Dokter Kariadi, Mengemban Misi Kemanusiaan hingga Ajal Menjemput di Tangan Jepang

Dokter Kariadi, Mengemban Misi Kemanusiaan hingga Ajal Menjemput di Tangan Jepang
info gambar utama

Kawan GNFI zaman now pastinya mempunyai cita-cita yang bermacam-macam. Mungkin menjadi dokter adalah salah satunya, ya kan? Perlu diketahui, profesi dokter memang menjadi cita-cita favorit yang bahkan sudah terpikirkan oleh orang-orang Indonesia tempo dulu atau pada zaman kolonialisme Belanda.

Sebenarnya tak hanya dokter, cita-cita anak-anak tempo dulu tidak jauh berbeda dengan zaman sekarang yang menargetkan menjadi tenaga ahli seperti; guru, insinyur, ahli hukum, ataupun ahli ekonomi. Namun, profesi dokter menjadi idaman anak-anak pada saat itu. Mungkin banyak alasannya, tetapi yang utama ialah adanya semangat membantu orang-orang terdekat dari berbagai macam penyakit yang bermunculan di masyarakat yang beberapa di antaranya belum ditemukan penanganan dan cara pengobatannya.

Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda membutuhkan tenaga medis—salah satunya dokter—dengan jumlah yang besar. Semenjak Politik Etis diterapkan, orang-orang pribumi pun mendapatkan kesempatan mewujudkan cita-citanya menjadi dokter karena sejumlah sekolah kedokteran dibuka, khususnya di kota-kota besar di Pulau Jawa pada awal abad ke-20.

Dari banyaknya sekolah kedokteran yang tersebar di Indonesia, tokoh-tokoh perjuangan pun lahir. Dari situ, tokoh nasional bergelar dokter, Kariadi, menjadi salah satu yang berjuang untuk Tanah Air melalui bidangnya. Kariadi mungkin tidak bentrok fisik dengan Belanda atau Jepang, tetapi ia berjuang lewat ilmunya ketika menangani pasien-pasiennya yang sebagian besar orang pribumi agar mereka pulih dari penyakit.

Sekolah Kedokteran di Surabaya

Sejak kecil, Kariadi sudah menjadi yatim piatu. Sosok kelahiran Malang, Jawa Timur, pada 15 September 1905, itu ditinggal ayah dan ibunya yang wafat pada usia muda. Situasinya semakin menyedihkan mengingat ia bukan datang dari keluarga yang berada.

Beruntung, Kariadi masih memiliki kerabat yang peduli. Pamannya yang bekerja sebagai Wedana di Singosari, Jawa Timur, kemudian merawatnya hingga besar.

Kelas Nederlands-Indische Artsenschool (NIAS)
info gambar

Pendidikan Kariadi dimulai di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Malang dan ditamatkan di HIS Sidoardjo, Surabaya, lulus pada 1920. Pada 1921, dengan prestasi gemilang, dia berhasil masuk Nederlands Indische Artsen School (NIAS) atau Sekolah Kedokteran untuk Pribumi di Surabaya sebagai angkatan ke-9.

Kariadi lalu lulus menjadi dokter sebagai lulusan ke-99 pada 1931. Begitu lulus, dr Kariadi bekerja sebagai asisten tokoh pergerakan, dr Sutomo, di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ, Rumah Sakit Umum) di Surabaya.

Menikah Diwakilkan Sebilah Keris

Pada 1 Agustus 1933, dr Kariadi menikahi Sunarti yang merupakan lulusan dokter gigi pribumi pertama di Hindia Belanda. Sayangnya ia tidak menghadiri prosesi pernikahan tersebut. Sebagai gantinya pernikahan itu diwakilkan dengan sebilah keris miliknya.

dr Kariadi dan istrinya, Sunarti.
info gambar

Mengapa dr Kariadi tidak bisa hadir di pernikahannya sendiri? Alasannya, ia harus menjalankan tugas di Manokwari, Papua. Kebetulan, penelitian Kariadi berfokus memberantas penyakit malaria dan filariasis atau yang biasa dikenal dengan kaki gajah.

Demi keselamatan warga dan kelanjutan penelitiannya, Kariadi lalu memutuskan untuk tinggal di Manokwari. Tidak sendirian, Sunarti pun kemudian mendampingi dirinya di daerah bagian timur Indonesia itu.

Keluarga kecil dokter Kariadi.
info gambar

Berdinas di Pedalaman Papua

Dokter Kariadi semasa hidupnya kerap berpindah tugas. Mulai dari kota kelahirannya Malang, Martapura (Kalimantan Selatan) hingga Manokwari (Papua). Dengan daya jelajahnya yang tinggi, sang dokter mampu menembus hutan belantara Papua yang masih sangat sepi kondisinya.

Setelah menjalani sumpah dokter, penugasan ke Manokwari didapat dr Kariadi saat ia menjadi asisten dr Supomo di RS Umum Surabaya. Meskipun berat pekerjaannya, dr Kariadi mendapatkan pujian dari atasannya sebagai dokter terbaik di antara 14 dokter lainnya.

Di Bumi Cendrawasih, dr Kariadi kala itu menemukan masyarakat mayoritas menderita penyakit malaria. Sebagai dokter, instingnya pun berjalan. Ia berupaya mengobati penderita malaria dengan mengambil sampel darahnya.

Dengan kondisi serba terbatas, dr Kariadi meneliti virus malaria berbekal mikroskop. Berkat penelitiannya, Kariadi berhasil menemukan jenis nyamuk baru yang menyebabkan malaria tersebut pada 1933.

Infografik dr Kariadi
info gambar

Dokter hewan pemerintah Hindia Belanda, Bouwe Vrijburg, bahkan memberikan pujian pada dr Kariadi atas kerja kerasnya melayani pasien di Manokwari. Dalam buku Nieuw-Guinea in verband met kolonisatie, Vrijburg yang berkunjung ke tempat dinas Kariadi di Manokwari melontarkan pesan-pesannya untuk sang dokter: "Lakukan pekerjaan dengan baik meskipun tidak dibayar, itulah seninya. Dan juga, jika Anda dimarahi karena telah berbuat kebaikan, itu tetaplah seninya."

Di luar pekerjaannya, dr Kariadi gemar meneliti dan menulis beberapa artikel dan jurnal tentang malaria dan filariasis salah satunya di majalah kedokteran saat itu, Het Geneeskundige Tijdscrijft van Nederlands Indie. Jurnal dr Kariadi yang berjudul "Enkele ervaringen met chinine en atebrin bij de behandeling van chronische malaria in verband met het optreden van zwartwaterkoorts te Manokwari" seringkali menjadi rujukan dalam penelitian malaria yang lebih lanjut.

Membantu Pasien dengan Gratis

Kedatangan bala tentara Jepang yang semula diharapkan bisa membebaskan Indonesia dari kolonialisme Belanda nyatanya justru menebar ketakutan. Banyak kaum intelek termasuk dokter dibunuh tentara Negeri Matahari Terbit yang tiba di Nusantara pada 1942.

Menghadapi situasi tersebut, keluarga Kariadi diungsikan ke Surabaya menumpang kapal Speelman. Namun sekembalinya ke Martapura, kapal itu mendapatkan serangan bom dari Jepang. Kariadi pun lalu menyusul keluarga ke Surabaya dan sementara tinggal bersama keluarga dr Sukaton di Malang.

Karena pengabdiannya dan pengalamannya, tepatnya pada 1 Juli 1942, Kariadi menjabat sebagai Kepala Laboratorium Malaria di RS Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara, sebelumnya bernama CBZ Semarang, kemudian menjadi Chuo Simin Biyoing pada zaman Jepang), Semarang. Ia juga diangkat sebagai Kepala Djawatan Pemberatasan Malaria karena dianggap sangat berpengalaman dalam bidang tersebut.

Berprofesi sebagai dokter muda, gaji 600 gulden (mata uang Belanda pada saat itu) tidak membuat keluarganya hidup mewah. Sebagai gambaran, saat itu uang 1 gulden dapat digunakan untuk membeli 7 kilogram gula premium.

dr Kariadi sedang memeriksa pasien di ruangannya.
info gambar

Lahir dari keluarga sederhana membuat Kariadi tidak lupa dari mana ia berasal. Kariadi juga dikenal sebagai sosok dokter yang dermawan. Setelah mendapat gaji yang lumayan, tidak jarang dia membantu pasien yang hanya mampu membayar jasa pengobatan dengan hasil pertanian. Bahkan ia rela memberi pengobatan secara cuma-cuma atau gratis dengan merogoh koceknya sendiri untuk obat-obatan dan membantu masyarakat.

Jabatannya sebagai Kepala Laboratorium membuat dr Kariadi dekat dengan mikroskop. Pada saat itu, ia membutuhkan cedar olie atau immersion oil yang digunakan untuk pemeriksaan mikroskopik (untuk memperbesar lensa mikroskop), tetapi sangat sulit didapatkan. Karena keahliannya, ia berusaha keras mencari bahan penggantinya.

Kemudian dr Kariadi melakukan percobaan dan penelitian. Ia berhasil menemukan suatu formula minyak dari bahan daun kenanga pada tahun 1944, yang dinamakannya Minyak Semarang.

Atas persetujuan Semarang Iji Hookoo Kai (Himpunan Kebaktian Dokter Semarang) yang merupakan organisasi resmi pemerintah Indonesia yang ada di bawah pengawasan Jepang, minyak tersebut berubah nama menjadi Oleum promicroscopilar.

Gugur Ditembak Jepang, Picu Amarah Warga Semarang

Tanggal 14 Oktober 1945, menjadi hari duka bagi keluarga dr Kariadi. Pada tanggal tersebut ia meregang nyawa akibat ulah tentara Jepang.

Sebelum petaka itu terjadi, setelah maghrib Kariadi menerima telepon dari RS Purusara yang meminta dirinya memeriksa tandon air ledeng Siranda di Candi Lama yang dikabarkan telah diracuni pihak Jepang.

Isu peracunan air di tandon Siranda ini sendiri menimbulkan sikap saling tuduh antara pihak pemuda Indonesia dengan pihak tentara Jepang. Para pemuda Indonesia menuduh peracunan itu dilakukan oleh orang Jepang, sementara pihak Jepang menuduh jika para pemuda pejuang kemerdekaan pelakunya.

Kondisi saat itu genting, pasukan elite Jepang yang dipimpin Mayor Kido Shinishiro yang bermarkas di Jatingaleh menolak penyerahan senjata sama sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak sendiri-sendiri.

Di situasi mencekam Aula RS Purusara dijadikan markas perjuangan. Para pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam upaya menghadapi Jepang.

Dr Kariadi tetap memilih berangkat memeriksa sumber air tersebut karena ini menyangkut keselamatan ribuan penduduk kota Semarang. Langkahnya sempat dicegah oleh keluarga dan tentunya istrinya Sunarti yang khawatir akan keselamatannya. Hanya saja sang suami bersikeras untuk bergegas, Sunarti pun hanya bisa pasrah melepas kepergian suaminya.

Pejuang Semarang melangsungkan pertempuran melawan Jepang selama lima hari.
info gambar

Namun, ternyata pada saat itu merupakan terakhir kalinya bagi Sunarti bertemu Kariadi. Saat disopiri oleh tentara pelajar dan didampingi anggota polisi, mobil dr Kariadi dicegat di Jalan Pandararan.

Saat dokter ditembak tentara Jepang dan tidak tertolong lagi nyawanya. Sunarti pun menangis setelah mendapat telepon kabar meninggal suaminya dari RS Purusara.

Dr Kariadi sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB, tetapi kondisinya sudah gawat ketika tiba di kamar bedah. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.

Kabar gugurnya Kariadi tersebar cepat dan menyulur kemarahan warga Semarang. Imbasnya, warga Semarang melancarkan balas dendam melawan sekitar 1.000 bala tentara Jepang.

Pertempuran berlangsung mulai tanggal 15 Oktober 1945. Ribuan kusuma bangsa gugur akibat peristiwa tersebut.

Perundingan gencatan senjata pun dihelat, termasuk melibatkan utusan pemerintah pusat di Jakarta. Namun, pertempuran terus berlangsung hingga 19 Oktober 1945 sehingga disebut dengan Pertempuran Lima Hari di Semarang. Pertempuran baru berhenti tak lama setelah kedatangan pasukan 3/10th Gurkha Rifles di bawah komando Letkol Edwardes pada hari terakhir pertempuran.

Tugu Muda di Semarang diresmikan Presiden RI, Sukarno.
info gambar

''Semarang menjadi lautan api dan darah karena kekejaman Jepang. Menurut catatan sementara bangsa Indonesia yang mati ada 2.000 orang, sedang di pihak Jepang 500 orang mati dan 600 orang luka-luka. Boleh diterangkan bahwa t.Pariadi (Kariadi) kepala laboratorium, ketika mendengar Jepang meracun air ledeng, beliau lalu menjalankan kewajibannya untuk memeriksa air. Dalam perjalanannya itu beliau ditembak oleh Jepang,'' lapor surat kabar Merdeka yang terbit 22 Oktober 1945.

Demi mengenang pengorbanan pejuang yang tiada dalam pertempuran itu, pemerintah kemudian membangun Tugu Muda pada Mei 1952. Biaya pembangunan Tugu Muda ini diperoleh dari sumbangan masyarakat di Semarang.

Tugu Muda diresmikan tepat saat Hari Kebangunan Nasional (sejak tahun 1958 disebut Hari Kebangkitan Nasional) pada 20 Mei 1953. Tugu Muda diresmikan oleh Presiden Soekarno.

RS Purusara Menjadi RSUP Dokter Kariadi

Pertempuran yang terjadi membuat jenazah Dokter Kariadi belum sempat dimakamkan selama dua hari. Barulah pada 17 Oktober 1945, jenazah dikebumikan di halaman RS Purusara.

Pemakaman berlangsung khidmat dengan naungan bendera Merah Putih meskipun sering terganggu desingan tembakan musuh. Anak-anak Dokter Kariadi juga hadir di pemakaman, tetapi istrinya merasa tidak mampu menyaksikan dan memilih tidak hadir karena masih diselimuti kesedihan.

Pada 5 November 1961, jenazah dr Kariadi dipindahkan dari halaman RS Purusara ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang. Menurut putrinya, Prof. Dr. Sri Hartini K.S. Kariadi, dr., Sp.PD-KEMD, ketika kerangka ayahandanya dipindahkan, ia sempat ikut memeriksa tulang-belulang ayahandanya. Sebagai mahasiswa kedokteran (waktu itu) ia melihat di tengkorak terdapat retakan membentuk celah, yang menunjukkan bekas pukulan benda tajam (mungkin dipukul dengan sangkur/bayonet, sebelum ditembak).

Kolase foto gedung RSUP Kariadi di Semarang.
info gambar

Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, pada 1962, di gedung induk RS Purusara dibangun monumen dr Kariadi. Dua tahun berselang, RS Purusara (yang sejak 1949 menjadi RSUP Semarang), diganti namanya menjadi "Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi". Lalu pada Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1968, dr Kariadi dianugerahi Satyalencana Kebaktian Sosial oleh Presiden Suharto, secara anumerta.

--

Baca Juga:

Referensi: Historia.id | Cagarbudaya.kemdikbud.go.id | Moehkardi, "Bunga Rampai Sejarah Indonesia: dari Borobudur hingga Revolusi Nasional" | Indropo Agusni, "Kiprah Dokter NIAS-Djakarta Ika Daigaku dalam Sejarah Republik Indonesia" | Hamid Abdullah, Ngesti Lestari, Sutejo K. Widodo, Nana Nurliana Masjkuri, "Tingkat Kesadaran Sejarah Masyarakat Propinsi Jawa Tengah: Kotamadya Semarang" | Bouwe Vrijburg, "Nieuw-Guinea in verband met kolonisatie"

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini