Pecinta Kopi, Sudah Tahu Belum? Indonesia punya Geothermal Coffee Process

Artikel ini milik zonaebt dan merupakan bentuk kerjasama dengan Good News From Indonesia.

Pecinta Kopi, Sudah Tahu Belum? Indonesia punya Geothermal Coffee Process
info gambar utama

Dalam era keberlanjutan energi, inovasi terus berkembang untuk menjadikan berbagai industri lebih ramah lingkungan. Sudah banyak jenis industri yang kini mulai beralih ke penggunaan energi bersih dalam sistem operasional mereka. Industri kopi merupakan salah satu industri yang mulai mengembangkan pemanfaatan energi panas bumi dalam proses pengolahan biji kopi. Di Indonesia, potensi tersebut kini menjadi kenyataan melalui Geothermal Coffee Process (GCP), yang diperkenalkan dan diinisiasi oleh PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) di wilayah Kamojang, Jawa Barat.

Moelyono Soesilo, Ketua Bidang Kopi Specialty dan Industri di Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEIKI), dengan antusias menyambut inovasi pengolahan kopi menggunakan panas bumi. Menurutnya, terdapat peluang besar bagi Geothermal Coffee Process (GCP) untuk meningkatkan efisiensi petani dan produksi kopi di dalam negeri.

Moelyono berharap melalui penerapan GCP, peningkatan produktivitas dapat tercapai. Sebagaimana umumnya, kawasan geothermal sering berlokasi di dataran tinggi, yang juga menjadi habitat bagi kopi jenis arabika. Ia mengungkapkan bahwa produksi kopi arabika di Indonesia telah mengalami stagnansi selama 30 tahun terakhir, sehingga ia melihat inovasi terbaru ini sebagai pendorong potensial untuk perubahan positif dalam industri kopi.

Pemanfaatan energi panas bumi menghasilkan perbedaan signifikan dalam durasi pemrosesan selama tahap fermentasi dan pengeringan. Tanpa menggunakan panas bumi, pengeringan setelah pencucian menyeluruh memerlukan waktu 7–10 hari, proses honey memerlukan rentang waktu 14–30 hari, dan pemrosesan alami memakan waktu 42–53 hari. Dengan adanya panas bumi, waktu pemrosesan untuk setiap varietas kopi menjadi lebih efisien, yaitu 2–4 hari untuk pencucian penuh, 4–7 hari untuk pemrosesan honey, dan 7–10 hari untuk pemrosesan alami.

Dilansir dari laman thinkgeoenergy.com, dari segi ekonomi, pendapatan yang diantisipasi dari kelompok petani GCP diperkirakan mencapai sekitar Rp165 juta (setara dengan 10,659 USD) per tahun, dengan rata-rata pendapatan pengelolaan sekitar Rp24 juta per tahun dan penghematan biaya operasional sekitar Rp55,2 juta per tahun. 

Baca Selengkapnya

Terima kasih telah membaca sampai di sini