Fenomena Warung Madura yang Fenomenal

Chairul Arifin

Purnabhakti Departemen Pertanian RI

Fenomena Warung Madura yang Fenomenal
info gambar utama

Keberadaan, eksistensi dan keberhasilan warung Madura mengingatkan saya akan betapa uletnya berbagai suku bangsa di tanah air untuk hidup mencari nafkah di kota-kota besar. Kalau suku bangsa Aceh dengan bisnis berbagai kedai kopi dan mi aceh, maka suku Batak unggul dengan tambal ban dan penjual eceran berbagai varian bensin. Ada pula orang Minang dengan bisnis pakaian serta peralatan jahit menjahit, juga bisnis kuliner rumah.

Perlu contoh lagi? Bisa dilihat suku Jawa dengan warung Tegalnya yang ada di mana-mana, suku Bugis dengan bisnis ikan lautnya, orang Jawa Barat sukses dengan tukang cukur dan warung makan khas Sunda, orang Bali selaku pengrajin kerajinan rumah tangga, dan tentunya tak ketinggalan orang Madura yang sukses dengan warung Madura dan pedagang barang rongsokan.

Bisnis informal yang digeluti para pejuang nafkah tersebut mungkin dinilai tidak bergengsi bagi kebanyakan orang. Tetapi, mereka pelan-pelan mampu berkembang dan melebarkan sayapnya hingga buka 24 jam. Kebanyakan lapak mereka juga merangkap sebagai rumah tinggalnya. Bisa dibilang, sambil beranak pinak sambil berdagang.

Sejarah Warung Madura

Orang Madura pada dasarnya adalah pelaut dan perantau ulung. Tanah kelahirannya yang relatif tandus menyebabkan usaha berbasis pertanian kurang menonjol sehingga lautan marak menjadi ladang kehidupannya. Jiwa bisnis yang ulet dimilikinya pun sudah menonjol sejak jaman penjajahan Belanda dulu.

Di tanah rantau seperti Jakarta, orang Madura awalnya mencoba peruntungan lewat bisnis kayu dan barang bekas, suatu bisnis yang tidak diminati oleh banyak orang waktu itu. Mereka tinggal bermukim pada awalnya pada tahun 1900-an di daerah Tanjung Priok dan memulai bisnis kayu yang didatangkan dari Kalimantan. Di samping itu, mereka juga berjualan bubur kacang hijau yang dimasak dengan cara yang khas.

Sukses sebagai pedagang kayu, pada tahun 2000-an orang Madura mengembangkan bisnisnya menjadi produksi potongan kayu, triplek dan mebel kecil-kecilan. Selain tetap membuka warung kacang hijau di sudut-sudut Jakarta, mulai dikembangkan pula pula bisnis toko kelontong yang menjual aneka barang kebutuhan rumah tangga sehari hari seperti bensin, token listrik, hingga makanan dan rokok.

Karena didasarkan pada usaha keluarga, maka pada akhirnya anggota kerabat dibawanya pula ke Jakarta untuk gantian menjaga warung yang semakin banyak pelanggannya. Keadaan ini lama kelamaan dapat mengancam usaha yang lebih modern seperti supermarket dan minimarket. Terjadilah persaingan yang dituding tidak sehat oleh para pengusaha ritel yang menuntut agar warung Madura dibatasi jam operasionalnya menjadi tidak lagi 24 jam, karena merasa tersaingi dan berkurangnya pelanggan mereka.

Protes bermunculan

Iimbauan oleh Pemerintah Daerah Klungkung, Bali, untuk membatasi jam buka Warung Madura baru-baru ini menimbulkan protes, apalagi imbauan ini turut didukung oleh Kementerian Koperasi dan UMKM. Protes muncul dari tokoh Madura dan para akademisi yang mengganggap imbauan ini terlalu pro kepada pengusaha ritel, tidak kepada usaha kecil rakyat yang sejatinya adalah usaha keluarga yang dimulai dari nol.

Usaha warung Madura itu adalah usaha keluarga yang dimulai dengan keuletan orang Madura sebagai perantau ulung. Falsafah kehidupan orang Madura itu adalah ibaratnya asapo' angin, abanthal ombak salanjanjangngha (berselimutkan angin kencang lautan dan berbantalkan ombak sepanjang masa) sebagai contoh kehidupan untuk hidup sederhana di rantau. Maka dari itu, jangan heran jika perantau Madura yang nampak sederhana itu ternyata telah menunaikan beberapa kali ibadah haji dan umrah, serta memiliki rumah mewah. Belum lagi sumbangan pembangunan masjid dan musalanya di kampung halamannya yang tentunya diambil dari hasil dari remitansinya selama berdagang di perantauan.

Orang Madura Berdagang

Sewaktu jaman saya kuliah di Universitas Airlangg pada era 1970-an dulu, saya melihat deretan orang Madura di sekitar Kantor Pos Besar Surabaya sedang berdagang prangko, padahal prangko tersebut juga dijual di dalam kantor pos. Mereka rela berpanas diterpa matahari Surabaya hanya mengejar marjin keuntungan yang tidak seberapa.

Berdekatan tidak jauh dari tempat itu berdiri pula Pasar Turi, Pusat Pertokoan barang bekas atau rombengan besar, mungkin yang terbesar se-Asia Tenggara. Di situ pula orang Madura berjaya dan menguasai perdagangan barang bekas. Saya sempat membeli mesin ketik Brother bekas sebagai modal saya menulis di berbagai koran saat itu seperti Surabaya Pos, Memorandum, dan berbagai koran lainnya, yang akhirnya mengantarkan saya menjadi pimpinan redaksi koran kampus Suara Airlangga.

Jadi, upaya pembatasan jam operasional Warung Madura itu akan mengakibatkan orang di tengah malam buta dengan keperluan mendesak seperti obat, atau yang sedang kelaparan, kehausan, kehabisan bensin motor atau mobilnya menjadi terhambat dan kebingungan sambil menunggu esok harinya. Melihat protes yang ada dari pengusaha ritel modern, maka bisnis Warung Madura itu rasanya memang beromzet cukup besar sehingga dapat mengancam bisnis mereka. Tetapi dalam benak orang kecil macam saya timbul pertanyaan: Masak orang sekelas pengusaha itu merasa tersaingi oleh bisnis Warung Madura yang tidak pernah mengenyam pendidikan bisnis?

Jawabannya sebetulnya jelas: Ulet, margin kecil, hidup sederhana dulu, dan berani menanggung resiko sebagaimana dipraktikkan oleh Warung Madura.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Chairul Arifin lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Chairul Arifin.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

Terima kasih telah membaca sampai di sini