Jelajah Pasar Gede, Suatu Akulturasi Kolonial Belanda dengan Budaya Keraton Jawa Surakarta

Jelajah Pasar Gede, Suatu Akulturasi Kolonial Belanda dengan Budaya Keraton Jawa Surakarta
info gambar utama

Bicara tentang Kota Surakarta atau Kota Solo, tentu tidak dapat dilepaskan dengan entitas suatu pasar yang akrab disebut Pasar Gede. Dari definisi etimologinya saja yaitu gede, sudah sangat terang benderang makna harfiahnya, yaitu besar. Pasar Gede adalah suatu pasar yang besar begitulah makna etimologisnya.

Ya, berbicara definisi ekonomi, pasar merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli. Namun, pada gatra Pasar Gede di Surakarta, pasar di sini tidak hanya bermakna lokasi pertemuan penjual dengan pembeli secara an sich (vokabuler atau kosakata bahasa Jerman yang artinya adalah diri sendiri.red).

Jika kita berkunjung langsung ke Pasar Gede, kita dapat memaknai bahwa segala aktivitas pasar di sini merujuk kepada suatu entitas yang melampaui batasan dan definisi ekonomi semata. Ada pertukaran dan percampuran multi budaya, yaitu budaya warisan kolonial Belanda serta Jawa keraton dengan sedikit sentuhan unsur budaya pecinan khas tionghoa.

Tidak heran, karena pasar bernama lengkap Pasar Gede Hardjonagoro sejak diresmikan tahun 1930 ini diarsiteki oleh teknokrat asal Negeri Kincir Angin bernama Herman Thomas Karsten. Sentuhan budaya keraton Jawa khas kota batik ini juga tampak jelas di Pasar Gede, mulai dari konsep dan desain arsitekturalnya.

Lalu, tampak jelas pada pola interaksi sosial-budaya dan bahasa mereka yang didominasi dengan budaya Jawa. Ibarat Chinatown di Kota Surakarta, kita juga dapat melihat pengaruh tionghoa pada bangunan klenteng di selatan pasar ini. Klenteng Avalokitesvara ini adalah manifestasi sentuhan budaya tionghoa yang menghiasi kehadiran Pasar Gede.

Pasar Gede Hardjonagoro berlokasi di Jalan Urip Sumoharjo, Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta dan memiliki dua bangunan pasar. Dua bangunan pasar masing-masing berlantai dua, berseberangan dan mengapit Jalan Sudirman. Beragam komoditas pun diperdagangkan di pasar ini, mulai sembako, sayur-mayur, bumbu dapur dan buah-buahan hingga barang pecah belah keperluan rumah tangga.

Nah, Pasar Gede Surakarta juga memiliki pesona kuliner khas yang tidak kalah unik dan menarik dibanding pasar tradisional di kota lainnya. Kita dapat menikmati beraneka ragam kuliner di sini, seperti jajanan makanan, mulai yang ringan, sedang hingga yang berat. Sebut saja makanan yang disebut Timlo, yaitu hidangan sop kembang tahu bercampur telur rebus dan suwiran ayam.

Makan berat bernuansa santap siang dengan menu bebek goreng juga bisa Kawan GNFI nikmati di kompleks pasar yang dikelola Dinas Perdagangan Pemerintah Kota Surakarta ini.

Lalu, hadir pula jajanan makanan ringan yang sedang dan tidak terlalu berat, seperti ketupat pecel dan sayur-sayuran rebus. Ingin snack ringan? Jangan khawatir Kawan, karena tersedia pukis, kue bolu, onde-onde, dan aneka gorengan lain di pinggiran jalan Pasar Gede. Bahkan, jajanan cilok yang notabene asal Jawa Barat juga dijajakan di pinggir trotoar kompleks pasar ini.

Kenyataan tersebut seolah berbicara sebagai suatu medium diferensiasi bahwa jajanan yang hadir sangat beragam dan tidak itu-itu saja.

Dok. Pribadi Danny Richard P Tampubolon
info gambar

Bahkan, pencuci mulut yang manis dan segar juga tersedia di dalam kompleks Pasar Gede, yaitu minuman dawet telasih Bu Dermi yang cukup tersohor di seantero Kota Solo. Es dawet bercampur telasih atau selasih, dengan varian rasa komplit, yakni kombinasi cendol, tape ketan hitam, dan jenang sumsum, serta gula santan dengan es batu.

Betul-betul menyegarkan dan komplit rasanya. Rasanya manis segar dan juga mantap. Namun jangan heran, karena di jam tertentu (terutama memasuki jam makan siang) antrean di Dawet Bu Dermi ini cukup panjang.

Intinya, Kawan harus bersabar dan rela berdiri mengantre karena cukup banyak pemesan yang ingin menikmati es dawet tradisional khas kota yang dipimpin Gibran Rakabuming Raka ini.

Sebagai informasi, Pasar Gede Hardjonagoro ini sudah berkali-kali direnovasi. Demi penyempurnaan warisan peninggalan sejarah dan sebagai salah satu daya tarik Kota Surakarta baik bagi turis lokal dan mancanegara. Pasar dipugar dan dirapikan supaya bangunan tersebut tetap bisa dinikmati masyarakat modern kekinian. Sejatinya, Pasar Gede dipugar mengikuti perkembangan waktu dan zaman. Namun, tetap tidak kehilangan orisinalitasnya.

Dengan papan yang didesain sedemikian rupa dan bertuliskan "Selamat Datang", Pasar Gede seolah ramah untuk selalu menanti kunjungan para wisatawan. Tanpa melihat latar belakang suku, status sosial, agama, dan profesi para pengunjung dengan filosofi Bhinekka Tunggal Ika.

Pasar Gede siap menyambut kedatangan para pengunjung yang bertandang dari pelbagai penjuru dari seantero nusantara. Terlebih Kota Surakarta dikenal cukup akrab sebagai salah kota yang berbudaya di Provinsi Jawa Tengah.

Dok. Pribadi Danny Richard P Tampubolon
info gambar

Status Pasar Gede Hardjonagoro adalah sebagai cagar budaya yang harus dilestarikan sesuai SK Walikota Surakarta No.646 pada tahun 2013. Sebagai salah satu barometer kebudayaan dan pusat kuliner di Solo, tentu eksistensi Pasar Gede haruslah tetap kita jaga dan kukuhkan.

Jadi jika Kawan GNFI berkunjung ke kota yang empunya kode plat kendaraan AD ini, silakan sambangi dan nikmati Pasar Gede sebagai salah satu kawasan wisata ikonik. Supaya kunjunganmu ke Kota Surakarta menjadi sah dan paripurna.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DT
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini