Piala Tiger, Arena Bertarung Predator Asia Tenggara

Piala Tiger, Arena Bertarung Predator Asia Tenggara
info gambar utama
  • Mengenang kembali masa-masa berlangsungnya Piala Tiger.
  • Kompetisi sepak bola antarnegara Asia Tenggara ini dimulai pada 1996, dan berganti nama sejak 2007.
  • Banyak nostalgia tercipta selama berlangsungnya Piala Tiger.

Jauh sebelum nama Piala AFF familiar di telinga kita, publik pencinta sepak bola di Asia Tenggara lebih dulu mengenal Piala Tiger. Ya, itu adalah nama kompetisi sepak bola antarnegara se-Asia Tenggara, yang dimulai sejak 1996.

Nama "Tiger" disematkan karena merupakan sponsor utama kompetisi, yakni Tiger Beer, jenama minuman beralkohol asal Singapura. Sampai tahun 2004, nama Piala Tiger terus dipakai, lalu tahun 2007 bernama Piala AFF (saja), dan barulah di tahun 2008 dapat sponsor baru jadi bernama Piala AFF Suzuki Cup.

Bicara tentang Piala Tiger, ingatan kita akan kembali ke masa-masa pemain legenda Asia Tenggara masih merumput. Ketajaman Le Cong Vinh (Vietnam) dan Bambang Pamungkas (Indonesia) di lini depan, disokong kreativitas Therdsak Chaiman (Thailand) berpadu dengan gaya spartan khas Syamsul Haeruddin (Indonesia) menjadi jaminan mutu lini tengah dan depan kala itu.

Sementara di garis pertahanan, penonton mengenal Baihakki Khaizan (Singapura) yang jangkung itu, atau satu-satunya kiper yang pernah menjadi pemain terbaik turnamen, Lionel Lewis, juga dari Singapura. Sampai sekarang, belum ada kiper lain yang sanggup menyamai prestasinya.

BACA JUGA: Bayangkan, Jika ASEAN Adalah Entitas Negara Tunggal, Maka...

Selama 8 tahun di lima hajatan nama Piala Tiger eksis, Singapura dan Thailand mendominasi podium juara. The Lions menyabet sepasang gelar juara, sedangkan Tim Gajah Putih meraih tiga trofi. Uniknya, Malaysia yang berjuluk Harimau Malaya seperti nama sponsor yang juga berunsur harimau, justru tidak bertaring di ajang ini.

Setelah menjadi runner-up di tahun 1996, Malaysia malah gagal lolos fase grup di edisi 1998. Kemudian di tahun 2002-2004, mentok di semi-final. Bisa dibilang, saat itu Malaysia bukan tandingan Indonesia. Performa Tim Garuda terus membaik dari tahun 1996 yang berakhir di ranking 4.

Rinciannya, peringkat 3 tahun 1998, dan tiga kali beruntun jadi runner-up di gelaran 2000, 2002, 2004. Tahun 2000 timnas kita kalah 1-4 dari Thailand di partai puncak. Dua tahun berselang, kembali tunduk di hadapan lawan yang sama, tapi kali ini lewat adu penalti.

Lalu di tahun 2004/2005, dipermalukan Singapura dalam dua leg. Kalah 1-3 saat bermain di Jakarta, dan keok 1-2 ketika bertamu ke Singapura. Padahal, tim asuhan Peter Withe kala itu sangat superior di fase grup. 17 gol dimasukkan tanpa sekali pun kemasukan. Duet Ilham Jayakesuma dan Boaz Solossa jadi bintang lapangan.

Duet Boaz Solossa dan Ilham Jayakesuma yang fenomenal di Piala Tiger 2004 | Foto: Goal.com
info gambar

BACA JUGA: Kalau Piala Dunia di Asia Tenggara, Negara Mana Saja yang Akan Mewakili ASEAN?

Tren naturalisasi

Keperkasaan Singapura di era Piala Tiger, ternyata turut berkontribusi pada wajah sepak bola Asia Tenggara di kemudian hari. The Lions yang banyak dihuni pemain naturalisasi, menjadi kiblat meraih kesuksesan instan, setidaknya di level regional.

Thailand melakukannya lewat Manuel Bihr (Jerman), Kevin Deeromram (Swedia), Charyl Chappuis (Swiss) dan lain-lain. Indonesia mengawalinya dengan Cristian Gonzales (Uruguay) berlanjut gerbong pemain naturalisasi gagal seperti Jhon van Beukering dan Tonnie Cussell (Belanda), lalu yang terbaik sekarang, Stefano Lilipaly.

Bagaimana dengan Filipina? Memang banyak pemain mereka yang kelahiran luar negeri, tapi yang dilakukan The Azkals bukan naturalisasi. Filipina "hanya" memberi akses dwi-kewarganegaraan untuk sang pemain, agar bisa membela timnas Filipina.

Malaysia tak mau ketinggalan. Mahamadou Sumareh, La'Vere Corbin-Ong, Matthew Davies, Guilherme de Paula, dan Liridon Krasniqi adalah contoh pemain naturalisai Harimau Malaya.

Wajah Piala AFF pun berubah, karena jadi lebih warna-warni dari banyak negara, berbeda dengan zaman Piala Tiger dulu. Federasi masing-masing negara berharap, tren naturalisasi ini juga meningkatkan kualitas tim jika menghadapi tim luar Asia Tenggara, seperti Asia Tengah dan Timur, Amerika Latin, bahkan Eropa.

Sebab, sudah saatnya kekuatan timnas di Asia Tenggara ditingkatkan. Mendekati level Asia adalah target terdekat, dan mencapai level dunia adalah tujuan berikutnya. Hukumnya wajib, karena kita, Asia Tenggara, adalah calon tuan rumah Piala Dunia.

Selamat ulang tahun ke-52, ASEAN. Jayalah selalu di lapangan hijau!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini