Kampung Palalangon, Secuil Cerita Perkampungan Kristen di Tengah Kota Santri

Kampung Palalangon, Secuil Cerita Perkampungan Kristen di Tengah Kota Santri
info gambar utama

Kota Cianjur kenal dengan nuansa Islam. Bahkan kota Cianjur mendapatkan julukan sebagai Kota Santri. Tidak heran karena jumlah pesantren di Cianjur sebanyak 353 unit pada 2022 dengan luas wilayah hanya 26,15 km2.

Tetapi siapa sangka, di balik itu semua terdapat sebuah perkampungan Kristiani yang tumbuh bersama masyarakat Cianjur. Pemukiman tersebut bernama Kampung Palalangon, berlokasi di daerah Ciranjang, Cianjur.

Dinukil dari Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Gereja Kristen Pasundan Palalangon yang ditulis Pendeta Alex Fernando Banua menjelaskan Palalangon adalah perwujudan dari model pembentukan jemaat pedesaan di tanah Jawa Barat.

Cerita Sosok Perempuan Penari yang Jadi Penjaga Gedung Dewan Kesenian Cianjur

Pembentukan jemaat ini atas prakarsa lembaga pekabaran Injil Zending dari Belanda yang bernama Nederlandsche Zendings Vereeniging (NZV). Lembaga ini memulai pelayanan akibat keprihatinan terhadap komunitas orang Kristen Sunda di berbagai wilayah.

“Komunitas Kristen Sunda ini mengalami diaspora akibat intimidasi, penganiayaan, bahkan pembunuhan. NZV lalu mengutus B.M.Alkena untuk mencari lahan yang cocok untuk pemukiman sekaligus untuk pertanian,” tulisnya.

Cianjur dipilih

Pencarian lokasi dimulai di wilayah Karesidenan Cianjur. Bantuan diperoleh dari seorang pembantu bupati Cianjur yang bernama Sabri disertai tujuh orang yaitu: Miad, Jena, Hasan Aliambar, Akim, Naan Muhian, Yusuf Sairin dan Elipas Kaiin.

Ketujuh orang ini kemudian disebut generasi perintis berdirinya Kampung Palalangon. Mereka menghadapi kesulitan dalam mencari kampung ini. Dalam pencarian tersebut, rombongan sampai terperosok ke sebuah tebing di pinggir aliran Sungai Citarum.

Menjelajahi Beberapa Daerah Ikonik di Tanah Pasundan

B.M, Alkena bersama rekan-rekannya itu menaiki tebing tersebut dan menemukan sebuah hutan belantara yang tanahnya agak datar. Dia melihat tempat itu cocok untuk lahan pemukiman dan pertanian, lalu menancapkan tongkatnya di tanah.

“Sejak itulah dimulai pembukaan dan pembabatan hutan untuk keperluan pemukiman dan pertanian,” paparnya.

Toleransi hingga kini

Saat ini, kawasan tersebut juga banyak dihuni oleh masyarakat beragama Islam. Meski berbeda keyakinan, mereka hidup berdampingan secara damai dan terus menjalankan prinsip saling bertoleransi dan tetap mengasihi.

Bahkan bila ada salah satu warga yang jatuh sakit atau meninggal, mereka akan saling tolong menolong walau berbeda agama. Hal yang sama dilakukan tetangga lain yang beragama berbeda.

Tapak Tilas Tol "Gopek" Rajamandala, Jalan Bebas Hambatan Pertama di Indonesia

“Jika ada saudara Muslim meninggal, kami juga ikut datang berbela sungkawa dan pastinya terlibat dalam kegiatan teknis seperti penggalian makam. Begitu juga sebaliknya, tanpa diminta mereka pun akan datang jika kami tengah mengalami hal yang sama,” kata Yudi Setiawan, selaku koster (pembantu) di Gereja Kristen Pasundan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini