Kelezatan Sate Bandeng yang Diracik Spesial dari Dapur Pribadi Sultan Banten

Kelezatan Sate Bandeng yang Diracik Spesial dari Dapur Pribadi Sultan Banten
info gambar utama

Masyarakat Indonesia mengenal sate umumnya terbuat dari daging ayam, sapi, kambing dan kerbau. Tetapi di daerah Banten, masyarakatnya lebih akrab dengan sate berbahan daging ikan bandeng.

Dimuat dari Indonesia Kaya, sate bandeng dipercaya muncul dari lingkungan keraton pada masa Sultan Maulana Hasanuddin, sultan pertama Banten (1552-1570). Ketika itu pusat pemerintahanya berada di Surosowan, Serang, Banten.

Sutejo K Widodo dalam Impor Ikan di Jawa (1900-1940): Suatu Ironi dari Sumber Kekayaan Laut menjelaskan Laut Jawa dikenal dengan keanekaragaman ikannya sejak lama. Catatan dari masa Majapahit menyebutkan usaha penangkapan ikan di Laut Jawa.

Cerita di Balik Sate yang Jarang Kita Tahu

Ikan bandeng merupakan jenis ikan yang paling mudah ditemukan dalam usaha penangkapan. Sebab ikan ini mampu hidup di tiga jenis air: laut, payau, dan tawar. Bahkan pada masa Sultan Maulana Hasanuddin dipercaya sudah ada tambak ikan bandeng.

“Diduga bekas pemukiman, mungkin berupa pasar, dermaga atau bekas bangunan perbentengan,” catat Sutino.

Diracik koki istana

Selain untuk dijual, bandeng secara khusus disajikan untuk Sultan Maulana Hasanuddin. Dirinya disebut sangat menyukai bandeng dan gemar menghormati tamunya dengan menyajikan makanan khas daerahnya.

Tetapi duri-duri kecil pada ikan bandeng itu sangat mengganggu, sering kali merepotkan sang sultan. Karena itulah juru masak keraton pun cari cara supaya bandeng itu lebih mudah disantap oleh sultan dan tamunya.

Setelah melalui beberapa kali percobaan, mereka menemukan cara terbaik untuk menyajikan bandeng. Dimuat dari Ensiklopedi Makanan Tradisional di Pulau Jawa dan Pulau Madura, para juru masak membelah bandeng menjadi dua tanpa merusak kulitnya.

Mencicipi Sate Bumbon, Sate Kaya Bumbu dari Kabupaten Kendal

“Kulit ikan tersebut diupayakan tetap utuh mulai dari kepala sampai ke ekornya.” jelasnya buku itu.

Para juru masak kemudian menghaluskan daging bandeng dengan gilingan, lalu disaring untuk memisahkan duri. Mereka mencampur daging dengan bumbu dan menaruhnya kembali ke atas kulit dan menutupnya dengan penjepit bambu.

Bandeng pun dibakar hingga matang dan siap disantap sultan. Satu tusuk sate bandeng cukup untuk lima orang. Tidak heran, sultan kerap menghidangkan kepada para tamunya sebagai sajian kebanggaan.

“Pada saat itu Sultan ingin memberikan sebuah cita rasa pada masakan untuk disuguhkan pada tamu,” tulisnya.

Bisa dinikmati siapapun

Setelah populer di kalangan bangsawan, sate bandeng lambat laun bisa dinikmati oleh kalangan masyarakat biasa. Para penjual sate bandeng pun bermunculan di sepanjang Jalan Raya Serang dan Cilegon.

“Mereka biasanya memperoleh resep dan teknik membuat sate bandeng dari leluhur,” ujarnya.

Biasanya para peracik akan mencampurkan bumbu santan dengan rempah-rempah. Paduan daging bandeng dan bumbu itu menghasilkan cita rasa khas di lidah. Cara pengolahan dan pembakaran ini membuat sate bandeng bisa dinikmati oleh siapapun.

Ragam Sate Nusantara yang Manjakan Lidah, Pernah Coba?

Cara itu juga tak membuat gizinya hilang walau terkadang merepotkan. Karena itulah tak semua orang mampu membangun usaha tersebut. Biasanya para juru masak yang mewariskan teknik ini kepada keturunannya.

“Inilah mengapa sate bandeng sering menjadi usaha turun-temurun,” jelasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini