Seandainya Indonesia Tak Pernah Dijajah dan Tak Pernah Merdeka

Seandainya Indonesia Tak Pernah Dijajah dan Tak Pernah Merdeka
info gambar utama

Peristiwa Rengasdengklok yang diiniiasi kelompok pemuda dengan menculik Soekarno dari rumahnya di Pegangsaan Timur, Jakarta, menjadi titik balik sejarah Indonesia. Belum genap semburat sinar matahari terlihat, desakan-desakan untuk segera bertindak sudah memenuhi kepala Soekarno.

"Sekarang, Bung. Malam ini. Mari kita kobarkan revolusi hebat. Malam ini juga!’’ desak Chairul Saleh, salah satu anggota Gerakan Angkatan Baru.

Desakan itu diterima oleh Soekarno pada 15 Agustus 1945, pukul 10 malam, setelah Jepang menyerah pada Sekutu. Waktu yang dinilai pas para kelompok pemuda untuk merdeka tanpa harus ada pertumbuhan darah dan bukan karena bantuan Jepang.

Menurut kelompok pemuda, Indonesia tidak perlu mengikuti konsep awal kemerdekaan yang dijanjikan Jepang yang direncanakan akan terjadi pada 7 September 1945.

Di satu sisi, memproklamasikan kemerdekaan tanpa persiapan yang matang juga tidak baik. Setidaknya ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sampai akhirnya Soekarno menawarkan tanggal 17 Agustus.

"Tujuh belas angka suci. Pertama, kita di bulan suci Ramadan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran. Mengapa Nabi Muhammad Saw memerintahkan 17 rakaat, bukan 10, atau 20? Karena kesucian angka 17 bukan buatan manusia," kata Soekarno dalam otobiografinya, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang edisi pertamanya terbit pada 1965.

--

Kapal Belanda
info gambar

Seandainya bangsa Romawi Kuno tidak keranjingan rempah-rempah; seandainya penjelajahan bangsa Eropa untuk menemukan rempah tidak terlalu agresif; seandainya Portugis, Spanyol, dan Belanda tidak datang ke Nusantara...

Seandainya Verenigde Oostindische Campagne (VOC) tidak berdiri di Nusantara; seandainya rakyat Nusantara waktu itu tidak terlalu lama tertipu Belanda, sampai pada akhirnya seandainya Jepang tidak pernah datang ke Indonesia...

Berbagai pengandaian itu mungkin pernah terpikirkan dalam benak Kawan GNFI. Mengingat sejarah pernah menuliskan bahwa kawasan Nusantara sangat maju dan berkembang dengan pesat dengan perdagangan rempahnya.

Tanpa penjajahan pun mungkin tidak akan ada yang namanya Indonesia sampai kini.

Di mata dunia kala itu—khususnya di mata Bangsa Eropa—Nusantara sungguh sangat menggoda untuk dimiliki. Sebut saja komoditas pala yang nilai dan harganya sampai melebihi emas kala itu. Semerbak rempah mahal di Nusantara itu akhirnya terendus oleh bangsa Eropa.

Baca Juga: Ditemukan Rempah Indonesia di Romawi Kuno, Bukti Awal Pemicu Kolonialisme

Dalam studi sejarah, ada yang disebut dengan telaah kontrafaktual histori. Jeremy Black dan Donald M. Macraild dalam buku Studying History, yang dikutip Vice, menjelaskan bahwa telaah histori semacam ini disebut sebagai upaya memproyeksikan sekian kemungkinan yang tidak pernah terjadi, atau seharusnya terjadi, untuk memahami lebih utuh sebuah peristiwa atau sejarah.

Seorang sejarawan yang memahami motode kontrafaktual sejarah, Andi Achian pernah berdiskusi mengenai hal ini dengan Vice.

Andi mengatakan bahwa kondisi yang paling mungkin terjadi jika Nusantara tidak pernah dijajah adalah industrialisasi yang lebih maju dari sekarang. Beberapa kawasan pesisir Nusantara dinilai akan maju pesat akibat perdagangannya.

Itu artinya, aspek ekonomi Nusantaralah yang sangat menjadi penggerak sejarah dan perkembangan negeri ini. Sudah jelas dominasi perekonomian oleh VOC, yang kemudian disusul oleh Belanda, membuat kemajuan ekonomi masyarakat sangat terhambat.

Padahal, sebelum kedatangan bangsa Eropa, sebelum kapal Portugis sampai di Malaka pada 1511, Nusantara sudah mendominasi sistem perdagangan di Asia, bahkan Eropa kalau tidak harus melewati jalur perdagangan Arab, India, dan Persia terlebih dahulu.

"Jadi, dengan atau tanpa kedatangan Eropa, sebetulnya Nusantara sudah menjadi bagian jaringan perdagangan dunia,’’ ujar Bondan Kanumayoso, dosen Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia kepada GNFI (16/7/). Bondan pernah menerbitkan disertasinya berjudul Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia (2001).

Seandainya Tidak Datang Bangsa Eropa

Malaka tahun 1511
info gambar

Rempah-rempah merupakan komoditas khas Nusantara yang membuatnya bukan hanya dicari, tapi juga diincar oleh berbagai bangsa dunia. Sebut saja pala, lada, cengkeh, kayu wangi, juga kapur barus yang disebut sebagai komoditas yang memiliki andil besar dalam sejarah dunia dan bangsa-bangsa.

Seorang peneliti sejarah Asia Tenggara, Anthony Reid, dalam bukunya Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia (1996) mencatat bahwa pada abad ke-15 terjadi perburuan rempah yang agresif ke Nusantara, khususnya ke kepulauan timur Nusantara.

Dimulai sejak 1390, setiap tahunnya cengkeh yang masuk ke Eropa mencapai 6 metrik ton dan buah pala sebanyak 1,5 metri ton. Satu abad kemudian, jumlahnya melonjak. Pengiriman cengkeh mencapai 52 metrik ton, sedangkan pala mencapai 26 metrik ton.

Hingga akhirnya pada abad ke-15, perdagangan internasional itu sudah merambah China sebagai pasar terbesar selanjutnya.

Letak geografis Nusantara yang sangat menguntungkan karena berada di persilangan yang strategis. Letaknya berada di antara Samudera HIndia, Laut China Selatan, dan Samudera Pasifik. Kemudian berada di antara Benua Asia dan Benua Australia.

Di antara jalur Asia Timur pun, Nusantara menjadi jalur maritim ke arah Asia Selatan dan Asia Barat. Tak heran jika saat itu di Nusantara bersama dengan beberapa wilayah Kepulauan Melayu lahir kota-kota pelabuhan dan sistem emporium yang tumbuh dan berkembang pesat.

Mereka yang terkenal adalah Pegu (Burma), Ayutthaya (Thailand), Pnompenh, Hoi An (Faifo), Champa, Malaka, Patani, Brunei, Pasai, Aceh, Banten, Jepara, Gresik, Cirebon, Sunda Kelapa, dan Makassar.

"Sistem perdagangan di masa sebelum kedatangan orang Eropa sebetulnya sudah tertata sedemikian rupa sehingga menguntungkan banyak pihak. Bukan hanya produsen, tapi juga para pengangkut," ujar Bondan.

Sudah terciptanya sistem perdagangan yang maju kala itu, menurut Bondan, bangsa dan masyarakat di Nusantara bisa jadi akan lebih intensif melakukan hubungan perdagangan tanpa kedatangan bangsa Eropa. Dan fenomena kolonialisme mungkin tidak pernah ada di kawasan Asia, terutama di Nusantara.

Sejarawan Andi kepada Vice juga mengatakan bahwa sejak jalur utama perdagangan Malaka dikuasai Portugis dan Belanda pertama kali, praktis para pedagang pribumi tidak lagi bisa menjalankan inisiatif perdagangannya sendiri.

Seandainya Bangsa Eropa tidak pernah datang, Nusantara mungkin akan menjadi wilayah pusat perdagangan rempah dunia. Mengingat segala keberuntungan yang dimiliki Nusantara karena letak geografisnya.

Seandainya Kolonialisme Tidak Terjadi

Kolonialisme Belanda di Indonesia
info gambar

Seharusnya, awal dari kedatangan bangsa Eropa hanyalah misi untuk mendapatkan rempah-rempah yang lebih murah. Perjalanan jauh ini mungkin tidak akan terjadi jika Konstantinopel tidak jatuh pada kekuasaan Turki Usmani pada 1453 silam.

Pasalnya, hal tersebut berakibat tertutupnya akses bangsa Eropa untuk mendapatkan rempah-rempah yang murah di kawasan Laut Tengah.

Dan jika mereka tidak datang ke Nusantara, nafsu untuk menguasai pun mungkin tidak akan muncul. Nafsu yang membuat misi mereka bergeser bukan hanya ingin memperoleh keuntungan ekonomi saja, tapi dominasi politik.

Akhirnya, kolonialisme modern terjadi di abad ke-15. Kolonialisme Barat yang dikenal sebagai sebuah fenomena ekonomi-politik di mana bangsa Eropa melakukan eksplorasi, penaklukan, pendudukan, dan eksploitasi wilayah-wilayah dunia yang jelas.

"Ya jelas kolonialisme merugikan karena dalam pengertian ekonomi itu berarti kita dimonopoli. Artinya, sistem perdagangan dikuasai yang menyebabkan kemandirian kita hilang," ujar Bondan.

Seiring berjalannya waktu, Bondan juga menjelaskan bawah sampai abad ke-18, pasca keruntuhan VOC, dan kemunculan negara jajahan Hindia Belanda, kolonialisme yang dilakukan oleh Belanda semakin meluas, menjadi kolonialisme teritorial.

"Mereka mencari keuntungan dari wilayah yang dikuasai. Bukan perdagangan lagi kayak VOC yang lebih berkepentingan hanya perdagangan saja yang pengaruhnya cuma [terasa] di daerah-daerah pesisir, di wilayah-wilayah kota pelabuhan, daerah-daerah penghasil komoditi seperti di Maluku dan Banda."

Penguasaan, monopoli, atau kolonialisme teritorial, dijelaskan Bondan, sebagai suatu fenomena di mana harus ada pembiayaan pada negara jajahannya. Artinya, jika daerah jajahan tersebut tidak menghasilkan, maka pengelola—dalam artian penjajah—akan dilanda kerugian.

Mereka bukan lagi hanya memperdagangkan komoditi yang sudah ada, melainkan memunculkan sistem tanam paksa tanaman-tanaman komoditi yang mendatangkan banyak keuntungan bagi negara kolonial.

"Sejak itu mereka masuk sampai ke tingkat desa. Hegemoninya terasa sampai ke [masyarakat tingkat] bawah karena orang Belanda menonjolkan supremasi mereka di dalam segala aspek. Nah, itulah yang kemudian memunculkan reaksi."

Di sisi lain, Belanda seolah bisa dikatakan telah mengambil andil besar dalam membentuk kemodernan Indonesia—atau Hindia Belanda kala itu. Seandainya Belanda tidak datang, Bondan bilang bahwa bisa jadi Inggris yang datang.

"Masalah memperkenalkan [modernitas], semua bangsa [Eropa] bisa memperkenalkan kepada orang Indonesia. Kemungkinan ada alternatif-alternatif skenario lainnya. Mungkin Inggris, Portugis, atau Spanyol. Hanya karena Belandalah yang paling gigih untuk menduduki wilayah Nusantara," katanya.

Seandainya Inggris yang Datang

Bendera Negara Persemakmuran Inggris
info gambar

Sejatinya hingga kini Indonesia berada di tengah-tengah "kepungan" negara persemakmuran Iggris. Katakanlah, Indonesia dikelilingi Australia, Malaysia, Singapura, dan Papua Nugini. Dengan Malaysia dan Singapura, Indonesia pernah memiliki hubungan yang tidak harmonis.

Dengan Australia, sebenarnya Indonesia tidak secara langsung melakukan konfrontasi. Namun, melihat Negeri Kanguru itu membantu Malaysia dan Singapura, tentu akan menimbulkan sentimen negatif di antara keduanya.

Untuk diketahui, negara persemakmuran Inggris diikat oleh satu kepentingan yang sama. Dipercaya ada kesepakatan tak tertulis yang menyatakan bahwa setiap anggota negara persemakmuran akan saling membantu jika berperang.

Mantan Panglima Tentara Negara Indonesia (TNI), Jenderal (Pur) Gatot Nurmantyo, pernah mengatakan bahwa masih ada motif terkuat di balik potensi konflik antara negara persemakmuran dengan negara asing. Salah satunya adalah perebutan sumber daya alam yang melimpah, kembali pada misi dan tabiat lama bangsa Eropa.

"Ini sudah diingatkan lama sejak oleh Presiden RI pertama Soekarno, bahwa kekayaan alam Indonesia di suatu saat nanti akan membuat iri negara lain di dunia. Presiden Jokowi juga sudah mengingatkan, kekayaan sumber alam justru bisa jadi sumber petaka buat Indonesia," kata Gatot dikutip Berita Satu.

Akankah situasinya akan berbeda jika imperium Inggris yang datang ke Nusantara?

"Inggris itu beda. Inggris itu kan mengalami revolusi pertama kali sebagai negara industri. Dia tentu memproduksi barang-barang hasil industrinya dalam jumlah yang besar," jawab Bondan.

Kala itu, produk-produk yang diproduksi oleh Inggris sendiri terlalu banyak jumlahnya sehingga tidak bisa diserap oleh masyarakat Inggris sendiri. Upaya tujuan ekonominya pun tentu akan berbeda jika dibandingkan dengan Belanda.

Jika mau dibandingkan secara berhadapan, maka perbedaan itu akan terlihat dari cara kedua negara ini mencari keuntungan. Misi bangsa Belanda adalah dengan cara berdagang, sedangkan Inggris dengan cara membuat pasar sendiri akan barang industrinya.

Belanda tak punya industri ternama saat itu. Makanya monopoli komoditas perdagangan di Nusantara yang dijual ke Eropa adalah satu-satunya kebijakan Kerajaan Belanda saat itu.

Sedangkan Inggris, memiliki cara lain agar agar ekonominya berkembang dengan melakukan perdagangan di negara koloninya.

"Negara koloninya harus bisa menyerap barang-barang buatan Inggris. Kalau negara koloninya miskin, nggak bisa (berkembang)," kata Bondan.

Maka dari itu muncul istilah Negara Persemakmuran (Comonwealth) Inggris.

"Karena semuanya harus makmur untuk bisa berdagang dengan Inggris, sehingga menimbulkan kesan bahwa [penjajahan] Inggris jauh lebih baik daripada [penjajahan] Belanda,’’ ungkap Bondan.

Tapi apakah sepenuhnya akan lebih baik jika dijajah Inggris?

"Lebih baik secara ekonomi? Ya. Tapi secara kemandirian politik malah [dijajah Belanda adalah] blessing in disguise," katanya.

Kepada GNFI, Bondan menjelaskan salah satu berkah tersendiri bagi Indonesia kala dijajah Belanda. Salah satunya adalah kesadaran masyarakat Indonesia dalam mengambil garis penghalang tegas antara Belanda dan Indonesia. Dampak dari situasi tersebut, lahirlah sebuah perjuangan.

"Pengaruh Belanda hampir nggak ada di Indonesia. Kita tidak bicara bahasa Belanda, kita tidak menjalankan budaya mereka. Indonesia lebih beruntung. Lebih merdeka. Jiwa kita lebih merdeka daripada bangsa-bangsa bekas jajahan Inggris," papar Bondan.

"Kita tidak ada beban kesejarahan seperti [negara persemakmuran] itu."

Seandainya Indonesia Menjadi Negara Federasi Jepang

Negara Federasi Jepang
info gambar

Kehadiran Jepang juga memberi sebuah "alternatif sejarah" yang lain. Salah satu yang paling mungkin bisa terjadi adalah Indonesia bisa menjadi basis sumber daya alam yang tidak akan ada habisnya untuk ekspansi kekaisaran Jepang.

Itu pun dengan syarat jika Jepang bisa menahan dan tidak kalah o lehAmerika Serikat dalam Perang Pasifik.

Seandainya Jepang tak harus mengalah kepada Sekutu, sebenarnya Jepang sudah memberikan hak istimewa kepada Indonesia. Selain memiliki konsep Indonesia Raya yang wilayahnya bisa hampir separuh Asia Tenggara, kemerdekaan juga sudah direncanakan terjadi pada 7 September 1945.

Alih-alih ingin "membantu" membebaskan Indonesia dari imperialisme Barat, janji yang disebut Janji Koiso itu memiliki syarat, yaitu Indonesia akan menjadi bagian dari federasi Kekaisaran Jepang.

Meski Jepang diketahui masuk ke Indonesia hanya demi memenuhi kepentingan kemiliterannya, namun pemilihan Indonesia sebagai basisnya masih kerap dikaitkan dengan monopoli potensi sumber daya yang besar yang dimiliki bangsa ini.

"Mereka itu memperebutkan sumber daya alam [Indonesia] karena mereka tidak punya sumber daya alam untuk bisa membangun militer dan industrinya. Mereka perlu daerah produksi. China, tidak punya SDA seperti Indonesia," jelas Bondan.

Jepang tahu bahwa harta karun minyak bumi yang dimiliki oleh Indonesia menjadi sangat sentral bagi sebuah negara industri seperti Jepang. Bahkan sumber mineral lain seperti aluminium dan timah, yang diperlukan oleh mereka sudah tersedia secara melimpah ada di Indonesia.

"Nah, dengan kondisi seperti itu, saya meragukan bahwa Jepang berniat untuk memajukan ekonomi kita. Tujuan mereka [lagi-lagi] untuk mendapatkan kekayaan alam Indonesia. Sama saja dengan Belanda, [hanya] dalam bentuk yang lain," pungkas Bondan.

Kesangsian Bondan akan Jepang bukan tanpa alasan. Ini semua terlihat bagaimana cara Jepang memperlakukan masyarakat Indonesia kala itu.

"Dia nggak peduli sama penduduk Indonesia. Makanya mereka keras sekali. Pakai Romusha. Yang perempuan dijadikan Jugun Ianfu. Nggak peduli mereka."

"Kalau dia peduli sama kemakmuran Indonesia, mereka nggak akan memperlakukan seperti itu," jelas Bondan.

--

Berbagai pengandaian atas skenario perjalanan sejarah Nusantara dan Indonesia di atas memang tidak terjadi. Tidak akan pernah ada jawaban yang benar atas pengandaian itu karena toh tidak akan pernah terjadi.

Namun, dengan melakukan ini, setidaknya kita bisa memaknai secara dalam setiap garis cerita yang sudah terlewati. Dengan melakukan ini, lagi-lagi kita tidak melupakan sejarah perjalanan bangsa ini.

Mengingat sejarah perlu untuk memaknai akan kemerdekaan Indonesia yang sudah diperjuangkan sedemikian rupa.

--

Sumber: Wawancara Eksklusif GNFI | Vice.com | Nuun.id | Indonesia.go.id | Encyclopedia Britannica | Beritasatu.com | Kompas | Tirto

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini