Bersatunya Mahakarya Seniman RI dan Swiss dalam Pameran "Crossing Lines"

Bersatunya Mahakarya Seniman RI dan Swiss dalam Pameran "Crossing Lines"
info gambar utama

Maestro seni asal Indonesia dan Swiss berkolaborasi menampilkan mahakarya dalam pameran bertajuk “Crossing Line” di II Rivellino Leonardo Davinci Gallery Locarno, Swiss. Kedua seniman itu adalah mendiang Made Wianta dan Stephan Spicher.

Duta Besar RI Ngurah Swajaya menilai karya seni sebagai suatu bahasa yang menyatukan dan membawa pesan perdamaian. Segala perbedaan budaya dapat dirajut dalam karya seni rupa yang mencerminkan persahabatan Indonesia dan Swiss.

“Dalam konteks hubungan Indonesia dan Swiss, perbedaan budaya dan jarak yang begitu jauh dijembatani oleh persahabatan dan kolaborasi dalam karya seni rupa,” kata Dubes Ngurah Swajaya dalam sambutannya.

Pikat pencinta seni di Swiss

Pameran “Crossing Line” yang dikurasi oleh Yudha Bantono, menampilkan puluhan karya Made Wianta dan Stephan Spicher. Pameran ini berhasil menarik perhatian pada pencinta seni di Swiss, termasuk Wakil Direktur Museum der Kulturen Basel.

Pameran itu disebut menjadi titik 25 tahun kolaborasi antara Wianta dan Spicher yang telah terselenggara sejak tahun 2001. Sebelumnya, karya-karya kedua seniman ini mejeng di Museum der Kulturen Basel oleh Urs Ramseyer.

Eksibisi tersebut berupaya menciptakan dialog antara representasi Timur dan Barat melalui garis-garis di atas kanvas yang digoreskan sang maestro. Dengan ini, Wianta dan Spicher ingin melawan anggapan dan misrepresentasi dalam seni Timur dan Barat untuk menciptakan keharmonisan.

Baca juga Seniman RI dan Qatar Bersatu dalam Karya Seni “Dialogue of Papers”

Sang maestro saling belajar

Sejak pameran “Crossing Lines” yang pertama pada 2001, Spicher menghabiskan beberapa tahun tinggal di Bali. Dia tak hanya terinspirasi dari keindahan alam di pulau ini, melainkan juga cara hidup masyarakat Bali yang terikat oleh tradisi.

Sebaliknya, Made Wianta sempat hidup bertahun-tahun di Basel, Eropa. Dia banyak menggambarkan kehidupan di Eropa dalam lukisannya. Meski teknik dan pesan dalam karyanya bernilai universal, goresan kuas Made Wianta tak pernah mengkhianati nilai ketimuran.

“Permainan garis memegang peranan penting dalam menyampaikan gagasan seorang seniman, dimulai dengan sapuan kuas hingga lekukan pensil yang halus. Crossing Lines juga menceritakan pertemuan antara Bali dan Basel, yang melatarbelakangi pandangan kedua seniman,” kata Yudha Bantono.

Baca juga Mengenal Pak Teng, Seniman Ampas Kopi Pontianak yang Karyanya Diapresiasi Presiden Jokowi

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Firdarainy Nuril Izzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Firdarainy Nuril Izzah.

Terima kasih telah membaca sampai di sini