Memaknai Kolaborasi Tari Darwis dan Gamelan di Pekalongan

Memaknai Kolaborasi Tari Darwis dan Gamelan di Pekalongan
info gambar utama

Di salah satu sudut Kota Pekalongan, tepatnya di Sanggar Sufi Cahyo Kedaton terdapat kelompok kesenian multikultural yang cukup unik, yaitu menggabungkan kesenian internasional dengan kesenian lokal jawa. Kesenian tersebut adalah kesenian Tari Sufi Darwis yang berasal dari Turki dan kesenian musik jawa yaitu Gamelan.

Bertempat di sanggar kecil, kelompok kesenian ini berlatih setiap Selasa sore mulai dari setelah maghrib sampai pukul 22.00 malam. Pada awalnya mereka adalah kelompok pengajian yang memiliki ritual tari darwis sebagai salah satu kegiatan rutin. Kemudian aktivitas mereka dilirik oleh Disbudpar Pekalongan dan pihak Disbudpar mulai mengajak untuk mengikuti kegiatan PRPP pada tahun 2010. Pada awalnya mereka menolak untuk bergabung karena mereka adalah kelompok pengajian bukan entertainer tetapi akhirnya mereka mengiyakan ajakan tersebut dan hasilnya mereka berhasil meraih juara satu pada kegiatan PRPP yang dilaksanakan di Kota Semarang. ---
Tari Darwis sedang dimainkan
info gambar
Saat gamelan dimainkan, kemudian terdengar suara sinden mengiri musik gamelan tersebut dengan menyanyikan lagu religi. Tak lama berselang terdapat dua orang berpakaian serba putih dengan penutup kepala yang tinggi berputar berlawanan jarum jam. Tangan mereka terlentang ke samping, sebelah kanan terangkat ke atas dan sebelah kiri sedikit menangkup ke bawah. Lebih dari 3 menit mereka berputar sambil diiringi musik gamelan. Suasana hening dan syahdu segera menyelimuti keadaan di sekitar. Di akhir pertunjukkan tari darwis dan musik gamelan, pemimpin sanggar Habib Muhammad D. Shabab , menceritakan makna filosofi dari tari darwis ini. “ Kenapa tarian ini harus berputar? Karena semua atom dikelilingi Proton, Elektron dan Neutron, seluruhnya termasuk planet-planet kita ini seperti bumi. Kenapa tangan kanan ke atas yang kiri menangkup ke bawah? Karena setiap saat kita menerima rahmat, karunia dari Allah, yang kiri senantiasa memberikan. Orang Jawa bilang Ora nduwe dewe lan koyo mengkono sampurnane maring Allah (Manusia tidak punya apa-apa, kesempurnaan hanya milik Allah). Jadi kanan menerima, kiri memberi, kita sendiri tidak punya apa-apa hanya fasilitator saja. Kemudian kostumnya ya, kenapa kok namanya sike, penutup kepalanya tinggi? Itu menggambarkan batu nisan, agar kita senantiasa sadar kita semua akan mati dan apa ciri-cirinya orang mati? Orang mati itu gak punya apa-apa artinya Nduwe nang ora pemilikan (Memliki tapi bukan milliknya sendiri). Artinya kita harus menghilangkan rasa memiliki, kalau orang Jawa bilang Ora Keno Nduweni.” Makna yang begitu dalam tersirat pada tarian ini. Mungkin memang Pekalongan tidak mempunyai garis laut seindah Raja Ampat, tidak mempunyai alam bawah laut semenakjubkan Bunaken dan Wakatobi, tapi Pekalongan mempunyai cerita sendiri tentang hidup, tentang arti dari keberadaan kita di dunia ini dan tentang bagaimana harus bertindak sebagai makhluk yang telah mendapatkan begitu banyak rahmat dan karunia dari Sang Pencipta.

 

https://imalavins.blogspot.com/2015/04/ora-keno-nduweni.htmlhttps://danipicture.wordpress.com/2015/04/25/akulturasi-budaya-antara-sufi-dan-gamelan-jawa/

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini