Mengenal Tradisi Labuhan Merapi: Antara Gunung Merapi, Kenaikan Sultan, dan Rasa Syukur

Mengenal Tradisi Labuhan Merapi: Antara Gunung Merapi, Kenaikan Sultan, dan Rasa Syukur
info gambar utama

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sangat kental dengan berbagai tradisi budaya yang masih terus dijalankan hingga sekarang. Salah satunya adalah upacara Labuhan Merapi. Yang mana, setiap tahun tradisi ini dijalankan sebagai salah satu bentuk rasa syukur.

Sesuai dengan namanya, tradisi ini juga memiliki kaitan dengan Gunung Merapi. Yang mana, Gunung Merapi sendiri dianggap memiliki makna dan filosofinya tersendiri dengan kehidupan masyarakat DIY, begitu pula dengan Kraton Yogyakarta.

Di tahun 2024 ini, Labuhan Merapi dilaksanakan per tanggal 10 Februari kemarin. Mari kita ketahui lebih lanjut mengenai upacara yang satu ini, mulai dari bagaimana cerita di baliknya hingga apa saja prosesi yang dilakukan.

Jangan Sembarangan Pakai Motif Batik Ini, Ada Maknanya!

Apa itu Upacara Labuhan Merapi?

Labuhan Merapi diselenggarakan setiap 30 Rajab sebagai peringatan Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Bawono X. Acara ini juga merupakan ekspresi rasa syukur dan doa untuk keselamatan Sri Sultan di Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat.

Pelaksanaan upacara ini memiliki makna sebagai sebuah ritual doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, sekaligus sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat.

Upacara Labuhan ini telah menjadi bagian dari tradisi adat sejak zaman Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-XVII. Selain bertujuan untuk keselamatan Keraton, upacara ini juga diharapkan membawa keamanan dan kesejahteraan bagi negara dan rakyatnya. Meskipun diselenggarakan oleh Keraton, pelibatan masyarakat turut menjadi bagian penting dalam pelaksanaannya.

Hamengkubuwono IX, Raja yang Membela Republik

Sejarah Upacara Labuhan Merapi

Terdapat cerita dari awal mula kehadiran upacara ini, yaitu ketika Panembahan Senopati bertapa di Pantai Parangkusumo dan ditemui oleh Ratu Laut Selatan.

Keduanya berdialog tentang masalah di Kraton, terutama peperangan antara Kerajaan Mataram dan Kerajaan Pajang. Ratu Laut Selatan merestui cita-cita Panembahan Senopati dengan syarat menjadi istri. Setelah pernikahan gaib, Panembahan Senopati kembali ke Kraton dengan kenang-kenangan berupa telur jagat.

Telur tersebut dimakan oleh juru taman, yang berubah menjadi raksasa dan diberi tugas menjaga Gunung Merapi. Juru taman dikirim barang-barang kesukaan raja berupa uborampe setiap tahun sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat Yogyakarta.

Selain cerita mengenai Panembahan Senopati tersebut, awal kehadiran upacara ini juga dipercaya sebagai perlambangan rasa syukur dari Kerajaan Mataram dengan adanya Gunung Merapi yang dianggap turut membantu dalam Perang Pajang.

Sebab, ketika pasukan Pajang menuju Mataram, Gunung Merapi pun meletus dan pasukan Pajang terpaksa mundur dari peperangan.

Bagaimana Menjadi Abdi Dalem Keraton ?

Prosesi Upacara Labuhan Merapi

Foto: Dok. Kraton Yogyakarta Hadiningrat
info gambar

Pada malam sebelum tradisi dilakukan kenduri dan tirakatan, begitu pula dengan pertunjukan wayang kulit. Tujuannya adalah memastikan kelancaran Labuhan Gunung Merapi tanpa kendala.

Selain itu, uborampe atau seserahan khas sudah diposisikan di Prajimas Barat Keraton Yogyakarta. Setelah itu, beberapa abdi dalem Keraton Yogyakarta bertanggung jawab menjaga uborampe tersebut.

Abdi dalem yang terpilih untuk menjaga seserarah pun harus bersedia tidak tidur satu hari satu malam demi menjaga uborampe.

Upacara Labuhan memiliki pusat pelaksanaan di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo. Dusun ini bukan hanya dianggap sebagai tempat upacara, tetapi juga dipilih oleh raja-raja Mataram karena lokasinya yang dekat dan mudah diakses sehingga memudahkan Kraton dalam pelaksanaan upacara Labuhan Gunung Merapi.

Upacara Labuhan Merapi dimulai dengan Pasrah Srono, di mana kelengkapan upacara seperti sesaji dan uborampe diserahkan oleh Kraton Ngayogyakarta kepada penyelenggara di Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

Dalam sebuah peti, terdapat 9 uborampe yang akan diserahkan seperti Sinjang Cangkring, Sinjang Kawung Kemplung, Semekan Bangun Tulak, Semekan Gadhung, Kawong Poleng, Dhestar Daramuluk, Peningset Udaraga, Lisah Konyoh, dan Yatra Tindih.

Setelah rangkaian prosesi tersebut, uborampe dan gunungan diarak dari kantor Kapanewon Cangkringan menuju petilasan rumah almarhum Mbah Maridjan di Dusun Kinahrejo, Kalurahan Umbulharjo, Kapanewon Cangkringan

Secara seremonial, dari lurah Umbulharjo, uborampe dan gunungan diserahkan kepada juru kunci Gunung Merapi, yaitu Mbah Asih.

Erupsi Gunung Merapi dan Kisah Sang Juru Kunci Mbah Maridjan

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Muhammad Fazer Mileneo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Muhammad Fazer Mileneo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini