perang Dingin, kemudian menyebar keseluruh dunia, bahkan banyaknya negara menerima ideologi yang berlandaskan kebebasan ini, banyak negara yang belum tajam dalam mengendalikan dirinya sendiri. Itu ibarat "Kita membuat peluru, tapi tidak mampu mengendalikan diri."

Penulis menjadi tertarik membahas Teori Murray Bookchin dalam perencanaan kota dalam pemikiran anarkis, sosialis, libertarian,dan ekologi. Beliau terpengaruh oleh pemikiran hegel tapi bukan hegelian. Penulis menganggap pemikiran inilah menjadi solusi untuk paradigma greenpolitics dunia di masa yang akan datang dan berlangsung pada hari ini.

Dengan alasan Murray Bookchin menjunjung pemikiran anarkis dengan merujuk kepada ide-ide Karl Marx tentang revolusioner, dengan hal ini, kita bisa mengerti, melihat kondisi dunia lingkungan sekarang, kita butuh perubahan yang signifikansi. Artinya adalah mewujudkan enviromental ethics dunia karena masih banyak perusahaan tidak concern akan hal ini. Sehingga lingkungan tidak terawat dan tidak terjaga kelestarianya.

Dan Bookchin juga anti dengan Logika kapitalisme, yang bersifat merusak untuk memperkaya dirinya sendiri tanpa memikirkan lingkungan hidup. Ia mengeluarkan solusi tentang komunalisme, yaitu demokratis langsung yang bertumpu pada konfederasi rakyat yang longgar dan desentralisasi kekuasaan.Tidak ada dominasi apapun dan menggantikan kapitalisme dengan produksi yang berpusat kepada manusia.

Dengan skeptisisme tinggi tersebut, Boockhin beranggapan sinisme terhadap orang-orang kapitalis, yang hanya mementingkan dirinya sendiri, ketimbang kemaslahatan bersama.

Bahkan argumentasi ini juga diperkuat dan terus diluapkan oleh seorang tokoh politik Theodore lowi. Beliau mengatakan "Negara hanyalah alat untuk meratifikasi kebijakan untuk kepentingan-kepentingan elit politik yang menjalankan negara," yang sering disebut juga sebagai Interest Group Liberalis.

Kemudian Bookchin membuat Teori Ekologi Politik Radikal berdasarkan komunalisme. Menurut penulis, ini langkah yang sangat relevan untuk mengatasi dominasi kapitalis saat ini. Dengan berlandaskan prinsip-prinsip etika dalam menggantikan kecenderungan masyarakat terhadap hierarki dan dominasi yang kecenderungan demokrasi berlandaskan kebebasan,

Namun, di balik kebebasan itu, ada hal yang harus dipertanggung jawabkan, yakni moralitas. Di dalam bukunya yang berjudul "The Ecology of Freedom " ia mengusulkan konfederasi antarkomunitas manusia yang dijalankan melalui demokrasi daripada melalui logistik administratif.

Karena jika dilihat, apabila suatu negara menerapkan ecologi yang demokrasi, tentu itu akan mengakibatkan rakyat dan lingkungan dalam aksi-aksi keadilan untuk menjadi patokan kebijakanny. Namun, apabila logistik administratif yang dikedepankan, bisa jadi gerakan itu hanya bergerak kepada orang-orang berjuis-kapitalis. Itu berimplikasi suatu ketidakadilan di ranah publik, tanpa melihat kepentingan rakyat kecil dan lingkungan yang bisa mengancam kehidupan.

Melihat kejadian global enviromental hingga hari ini, orang- orang kapitalis selalu mendominasi untuk ikut campur dalam lingkungan hidup, berorientasi memenuhi kepentingan pribadinya dan perusahaan, tanpa memikirkan lingkungan Intermestik.

Justru itu berlawanan dengan cita-cita dunia pada diplomasi ke-2 di Brazil dengan makna bergerak di dalam lokal untuk kemaslahatan lingkungan dunia. Ini berdampak pada bertransformasinya penyebab kerusakan lingkungan yang telah menjadi kanker sejak Perang Dunia ini.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini