Sisi Humanis Sri Sultan HB IX, Raja yang Sederhana dan Merakyat

Sisi Humanis Sri Sultan HB IX, Raja yang Sederhana dan Merakyat
info gambar utama

Sri Sultan Hamengkubuwono IX merupakan seorang Sultan yang terkenal dengan kerendahan hati dan kesederhanaannya. Orang Yogyakarta sampai hari ini masih mengenang sosok Ngarsa Dalem sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat.

Sebagai Raja Jawa, banyak kalangan yang memandangnya sebagai sosok terbesar sepanjang zaman. Sultan merefleksikan sosok pemimpin yang bersahaja, sederhana, dan tanpa ambisi kekuasaan.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah seorang Sultan yang memimpin di Kesultanan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) antara tahun 1940-1988.

Lahir dengan nama Gusti Raden Mas (GRM) Dorodjatun, pada 12 April 1912. Pada umur 4 tahun, Ia harus berpisah dengan keluarganya karena melanjutkan sekolah di Europeesche Lagree School di Yogyakarta, lalu pada 1925 melanjutkan pendidikan ke Hoogre Burgerschool di Semarang, kemudian Hoogre Burgerschool te Bandoeng (HBS).

Pada 1930, Dorodjatun harus pergi ke Belanda untuk menempuh jenjang perkuliahan di Rijkuniversitet (Universiteit Leiden), Belanda.

Diceritakan dalam Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX, Sultan Hamengkubuwono VIII memang ingin mendidik putra-putranya menanggalkan semua kemewahan keraton, dan hidup dengan kesederhanaan. Tapi tetap bisa belajar dengan baik, layaknya para bangsawan kala itu.

Akhirnya, Dorodjatun tinggal bersama keluarga Mulder, seorang kepala sekolah di Neutrale Hallands Javanese Jongens School (NHJJS).

"Intruksi sang Pangeran ketika itu jelas, yaitu agar putra-putranya untuk dididik sebagai seorang anak biasa saja, tidak diistimewakan karena status sosialnya yang tinggi. Hendaknya anak-anak itu menyerap kebiasaan hidup sederhana dan penuh disiplin sebagaimana yang ada dalam kalangan orang-orang Belanda," tulis Roem.

Sultan juga tidak pernah menyediakan pelayan pribadi saat Drodjatun dan saudaranya tinggal jauh dari keraton. Semua kebutuhannya harus dirinya dapatkan secara mandiri, dibantu keluarga Mulder.

Oleh keluarga itu, Dorodjatun dipanggil Henkie (Hank yang kecil). Sejak kecil, Henkie sama seperti anak-anak lainnya, menyukai bermain bola, berkemah, pukul-pukulan, dan memasak.

Setelah menyelesaikan sekolah di HBS Bandung, Dorodjatun bersama kakaknya BRM Tinggarto, serta keluarga Hofland, berangkat menuju Holland. Awalnya, Dorodjatun dimasukan ke sekolah Gymnasium di Harleem. Dirinya tinggal di rumah keluarga Ir.W.C.G.H Mourik Broekmen, direktur sekolah tersebut.

Saat menjadi mahasiswa di sana, Ia aktif dalam berbagai kegiatan mahasiswa, bahkan pernah menjabat komisari di perkumpulan Minerva. Walau dekat dengan orang-orang Belanda, Dorodjatun tidak pernah kehilangan identitas sebagai orang Jawa.

Berpendidikan barat, berkebudayaan Jawa

"....Walaupun saya telah mengenyam pendidikan barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap orang Jawa"

Merupakan sepotong ucapan GRM Dorodjatun saat berpidato dalam penobatannya menjadi Sri Sultan HB IX di hadapan rakyat dan para pejabat Hinda-Belanda. Ucapan ini terbukti dalam sejarah, bagaimana sosok Sri Sultan HB IX dalam perjuangan kemerdekaan.

Dirinya mendukung penuh Kesultanan Yogyakarta untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang baru berdiri. Bahkan memberikan sumbangan uang kepada kas negara yang saat itu memang masih kosong.

Banyak pejabat Belanda yang cukup kaget dengan sikap Sultan HB IX, apalagi dirinya telah lama hidup dan menetap bersama orang-orang Eropa. Tapi bagi Sultan HB IX sikap ini merupakan pendidikan langsung yang diajarkan oleh ayahandanya.

Sejatinya, doktrin dan ajaran Sri Sultan HB VIII kepada putra-putranya sudah menjadi rahasia umum masyarakat Yogyakarta.

"Ini sebetulnya hasil pendidikan dari Sultan yang ke VIII. Banyak orang yang tidak tahu bahwa kuncinya ada di situ. Dikira Sultan VIII bergandengan dengan Belanda akan lebih mementingkan mereka. Ini mesti lebih ke Belanda. Bahkan saat terjadi tarik ulur kontrak politik dengan Belanda, mereka sampai berkata, 'andaikata ayahandamu masih ada tidak akan terjadi kayak begini," ujar RM Warsito, keponakan almarhum Sri Sultan HB IX, melansir Merdeka.com.

"Sri Sultan HB IX lalu menjawab, 'oh berarti anda selama ini tidak mengerti apa sesungguhnya maksud dari ayah saya itu'. Mereka terkaget-kaget juga tidak menduga jawaban itu," tambahnya.

Menurut RM Warsito, jauh hari sebelum Sri Sultan HB IX pergi ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan. Ayahnya telah mewanti-wanti agar putranya tetap berpegang teguh kepada kebudayaan Jawa. Pesan penting ini agar Sri Sultan HB IX tidak terbawa dengan sikap politik Belanda.

"Kamu akan hidup bersama mereka cukup lama nanti. Tapi pesan saya jangan sekali-kali kamu kepincut atau malah menikah dengan Belanda," paparnya.

Raja yang merakyat dan sederhana

RM Warsito juga masih mengingat cerita dari ayahandanya, GMRT Karto atau GPBH Prabuningrat yang mendampingi Sri Sultan HB IX selama bersekolah di Belanda. Saat itu, Sri Sultan banyak berpesan kepada GMRT Karto saat ingin melayani. Juga meminta agar pendampingnya itu tetap memberi saran, tidak hanya patuh atas pendapatnya.

"Sultan meminta agar saat memberikan konsep-konsep atau pertimbangan jangan hanya mengatakan,"monggo dawuh dalem" tapi berikan beliau alternatif banyak. Kemudian beliau akan memilih dan menambahkan wawasan." jelasnya.

"Beliau tidak suka jika menghadapi orang yang nuwun inggih. Biasanya khan orang yang senang mendikte tetapi beliau tidak," tambahnya.

Kesederhanaan inilah yang tetap Sultan bawa saat menjalani hidup-hidupnya menjadi pemimpin Kesultanan Yogyakarta. Sultan HB IX selalu mengendarai mobilnya sendiri termasuk memberikan tumpangan kepada orang. Ada sebuah kisah pada tahun 1946, saat sedang mengemudi Jeep dari Sleman menuju Jogja. Seorang wanita menyetop Sultan di pinggir jalan, mengatakan ingin ikut ke pasar Kranggan.

Sri Sultan menolong dan mengangkat daganganya ke atas mobilnya menuju pasar Kranggan, sampai tujuan dagangan itu diturunkan. Saat wanita itu ingin membayar ongkos, Sultan menolaknya kemudian langsung pergi. Sembari jengkel wanita itu pun diberi tahu oleh seseorang bahwa yang barusan menolongnya adalah Ngarsa Dalem. Wanita itu kemudian pingsan dan beritanya masuk dalam koran-koran.

Lalu pada lain kesempatan, Sultan yang sedang blusukan ke Kota Gede tiba-tiba menghentikan Land Rovernya lantas melangkah menuju pasar. Dihadapan seorang wanita penjual beras, Ia kemudian berhenti dan berjongkok sambil memegang butiran-butiran beras.

"Niki disade pinten Mbakyu Salitere?" ucap Sri Sultan menanyakan harga beras seliter.

Kemudian perempuan ini menjawab,"mirah kemawon kok mas", murah kok katanya.

Tiba-tiba ada seorang pedagang tua yang mengenal Sinuhun, lalu menegur wanita tersebut.

"Heh, aja wani-wani kuwi ngarsa dalem" (heh! Kamu berani-berani dengan Sri Paduka).

Setelah itu gegerlah pasar, kemudian semua orang berjongkok saat mengetahui ada raja di tempat tersebut, dikutip dari Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra: Dari RTM Boedi Oetomo Sampai Nirbaya.

Kisah kedekatan Sri Sultan HB IX dengan rakyat terbukti saat wafatnya beliau, 3 Oktober 1988. Saat itu perjalanan kereta jenazah beliau sering terhenti karena desakan masa yang melaut. Diiringi suara tangisan dan isakan menyuarakan nama beliau. Semakin berjalan lautan massa semakin menggila jumlahnya.

Mereka memadati bukan saja sisi jalan, tapi juga pohon, atap rumah, tembok, apapun tempat yang kosong. Inilah yang membuat Sultan yang hidup setia dan tanpa pamrih, dikenang oleh rakyatnya.

Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini