Misteri Kapten Jas yang Dikeramatkan di Museum Taman Prasasti

Misteri Kapten Jas yang Dikeramatkan di Museum Taman Prasasti
info gambar utama

Museum Taman Prasasti adalah sebuah cagar budaya peninggalan masa kolonial Belanda yang berada di Jalan Tanah Abang No. 1, Jakarta Pusat. Museum ini memiliki koleksi prasasti nisan kuno serta miniatur makam khas dari 27 provinsi di Indonesia, beserta koleksi kereta jenazah antik.

Dibangun sejak 1795, dulunya tempat ini merupakan pemakaman umum bernama Kebon Jahe Kober atau Kerkhoflaan yang memiliki arti pemakaman dekat dengan gereja. Kehadiran pemakaman di Tanah Abang tidak lepas dari tingginya angka kematian di Batavia pada akhir abad 18.

Lingkungan yang tidak sehat menjadi penyebabnya. Tidak main-main, angka kematian orang Eropa saat itu mencapai 25 persen.

"Kala itu konon di Batavia, tiap angin sepoi-sepoi basah berhembus membawa penyakit. Tidak ada seorang pun yang merasa heran, bila mendengar teman makan malam bersamanya, keesokan harinya sudah dimakamkan," ucap Alwi Shahab dalam bukunya Saudagar Baghdad dari Betawi.

Saat itu perusahaan bergerak cepat, mereka berencana membangun makam baru untuk orang Belanda. Tapi mereka tidak memilih lokasi di Oud Batavia (kota tua).

Temuan Arkeologi di Pulau Alor, Makam Anak Berusia 8 Ribu Tahun

Dikhawatirkan karena mereka yang berziarah berpotensi terjangkit penyakit kudis, malaria, kolera, dan disentri. Singkatnya, kawasan Tanah Abang di pinggir Batavia dipilih sebagai lokasi baru.

Mengutip Nirwono Yoga dan Yori Antar dalam buku Komedi Lenong: sindiran ruang terbuka hijau (2007), WV Halventius, putra mantan Gubernur Jenderal VOC, Jeremias van Rimsdijk (1775-1777), menyumbangkan 5,5 hektare tanah miliknya di Tanah Abang kepada pemerintah Kota Batavia.

"Lokasi makam memang jauh dari tembok Batavia, tapi letaknya strategis, yaitu di dekat Kali Krukut. Pada tahun 1798, VOC melarang penguburan di dalam dan di luar gereja di dalam kota dan di sekitar gereja Portugis di luar kota. Mulai tahun 1799, penduduk Batavia bisa membeli atau menyewa kuburan di Kerkhoflaan. Pemakaman resmi pertama adalah penguburan bayi tujuh bulan bernama Karel Pieter Mettenbrink,” tulisnya.

Keberadaan Kerkhoflaan ternyata cukup terkenal bagi mereka yang mengunjungi kota Batavia. Serdadu Belanda, H.C.C Clockener banyak menghabiskan waktu untuk mengelilingi tempat-tempat menarik di Batavia. Uniknya, Kerkhoflaan menjadi lokasi yang sempat dilaluinya di Batavia.

“Penerangan cukup baik disambungan Jalan Rijswijkstraat sampai di Tanah Abang. Jalan agak gelap oleh rimbunan pohon dan bercabang ke kanan yang disebut Kerkhoflaan, tempat pemakaman orang Eropa serta lapangan garnisun di belakangnya,” ungkap Clockener dalam buku Batavia Awal Abad 20 (2004).

Legenda Kapten Jas

Kisah Kapten Jas menjadi salah satu cerita rakyat yang menambah kepopuleran Kerkhoflaan. Makam Kapten Jas di Museum Taman Prasasti, Jakarta, ini dianggap keramat oleh masyarakat sejak zaman dulu.

Alwi mencatat, dulu makam Kapten Jas terletak di bawah pohon besar. Makam ini diziarahi bukan hanya dari masyarakat kristiani, tapi juga orang Islam.

"Menurut petugas (pemakaman) itu, ada seorang pekerja rumah sakit di Teluk Gong, Jakarta Barat datang berziarah hampir tiap minggu. Sekalipun orang itu hanya menderita flu biasa, tapi karena yakin kekeramatan Kapten Jas, ia berziarah ke kuburan itu," beber Alwi.

Menurut Alwi ada legenda yang membuat orang-orang sangat hormat kepada sosok legendaris di dalam makam ini. Padahal, Kapten Jas memang benar-benar legendaris alias sosok yang tidak pernah ada.

"Kapten Jas, menurut Dr FH de Haan dalam Oud Batavia, sesungguhnya tokoh legendaris yang tidak pernah ada," tulis Alwi Shahab.

Memang identitas Kapten Jas masih banyak diperdebatkan. Pertama menurut cerita H.D.H Bosboom, nama Jas berasal dari kata Jassen-Kerk, gereja yang saat ini menjadi Gereja Sion di Jl Jayakarta.

Bukti Cinta di Balik Kemegahan Mausoleum OG Khouw Petamburan

Sementara versi Bloys van Treslong Prins menyebut nama Jas berasal dari singkatan nama J(remi)as van Reimsdjik, kepala juru tulis VOC yang menjual tanah di belakang Gereja Sion untuk jadi pemakaman. Sedangkan de Haan menyebut masyarakat saat itu menyebut Kapten Jas sebagai 'orang tua jahat'.

"Pada 1828 cerita sudah beredar bahwa Kapten Jas adalah orang pertama yang dikuburkan di Tanah Abang (Kerkhoflaan)," tulis de Haan.

Menurut de Haan, akar dari rasa takut masyarakat kepada sosok Kapten Jas muncul karena hadirnya wabah penyakit mematikan. Tahun 1790 adalah tahunnya wabah di Batavia. Ada malaria, kolera, hingga leptospirosis yang mengambil banyak nyawa.

"Saat itu muncul ungkapan, 'Naar Kapiten Jas gaan (pergi ke Kapiten Jas)' yang artinya 'mati', Soalnya, Kapiten Jas adalah pemilik lahan kuburan," bebernya.

Makam tokoh besar

Di balik kisah misteri yang menyelimuti Museum Taman Prasasti, banyak tersimpan kisah-kisah tokoh besar yang disemayamkan di sini. Apalagi Kerkhoflaan merupakan salah satu permakaman modern tertua di dunia.

Kala itu, bila seorang warga Batavia meninggal dunia dan segera dikebumikan di Kerkhoflaan, tak jarang puluhan perahu dan sampan dimanfaatkan guna membawa usungan jenazah. Melewati kali krukut usungan jenazah pun berhenti di tepi kali yang kini bernama Jl. Abdul Muis.

Pengusungan jenazah dari tepi kali pun dijemput hangat kereta jenazah yang siap mengantar mendiang ke lokasi pemakaman berjarak sekitar 500 meter. Kebon Jahe Kober tumbuh menjadi makam yang prestisius.

Indonesia Graveyard, Komunitas yang Belajar Sejarah dari Kuburan

Tak jarang orang-orang terkenal baik pejabat penting, pelaku sejarah, sampai selebritis di masanya dikebumikan di sana. Olivia Marianne Rafles (1814), istri Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles, Dr. H.F. Roll (1867-1935), pencetus gagasan dan pendiri Stovia, Dr. J.L.A. Brandes (1857-1905), ahli sejarah purbakala Hindu Jawa di Indonesia, Miss Riboet alias MissTjitjih (1900-1965), tokoh panggung sandiwara rakyat legendaris.

Di tengah area Museum Taman Prasasti, juga terdapat sebuah terop yang di bawahnya terdapat dua coven atau peti mati berwarna cokelat. Kedua peti tersebut merupakan peninggalan dari presiden dan wapres pertama Indonesia, Soekarno dan Mohammad Hatta.

Dilansir dari laman Antara, kedua peti tersebut digunakan untuk mengangkut jenazah Soekarno dari RSPAD Gatot Soebroto menuju Wisma Yaso (kini dikenal sebagai Museum Satria Mandala), dan jenazah Bung Hatta menuju tempat peristirahatan terakhirnya di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

"Peti jenazah Soekarno inilah yang sering menjadi perhatian para pengunjung yang datang ke museum. Dulunya tempatnya sempit, jadi sekarang dipindahkan," ujar Satuan Pelayanan Museum Taman Prasasti, Andri Laksana.

Pada tahun 1975, Pemerintah DKI Jakarta memutuskan untuk menutup pemakaman Kebon Jahe Kober untuk pembangunan gedung perkantoran, inventarisasi, dan sosialisasi. Saat itu, Pemprov DKI Jakarta telah menggusur lahan pemakaman seluas 4,7 hektare untuk dijadikan gedung kantor Walikota Jakarta Pusat.

Sisa 1,2 hektar kuburan kemudian ditata ulang penempatan kuburannya. Juga dipulihkan. Puncaknya, Gubernur Ali Sadikin menjadikan Kerkhoflaan sebagai Museum Taman Prasasti pada Juli 1977.

Untuk mengurangi rasa kehilangan warga Jakarta atas penggusuran Kerkhoflaan, Gubernur Ali Sadikin menilai, mengubah sisa tanah kuburan menjadi museum adalah langkah yang tepat. Sebagai bentuk kehilangan, Ali menulis kalimat manis pada peresmian Museum Taman Prasasti:

“Di Taman ini, peristiwa sepanjang masa dilukis dari prasasti mereka yang pergi. Ini juga tertanam dalam kehijauan yang kita dambakan. Taman Prasasti Kebon Jahe."

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini