Kesaksian Sejarah dalam Film Dokumenter Eksil dari Mereka yang Tak Bersalah

Kesaksian Sejarah dalam Film Dokumenter Eksil dari Mereka yang Tak Bersalah
info gambar utama

Berbarengan dengan momentum pemilu 2024, film Eksil jadi sajian yang mengingatkan kita kembali atas catatan sejarah yang pernah hilang di Indonesia. Film dokumenter yang sudah tayang sejak 1 Februari 2024 ini masih bertahan di layar bioskop sampai sekarang.

Sebagai sutradara, Lola Amaria berani memvisualkan kesaksian sejarah para eksil yang pernah mengalami genosida politik. Tragisnya, para eksil justru menjadi korban atas hak dasar kewarganegaraan yang terenggut. Mereka terdampar di berbagai penjuru negara, seperti Belanda, Ceko, Rusia, Swedia, dan tempat lain. Mental mereka menyisakan rasa trauma yang sangat dalam.

Sejarah Kelam Para Eksil

Orde Baru itu masih ada, yang berubah jasnya saja. Walau sempat diruntuhkan, periode pemerintahan Presiden Soeharto itu bukan berarti hancur. Masih banyak oknum-oknum yang selalu merasa benar. Padahal kebenaran yang mereka yakini hanya segelintir atau untuk kepentingan satu golongan saja.

Setelah melawan penjajah, Indonesia mengalami peristiwa bersejarah Gerakan 30 September 1965 yang menimbulkan kekacauan politik. Tragedi ini disebut sebagai era Orde Baru (OrBa), terutama saat presiden dari kalangan militer yang bernama Soeharto naik takhta dan berkuasa hingga 32 tahun lamanya.

Di balik kepemimpinan itu, ada mereka yang menahan perih karena disinyalir dekat dengan paham komunisme. Cap PKI pun langsung disematkan kepada para eksil yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri, yang mendapatkan beasiswa dari pemerintahan Soekarno. Sebut saja almarhum Asahan Aidit, almarhum Chalik Hamid, alamrhum Kusian Budiman, almarhum Sardjio Mintardjo, Hartoni Ubes, I Gede Arka, Kartaprawira, Sarmadji, Tom Iljas, dan Waruno Mahdi.

Para eksil tak bisa mengamuk pada pemerintah yang berkuasa saat itu. Mereka juga tak bisa menerjang untuk pulang kembali ke tanah air. Padahal rasa cinta mereka terhadap Indonesia tak bisa musnah. Mereka bukan bagian dari orang-orang yang salah. Mereka hanya kalah dari permainan picik para penguasa yang bengah.

Keterpaksaan hidup terasing di negeri orang tak hanya membuat diri sendiri berantakan. Orang-orang di sekeliling mereka pun mendapat kecaman. Belum lagi ada eksil yang juga mengaku bahwa kekasih hatinya menjadi intel yang bertugas memantau gerak-geriknya.

Kisah para eksil dalam film ini didasarkan pada fokus pencarian kewarganegaraan karena paspor Indonesia mereka dicabut. Mereka mengalami krisis identitas dan stigmatisasi. Mereka tak pernah lagi menginjakkan kaki di tanah kelahiran, bahkan sekadar ziarah ke makam orang tua saja masih dihantui ketakutan.

Para eksil hanya bisa patuh menjadi warga negara asing sebab sudah diintimidasi oleh oknum di negerinya sendiri. Mereka hanya bisa mencoba berkompromi terhadap roda kehidupan yang terus berputar sampai usia senja. Mereka pun terpaksa tutup mata sambil menyimpan kerinduan terhadap Indonesia.

Detail dalam Film Eksil

kesaksian-dari-eksis
info gambar

Setiap shot dalam dokumenter ini menyajikan gaya tutur bercerita atas dasar pengalaman nyata dengan jam tayang yang terbatas. Bahkan, ada intimidasi terhadap komunitas yang mengadakan pemutaran film ini.

Gelombang antusiasme para penonton tetap ramai. Kisah sensitif yang menguliti sejarah kelam bangsa Indonesia berhasil membingkai para eksil yang masih menyimpan rasa cinta terhadap tanah airnya, meski hidupnya sepi.

Masyarakat awam mungkin akan merasa berat karena isu yang diangkat dalam film ini begitu tabu. Akan tetapi, pengenalan sejarah dari point of view para eksil justru memberi kesaksian baru, sebab jarang tercatat dalam buku-buku sejarah di sekolah. Narasi diungkapkan dengan intonasi seperti berpuisi. Dari sini, sejarah masa perang dingin tahun 60-an bisa mulai diselami.

Barisan eksil ini merupakan mahasiswa yang putus kontak dengan keluarganya di Indonesia akibat politik penguasa yang penuh intrik. Saat masa Presiden Soekarno, mereka dikirim belajar ke luar negeri. Namun, ketika masa Presiden Soeharto justru mereka harus menerima kenyataan pahit tidak menemukan jalan pulang.

Kompilasi kisah para eksil ini akhirnya mengundang tanda tanya, “Mengapa para eksil yang tidak bersalah harus terombang-ambing tanpa kepastian selama puluhan tahun?”

Tanya jawab ringan dengan masing-masing eksil yang ditemui di kediamannya justru membuka tabir kekerasan yang pernah mereka alami semasa hidup dahulu. Tak hanya satu perspektif saja, 10 eksil langsung menyuarakan apa yang tersimpan dari lubuk hatinya. Mereka hanya ingin bebas dari ketakutan dan kembali ke

Indonesia, tanah air serta tanah kelahirannya. Tak ada reka adegan yang mengada-ada. Grafis dan animasi justru ditampilkan untuk mendukung suara penyintas 1965 ini bercerita apa adanya. Wawancara tanpa set up lokasi atau teror pertanyaan juga tak dilakukan film dokumenter ini, sehingga kisah hidup di pengasingan masih terasa diwarnai ketakutan.

Momen menarik dalam film dokumenter ini, yaitu saat membahas kejelasan antara korban dan pelaku kekerasan secara gamblang. Banyak kejutan yang membuat penulis tercengang saat rahasia terbongkar dan pengakuan justru tak bisa dielakkan karena pada masa itu para pelaku sejarah terlihat playing victims. Ada wacana perang ideologis yang besar, tapi film Eksil tetap bertahan pada sisi personal atas apa yang mereka kenang terhadap kejahatan masa lalu.

Ibarat tumbuhnya bunga: kuncup, mekar, berguguran. Inilah dialektika dari sisi emosional dan kejiwaan para eksil yang terekam secara jujur. Akhir cerita pun dikisahkan tentang bunga mawar indah yang selalu berduri. Kisah sejarah ini nyata dan perlu dipahami dari generasi ke generasi. Meski di antara mereka harus tutup usia di perantauan.

Unsur humanisme begitu membungkus film dokumenter terbaik yang membeberkan kesaksian seperti apa makna kewarganegaraan dalam kehidupan sehari-hari dari masing-masing eksil.

Penata kamera mengikuti gerak-gerik narasumber untuk masuk ke dalam rumah yang entah memberi kenyamanan di negara lain atau justru menambah kerinduan terhadap Indonesia. Memang lebih banyak getir yang terungkap, tetapi inilah yang harus dipahami agar sejarah bisa terkuak.

Menjadi penonton film Eksil harus tetap duduk tenang dan amat cermat melihat fakta-fakta sejarah yang diangkat. Segera datang ke bioskop karena film dokumenter ini sudah melalui proses kreatif yang sangat panjang.

Tim produksi dari Bumi Karya Lestari Foundation dan Lola Amaria Production telah syuting sejak tahun 2015. Sementara itu, pengumpulan data riset dikumpulkan oleh para peneliti sejak tahun 2010. Proses pra produksi yang berliku menemui tantangan saat harus mencari keterlibatan individu-individu yang masih mau membuka diri atas masa lalu.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AH
GI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini