Kakao Fermentasi Jembrana Menembus Pasar Dunia [Bagian 3]

Kakao Fermentasi Jembrana Menembus Pasar Dunia [Bagian 3]
info gambar utama

Secara kuantitas, Indonesia merupakan negara produsen kakao terbesar ketiga di dunia. Namun, dari segi kualitas justru kalah jauh dibanding dua negara di urutan paling atas, Pantai Gading dan Ghana. Salah satu penyebabnya karena pengolahan pascapanen kakao Indonesia masih asal-asalan.

Petani kakao di Kabupaten Jembrana, Bali bagian barat melakukan pengolahan pascapanen sedikit berbeda melalui teknik fermentasi. Hasilnya, mereka mampu mendapatkan biji kakao berkualitas yang dijual ke pasar-pasar internasional maupun domestik.

Kenapa kakao fermentasi dianggap lebih berkualitas dibanding non-fermentasi? Bagaimana petani kakao di Jembrana melakukannya? Laporan berikut membahasnya dalam empat artikel terpisah.

Tulisan ini merupakan bagian kedua dari empat tulisan. Tulisan pertama bisa dibacadisini. Tulisan kedua bisa dibaca disini.

Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian melepas ekspor kakao fermentasi di Negara, Jembrana, Bali, Sabtu (6/9/2018). Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Kemampuan petani Jembrana menjual kakao fermentasi dalam jumlah besar karena mereka mau menjual lewat satu pintu, Koperasi Kerta Semaya Samaniya (Koperasi KSS). Ada komitmen untuk melakukan pemasaran bersama. Proses itu tidak mudah. Pengurus koperasi mengatakan sejarah mereka penuh perjuangan melelahkan dan berdarah-darah.

“Pencapaian saat ini merupakan bagian dari sejarah,” kata Ketua Koperasi KSS I Ketut Wiadnyana.

Keberhasilan Koperasi KSS melakukan pemasaran kakao fermentasi secara bersama-sama karena adanya sinergi empat pilar yaitu petani, koperasi, Yayasan Kalimajari, dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jembrana.

Petani merupakan pilar utama karena berperan dari budi daya sampai penjualan. Mereka mampu menerapkan praktik pertanian yang baik (good agriculture practice/GAP). Sebagai anggota koperasi, mereka juga kini lebih baik dalam administrasi.

“Dulu kami tidak bisa membaca neraca apalagi sampai membuat rencana bisnis. Petani kan tahunya hanya kebun dan cangkul,” kata Wiadnyana lalu tertawa.

Petani melakukan perawatan kebun untuk meningkatkan jumlah dan mutu kakao Jembrana, Bali | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Selain tidak memiliki kemampuan bisnis, saat itu koperasi juga tidak memiliki kepercayaan dari anggotanya sendiri. Wiadnyana dan pengurus baru pun mewarisi ketidakpercayaan anggota.

Koperasi KSS, seperti umumnya koperasi yang lahir di zaman Orde Baru, terbentuk karena proyek pemerintah. Tanpa kemampuan manajerial yang cukup, Koperasi KSS sempat ambruk pada 2007. “Anggota tidak lagi percaya karena saat itu pengurus melakukan mismanajemen, korupsi, dan tidak memiliki transparansi,” katanya.

Salah satu praktik ketidakjujuran pengurus saat itu, menurut Wiadnyana, adalah perbedaan harga yang diterima dengan yang dijual. Tujuannya demi mendapatkan selisih pembayaran untuk kepentingan pribadi pengurus lama.

Pada 2011, Yayasan Kalimajari, organisasi non-pemerintah di bidang pemberdayaan masyarakat, memulai program mereka di Jembrana. Salah satu strateginya dengan menggandeng koperasi yang sudah ada, meskipun kondisinya mati suri.

“Ketika baru memulai, kami berpegangan tangan di depan kantor koperasi bersama petani. Kami berjanji untuk mewujudkan mimpi agar truk kontainer bisa datang ke sini untuk mengekspor kakao kami,” Direktur Yayasan Kalimajari I Gusti Ayu Agung Widiastuti bercerita.

Yayasan Kalimajari kerja bahu membahu dengan pengurus Koperasi KSS dan Pemkab Jembrana, khususnya Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan. Pemerintah membantu dalam budi daya sementara Yayasan Kalimajari memfasilitasi peningkatan kemampuan petani dalam berkoperasi dan berbisnis, termasuk melakukan fermentasi.

Fermentasi biji kakao di Jembrana, Bali, dilakukan di tingkat masing-masing petani maupun koperasi | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Penghargaan Bergengsi Dunia

Sebagai pengurus baru, Wiadnyana dan pengurus lain kemudian mendatangi petani anggota untuk sosialisasi. Anggota Koperasi KSS tersebar di lima kecamatan di Jembrana. Saat ini ada 609 petani yang terbagi dalam 38 subak abian, istilah untuk kelompok tani di daerah kering atau perkebunan.

Seiring pertemuan ke petani, anggota Koperasi KSS pun mulai percaya. Mereka bahkan membicarakan secara rutin mengenai koperasi dan penentuan harga kakao. Hingga sejak 2013, mereka pun mulai menjual kakao melalui Koperasi KSS dengan sistem satu pintu satu mutu.

Anggota koperasi hanya menjual kakao fermentasinya melalui Koperasi KSS. Tidak langsung ke tengkulak. “Begitu kenal dengan koperasi, no way!, saya tidak akan menjual selain ke koperasi. Karena saya sayang dengan koperasi dan koperasi memberikan manfaat untuk saya,” kata I Made Suerna, salah satu petani.

“Saya sangat berkomitmen dengan koperasi. Saya sayang dengan koperasi. Berhasilnya koperasi adalah keberhasilan saya dan kegagalan koperasi adalah kegagalan saya juga,” tegas petani dari Desa Poh Santen, Kecamatan Mendoyo ini.

Petani memasukkan kakao basah ke kotak fermentasi di Koperasi KSS Jembrana | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Nyatanya, saat ini koperasi jelas tidak gagal. Mereka justru berhasil menjual biji kakao fermentasi dengan harga lebih tinggi. Saat ini, kakao non-fermentasi dibeli perusahaan seharga Rp43.000/kg sementara kakao fermentasi sampai Rp59.000/kg.

Namun, bagi petani seperti Wiadnyana, Suerna, Pantiana, dan Suardikayasa hal yang lebih penting bagi mereka bukanlah hanya soal peningkatan pendapatan dengan menjual kakao fermentasi, tetapi juga membawa harum nama Jembrana ke pasar internasional. Apalagi, kakao fermentasi Jembrana sudah pernah mendapatkan penghargaan bergengsi tingkat dunia, Cocoa of Excellence, pada 2017.

Cocoa of Excellence adalah penghargaan dua tahunan untuk produsen kakao fermentasi seluruh dunia. Tujuannya untuk menghargai dan merayakan keragaman citarasa kakao dari berbagai asal produksi, termasuk Indonesia.

I Made Sugandi petani kakao di Jembrana, Bali, menunjukkan penghargaan Cacao of Excellence | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Pada 2017 lalu, Yayasan Kalimajari mengirimkan contoh kakao fermentasi dari I Made Sugandi, salah satu petani anggota Koperasi KSS. Seperti petani anggota Koperasi KSS lain, Sugandi menerapkan pertanian organik di kebun kakaonya. Dia membuat sendiri formula untuk pupuk dan pestisida alami.

“Kalau pakai bahan kimia memang hasilnya cepat dan banyak, tetapi kesuburan tanah cepat habis. Saat kemarau langsung kering. Untuk kesehatan manusia juga tidak bagus karena justru meracuni,” ujar petani di Desa Poh Santen, Kecamatan Mendoyo ini.

Sugandi memiliki setidaknya empat klon di kebunnya yaitu klon Sulawesi 1, Sulawesi 2, MCC 01, dan MCC 02. Dalam setahun dia menghasilkan sekitar 1,8 ton per hektar. Saat ini, kebun Sugandi juga menjadi tempat belajar petani dari berbagai tempat, termasuk Sulawesi dan bahkan luar negeri. Mereka belajar melihat proses budi daya kakao organik yang mendapatkan penghargaan Cocoa of Excellence 2017 itu.

Petani kakao Jembrana, Bali, saat menerima kunjungan belajar petani dari Sulawesi Barat. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Meskipun tidak keluar sebagai juara pada tahun itu, kakao Jembrana sudah masuk tahap 50 besar dari 166 sampel yang masuk dari 44 negara produsen kakao dunia. Agung Widiastuti menerima penghargaan itu dalam kegiatan besar cokelat dunia Salon du Chocolate di Paris, Perancis pada 30 Oktober 2017.

Penghargaan itu melengkapi penghargaan lain yang sudah diperoleh kakao Jembrana sebelumnya yaitu produk tersertifikasi UTZ dan sertifikat organik USDA. Dua sertifikat ini diperlukan produsen kakao untuk menembus pasar internasional. Koperasi KSS adalah satu-satunya koperasi petani di Indonesia yang memiliki dua sertifikat tersebut.

“Tiga sertifikat itu membuktikan bahwa kakao Indonesia sangat bisa bersaing di tingkat pasar dunia tak hanya dari sisi kuantitas, tetapi juga kualitas. Petani Jembrana sudah membuktikannya,” tegas Widiastuti.

Direktur Yayasan Kalimajari IGA Agung Widiastuti yang mendampingi petani kakao di Jembrana sejak 2011. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Emas dari Kebun

Cau Chocolate, perusahaan pembuat cokelat di Bali, termasuk pembeli yang membuktikan bahwa kakao Jembrana memang berkualitas. Menurut Direktur Cau Chocolate Surya Prasetya Wiguna perusahaannya mengambil sekitar 4-6 ton kakao dari petani Jembrana tiap tahun. Jumlah itu sekitar 90 persen dari total kebutuhannya. Sisanya dari petani binaan mereka di Tabanan.

Surya menyebut tiga alasannya membeli kakao fermentasi dari Jembrana. Pertama karena secara hukum, pemerintah mengharuskan pemilik perusahaan cokelat membeli kakao fermentasi. “Karena itu sebagai warga negara yang baik, kami wajib mengikuti peraturan tersebut,” katanya.

Kedua, kakao fermentasi memang salah satu pembuat rasa cokelat. Jika tidak menggunakan kakao fermentasi, kualitas cokelat akan jauh menurun. “Kalau pakai kakao fermentasi, rasanya akan jauh lebih baik,” ujarnya.

Ketiga, petani sebagai produsen kakao juga akan mendapatkan nilai lebih jika mendapat dukungan dari perusahaan pembuat cokelat. Menurut Surya, selama ini petani selalu identik dengan kemiskinan karena kurangnya apresiasi dari pasar.

Kakao fermentasi dari Jembrana, Bali, dianggap memiliki aroma khas buah madu dan bunga | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

“Kami membeli dengan harga dua kali lipat, tetapi masih untung. Kenapa? Karena kami membeli langsung dari petani. Selama ini kan harga komoditas pertanian itu murah di tingkat petani karena rantai pemasarannya yang terlalu panjang,” kata Surya.

Menurut Surya, jika petani mampu mengolah kakao dengan baik termasuk dengan fermentasi, maka pembeli yang justru akan mencari mereka. Bukan sembarang pembeli, tetapi perusahaan cokelat premium, seperti Cau Chocolate. “Kakao fermentasi itu ibarat emas dari kebun sehingga harus diolah dengan tangan emas juga. Karena itu, pembuat cokelat kami menggunakan standar bintang lima,” ujarnya.

Untuk itulah Surya berharap agar makin banyak petani kakao di Indonesia yang mampu mengolah kakao melalui fermentasi, tidak hanya meningkatkan jumlah produksi. Kita harus meningkatkan kualitas dan kuantitas kakao kita,” katanya.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini