Nasir Mupid, Penjaga Terakhir Topeng Blantek Betawi

Nasir Mupid, Penjaga Terakhir Topeng Blantek Betawi
info gambar utama

"Dulu sebelum dia maen pertunjukan orang udah pada tau. Kenapa? Oh, ada sundung ama obor, pasti topeng blantek!" begitulah kata Nasir Mupid, pelaku seni Topeng Blantek ketika ditemui di kediamannya sekaligus dijadikan Sekretariat Sanggar Topeng Blantek Fajar Ibnu Sena yang dipimpinnya, Ulujami, Jakarta Selatan.

Topeng Blantek merupakan salah satu teater tradisional masyarakat Betawi. Topeng blantek sudah cukup langka ditemukan baik itu pelakunya maupun pementasan atau pertunjukannya. Menurut Yahya Andi Saputra dan Nurzain dalam bukunya Profil Seni Budaya Betawi tahun 2009 yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, keberadaan Topeng Blantek tidak menggembirakan seperti halnya kesenian teater Betawi lain, misalnya lenong dan topeng. Bahkan, sejak tahun 1950-an geliat kesenian topeng blantek dapat dikatakan vakum.

Lebih lanjut, buku itu menguraikan bahwa pernah pada tahun 1976, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai menggali topeng blantek yang pada tiga tahun kemudian menghasilkan kegiatan festival dan lokakarya. Pada era ini, peran nyata Ras Barkah atau Asep Subarkah dalam Catatan Abdul Aziz yang tidak diterbitkan berjudul Pengertian Topeng dan Blantek sangat penting karena menghidupkan kembali topeng blantek dengan memunculkan kurang lebih 25 grup yang tersebar di Jakarta.

Topeng Panji Yogyakarta, ketika Watak Dipahat dalam Topeng

Kesaksian Nasir Mupid menguatkan bahwa pada era Ras Barkah banyak pengembangan dalam konsep kesenian topeng blantek.

"Pada waktu itu, Ras Barkah tidak hanya dikenal sebagai seorang seniman tetapi juga pejabat salah satunya pernah menjadi Kepala RRI di Sukabumi. Berkat pengalaman-pengalaman itu, dengan beberapa para budayawan seperti Rachmat Ruhiyat dan Atik Soepandi, serta seniman lain di antara kita, memunculkan salah satu pakem topeng blantek adalah penggunaan Rebana Biang sebagai pengiring musik topeng blantek. Nah, semua itu saya pelajari langsung dari Ras Barkah," kata Nasir.

Nasir tidak serta merta langsung terjun, bergelut, dan jatuh cinta dengan kesenian tradisi topeng blantek. Sebelumnya, ia memulai debutnya pada seni sastra. Ia banyak menuangkan tulisan dalam bentuk puisi dan cerpen. Kekuatan dalam sajak-sajaknya tidak bisa ia tahan hanya dalam pikiran. Maka, sejak tahun 1970 ia menaruh minat dalam dunia keteateran dan sering mondar-mandir latihan di Bulungan.

Menurutny, pada waktu itu, GRJS Bulungan bisa dikatakan menjadi suluh pergerakan yang diperhitungkan dalam dunia sastra dan teater.

"Kira-kira tahun 1975 saya udah aktif di Karang Taruna Ulujami dan menginisasi kelompok teater modern namanya Generasi Teater Ulujami (GTU). Pada tahun 1976 kita gagas pertunjukan di Gedung Balai Rakyat Bintaro dengan judul Fajar 12 Rabiul Awal karya Yunan H. Nasution," sebut Nasir.

Ketika situasi teater modern menurutnya telah mendapat tempat di hati masyarakat, ia merasa janggal dengan eksistensi teater tradisional Betawi yang kian kendur. Sehingga pada waktu itu pria itu memutuskan topeng blantek sebagai wadah juang dalam merawat, melestarikan, dan meregenerasi warisan budaya agar tak punah.

"Cikal bakal itu dimulai kira-kira tahun 1978, saya merasa ada tanggung jawab moral sebagai pribadi orang Betawi. Nah pada tahun 1983 saya sudah mantap bergerak dengan kelompok teater yang ada (GTU) mengangkat Topeng Blantek," tambah Nasir lagi.

Selain bergerak sebagai pelaku seni, Nasir aktif dalam dunia kewartawanan. Tidak hanya menulis sajak dan cerpen, tetapi ia juga menulis berita dan opini. Salah satu karya opininya dimuat dalam Surat Kabar Mingguan Bintang Indonesia No.149 tentang Menyimak Teater Tradisional Betawi.

Tari Topeng Khas Barikin, Hulu Sungai Tengah: Cerita Warisan Budaya yang Hidup

Opini yang dimuat tahun 1984 itu berisi tentang kocar-kacirnya grup-grup teater tradisional Betawi sehingga ia mengingatkan peran para aktris seperti Benyamin Sueb, S.M. Ardan, Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) sampai Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) agar mengulurkan tangan dan jalan pikiran dalam upaya revitalisasi teater Betawi.

Melihat geliat kesenian topeng blantek cukup berkembang dengan baik di masyarakat, alhasil pada dua dekade selanjutnya diselenggarakan kembali Festival Topeng Blantek pada tahun 1994 dengan maksud memberi dorongan moral, motivasi berkreasi, perluasan persebaran kesenian Topeng Blantek, dan upaya regenerasi.

Nahas, dampak kegiatan itu tidak sampai berlangsung satu dekade, secara perlahan-lahan grup-grup topeng blantek melemah dan beberapa di antaranya hanya menyisakan cerita saja. Grup yang tersisa yaitu Blantek Ras Barkah dan Topeng Blantek Fajar Ibnu Sena pimpinan Nasir Mupid, Ulujami. Meninggalnya Ras Barkah membuat redup dan tak lagi eksis grup yang dipimpinnya.

Rasanya hingga detik ini, Nasir Mupid adalah satu-satunya pelaku seni topeng blantek yang masih hidup, eksis dan dapat ditemui sepeninggal Ras Barkah. Selain ia menggawangi Sanggar Fajar Ibnu Sena (FIS) yang berevolusi dari GTU 1983, ia membina generasi Yayasan Kampung Silat Petukangan dengan melatih topeng blantek satu minggu sekali.

Berkat perannya paling tidak, topeng blantek masih dapat dilihat dalam sebuah lakon pertunjukan seperti pada kegiatan workshop dan pementasan topeng blantek yang diinisiasi oleh Institur Kreativitas Anak Nusantara dengan Direktorat Pelindungan Kebudayaan Kemdikbudristek RI tahun 2023.

Pada tahun yang sama, FIS juga tampil dalam Festival Kampung Budaya Silat Beksi yang diinisiasi oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.

Ketekenunan dan kegigihan menggeluti seni tradisional topeng blantek membawanya menjadi narasumber dalam sebuah seminar, workshop, pelatihan, dan penelitian para sarjana dari berbagai kampus. Puncaknya, ia mendapat penghargaan sebagai Seniman Topeng Blantek pada Kegiatan Pemberian Penghargaan Seni kepada Pelaku Seni Tingkat Kodya Jakarta Selatan yang diinisasi oleh Suku Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Kotamadya Jakarta Selatan tahun 2007.

Zaman boleh berubah, tetapi obsesi Nasir tidak pernah berubah apalagi surut meskipun dalam kondisi penuh keterbatasan dan usia. Semangatnya justru kian membara bak obor menyala di tengah panggung dan sundung.

"Obsesi saya sudah menjadi prinsip bahwa mengangkat seni budaya Betawi agar terus berkembang dan selaras berdampingan dengan kesenian modern dan itu bagian dari memajukan seni sama dengan memajukan bangsa," jelas Nasir yang pernah menjadi penulis terpilih Anugerah Penulis Putera yang diselenggarakan oleh Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia (GAPENA) tahun 1982 dan menjuarai Lomba Baca Cerpen Betawi tingkat DKI Jakarta tahun 1986, 1987, dan 1988.

Belajar dari pengalaman Nasir, nampaknya perlu ada perhatian lebih untuk bagaimana topeng blantek yang saat ini hampir punah, bangkit dan eksis kembali. Hal yang menjadi penting ialah terkait Warisan Budaya Takbenda (WBTb) di mana pengetahuan atas segala unsur topeng blantek berada dalam memori pelakunya.

Topeng Malangan: Keterkaitannya dengan Kehidupan Sosial Masyarakat Malang

Itulah yang perlu digali dan diwarisi kepada generasi tidak hanya seputar soal pertunjukannya, tetapi juga bagaimana cara membuat topeng jantuk, topeng bodor, sundung, obor, rebana biang, bahan apa saja yang digunakan, mengapa memilih bahan-bahan itu, dan yang lebih fundamental ialah nilai budaya dan nilai filosofis baik yang tersurat maupun tersirat.

Lindungi budaya, lindungi maestro.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini