Tri Hita Karana dalam Budi Daya Rumput Laut Bali, Hubungan Kepercayaan, Ekonomi, dan Alam

Tri Hita Karana dalam Budi Daya Rumput Laut Bali, Hubungan Kepercayaan, Ekonomi, dan Alam
info gambar utama

Water for Shared Prosperity atau Air untuk Kemakmuran Bersama menjadi tema dari perhelatan World Water Forum (WWF) kesepuluh pada 18—25 Mei 2024. Isu yang diangkat dalam tema sekiranya sangat terkait dengan kehidupan pembudidaya rumput laut di Pulau Bali, tuan rumah dari ajang terbesar dunia terkait air tersebut.

Bali adalah satu dari sepuluh provinsi penghasil rumput laut terbesar di Indonesia (KBRI Maputo, 2021). Masyarakat Bali bahkan punya sebutan khusus untuk rumput laut yaitu bulung.

Bukan hanya menjadi sumber penghidupan dengan potensi besar yang masih menunggu untuk dikembangkan, di Bali bulung juga terkait dengan ritus keagamaan serta fungsi lingkungan. Hal ini menggambarkan filosofi Tri Hita Karana bagi masyarakat Hindu Bali, yaitu harmoni antara hubungan dalam tiga hal: Tuhan, manusia, dan alam.

Rumput Laut, Penyelamat Perekonomian di Bali

Wilayah pesisir dari pulau-pulau kecil di timur Pulau Bali seperti Nusa Ceningan, Nusa Lembongan, dan Nusa Penida menjadi penghasil utama rumput laut di Provinsi Bali. Ketiga pulau tersebut masuk dalam wilayah administrasi dari Kabupaten Klungkung.

Menurut Menggala et al.(2023), di Nusa Lembongan saja terdapat 300 petani rumput laut yang setiap bulan mampu menghasilkan 160 ton rumput laut kering. Jumlah besar tersebut bahkan belum mencapai angka maksimal. Pasalnya, baru 40 persen dari 157 hektar lahan potensial untuk budidaya rumput laut di pulau tersebut yang telah dimanfaatkan.

Rumput laut menjadi penyelamat perekonomian warga ketika Pandemi Covid-19 merebak dan bukti akan pentingnya diversifikasi sektor ekonomi. Pada masa paceklik tersebut, warga kehilangan penghasilan karena pariwisata yang menjadi tulang punggung perekonomian Bali harus berhenti total.

Para pelaku pariwisata pun beralih ke laut sebagai pembudidaya bulung. Padahal sebelum pandemi, industri ini banyak ditinggalkan terutama oleh generasi muda yang lebih memilih bekerja di sektor pariwisata. Diliput oleh Suriyani & Muhajir (2014), lahan budidaya bulung bahkan kerap tergusur oleh pembangunan fasilitas pariwisata di pantai hingga tercemah oleh limbah yang dihasilkan.

Pandemi kemudian menjadi titik kesadaran akan berkah ekonomi dalam keberadaan bulung. Bukan hanya bagi masyarakat setempat tetapi juga para pekerja yang bahkan datang dari Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Budi daya bulung pun menjadi sarana dari pawongan, hubungan manusia dengan sesama dalam Tri Hita Karana.

Menurut data International Trade Centre tahun 2018 yang dikutip dari laporan Badan Pusat Statistik (2020), Indonesia merupakan pengekspor rumput laut mentah terbesar dunia dengan angka mencapai 205,76 ribu ton setiap tahunnya.

Sebagian besar rumput laut, mencapai 78,63 persen, yang dihasilkan berasal dari jenis Eucheuma cottonii. Angka ini membuat Indonesia menjadi sumber 80% pasokan Eucheuma cottonii di dunia menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2019 (Menggala et al., 2023).

Rumput laut bukan hanya diolah menjadi sumber pangan seperti agar-agar, karagenan, atau nori tetapi juga dimanfaatkan sebagai bahan baku kosmetik.

Kisah Booming-nya Budi Daya Rumput Laut Indonesia Kala Pandemi

Tradisi Keagamaan dan Kuliner Terkait Rumput Laut di Bali

Akivitas budi daya bulung juga disertai dengan praktik keagamaan sehingga menjadi wujud dari hubungan manusia dengan Tuhan atau disebut dengan parahyangan dalam Tri Hita Karana.

Saat menyambut musim panen, pembudidaya bulung mengadakan upacara tumpek uduh yang ditujukan pada Dewa Sangkara. Sosok tersebut merupakan manifestasi Tuhan bagi umat Hindu Bali dalam bentuk penguasa tumbuhan.

Tumpek uduh atau tumpek wariga sendiri dilakukan masyarakat Hindu Bali secara luas sebagai wujud syukur terhadap kehadiran tumbuhan. Waktu pelaksanaanya pada hari Saniscara (Sabtu) kliwon wuku wariga dalam Kalender Bali. Hari tersebut muncul setiap enam bulan sekali dan terjadi tepat 25 hari sebelum hari raya Galungan.

Saat bulung terkena penyakit karena anomali cuaca menyebabkan curah hujan meningkat dan air laut menghangat, para pembudidaya di Desa Adat Lembongan, Nusa Penida, pun mengadakan upacara agama (Bagiarta, 2021). Upacara tersebut bernama Segara Kerthi yang ditujukan untuk menyucikan air laut. Dalam kepercayaan Hindu Bali, laut memang punya posisi sakral sebagai muara dari segala kehidupan.

Waktu kerja budidaya bulung pun tidak dilakukan sepanjang tahun tetapi mengikuti panduan sasih (bulan) dalam Kalender Bali yang jumlahnya dua belas.

Sasih tersebut berkaitan dengan kondisi alam. Contohnya pembudidaya menghindari aktivitas di bulan-bulan dengan gelombang besar dan angin kencang yang umum terjadi pada bulan Desember hingga Maret.

Rahina Tumpek Uye di World Water Forum Pertemukan Pelestarian Penyu dengan Tradisi Agama

Bali pun punya kuliner khas berbahan baku bulung yang disebut rujak bulung. Boni atau buni adalah salah satu jenis rumput laut yang digunakan dalam resep rujak ini. Bulung yang berwarna hijau dengan bentuk daun bulat ini dikonsumsi secara mentah setelah dicuci dengan bersih.

Boni kemudian ditambahkan dengan cabai rawit, jeruk nipis, terasi, lalu disiram disiram dengan kuah pindang. Rujak kemudian ditaburi dengan parutan kelapa serta kacang-kacangan goreng seperti kacang kedelai, kacang tanah, atau kacang tolo. Cita rasa yang muncul adalah segar, asin, dan pedas.

Rujak bulung juga menggunakan jenis rumput laut berwarna putih. Berbeda dengan boni, rumput laut ini perlu dikeringkan dengan sinar matahari dan direbus sebelum dapat disantap.

Rumput Laut bagi Lingkungan Hidup di Bali

Dari total 10.500 jenis rumput laut yang ada di seluruh dunia, perairan Indonesia ditumbuhi oleh 550 jenis. Selain dapat dilihat sebagai potensi perekonomian yang besar, melimpahnya rumput laut juga perlu dimaknai sebagai harta karun keanekaragaman hayati.

Rumput laut bukan hanya dibutuhkan oleh manusia saja. Ia memiliki peran yang tidak remeh bagi kesehatan lautan serta biota yang berhabitat di dalamnya.

Rumput laut dimanfaatkan sebagai tempat berlindung bagi biota laut kecil dari predator. Salah satunya adalah hewan dilindungi seperti anak penyu atau yang biasa disebut dengan tukik.

Penyu, salah satu biota laut yang mengambil manfaat dari keberadaan rumput laut. Foto: Pexels.com (Jeremy Bishop).
info gambar

Segera setelah menetas di pantai, tukik akan mengarah ke laut dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di lautan. Namun di lautan lepas tukik berhadapan dengan berbagai predator yang membuatnya memerlukan tempat bernaung.

Benda-benda terapung di lautan seperti rumput laut menjadi tempat berlindung tukik hingga tahap kehidupan selanjutnya. Selain itu rumput laut juga menjadi sumber pangan bagi mereka.

Rumput laut juga berperan dalam menjaga dunia dari ancaman pemanasan global. Ini terkait dengan perannya sebagai penyerap zat karbon yang efisien.

Keberadaan rumput laut turut menjadi benteng alami dalam menghadapi kekuatan gelombang sehingga mencegah terjadinya abrasi di pantai. Hal tersebut mengingatkan akan fungsi serupa yang dimiliki terumbu karang dan tanaman mangrove dalam menjaga rupa garis pantai.

Tidak berhenti di situ, rumput laut juga tengah dikaji sebagai sumber energi biomassa. Biomassa di masa depan akan menjadi salah sumber energi terbarukan yang menggantikan penggunaan bahan bakar fosil.

Bagi Bali sendiri, keberadaan budi daya bulung dapat beriringan dengan upaya perlindungan terhadap perairan. Alasanya rumput laut membutuhkan kualitas perairan yang baik untuk tumbuh.

Upaya perlindungan yang tegas dibutuhkan mengingat lingkungan hidup di Bali mulai banyak terdampak buruk oleh aktivitas pariwisata yang tidak dilakukan secara berkelanjutan. Sehingga budi daya rumput laut dapat dimaknai sebagai perwujudan dari salah satu aspek Tri Hita Karana yaitu palemahan atau harmoni antara manusia dengan lingkungan.

Rumput Laut Bisa Jadi Pengganti BBM, Apa Keuntungan dan Kekurangannya?

Referensi

Badan Pusat Statistik. (2021). Hasil Survei Komoditas Perikanan Potensi Rumput Laut 2021 Seri-2. https://www.bps.go.id/id/publication/2022/08/29/269de33babc6e3d52bbae5b6/hasil-survei-komoditas-perikanan-potensi-rumput-laut-2021-seri-2.html

Bagiarta. (2021, March 19). Terdampak Cuaca Buruk, Petani Rumput Laut Desa Lembongan Gelar Upacara Segara Kerthi. BaliPost. https://www.balipost.com/news/2021/03/19/181492/Terdampak-Cuaca-Buruk,Petani-Rumput...html

KBRI Maputo. (2021, March 17). Potensi Rumput Laut Indonesia. Kementerian Luar Negeri Repulik Indonesia. https://kemlu.go.id/maputo/id/news/11741/potensi-rumput-laut-indonesia

Menggala, S. R., Krishnan, S., & Sriyani, A. (2023, November). Si Bulung, Simbol Ikatan Warga dan Segara. National Geographic Indonesia, 18(11), 22–23.

Suryani, L. D., & Muhajir, A. (2014, September 17). Beginilah Nasib Petani Rumput Laut Nusa Penida. Mongabay. https://www.mongabay.co.id/2014/09/17/beginilah-nasib-petani-rumput-laut-nusa-penida/

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FW
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini