Mengikuti Perjalanan Raffles Menemukan Desa Emas di Minangkabau

Mengikuti Perjalanan Raffles Menemukan Desa Emas di Minangkabau
info gambar utama

Sejak ditempatkan di Penang oleh East India Company (EIC) Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826), mulai merasakan kecintaan terhadap kebudayaan Melayu yang menurutnya sedang mengalami kemerosotan karena pengaruh buruk monopoli Belanda.

Oleh sebab itulah Raffles berusaha keras mempertahankan pengaruh Inggris atas dunia Melayu. Puncak dari upayanya ini adalah pembentukan koloni Inggris di Singapura pada 1819, guna memastikan agar Inggris berperan besar di Selat Malaka.

Di samping itu, setahun sebelumnya, Raffles menempuh langkah penuh semangat yang belum pernah pernah ada di Sumatra, yakni ekspedisi ke dataran tinggi Minangkabau. Bersama Lady Raffles, disertai seorang naturalis bernama Thomas Horsfield dan serombongan staf.

Raffles berlayar meninggalkan Bengkulu menuju Padang pada awal Juli 1818. Catatan perjalanan ini dikirimkan Raffles kepada Duchess of Somerset, dalam sepucuk surat panjang pada September 1818.

Di Padang mereka langsung menemukan 200 kuli angkut yang bersedia ikut dalam rombongan, dan pada Juli 1818 mereka dari Padang ke daerah pedalaman dengan berjalan kaki dalam rombongan besar, termasuk di dalamnya 50 serdadu Inggris.

Kampung Baru menjadi tempat pertama rombongan Raffles beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Limau Manih. 17 Juli 1818, Raffles dan rombongan pada jam 7 pagi memulai perjalanan menuju Limau Manih.

Setengah jam kemudian, rombongan sampai di sana dengan terpukau akan keindahan alam 400 kaki di atas permukaan laut. Hingga Raffles pun menuliskan keinginannya ingin tetap menguasai Padang.

Kira-kira Ini Alasan Orang Filipina Mirip Orang Indonesia

Raffles menggambarkan Limau Manih sebagai negeri luas, terbentang perkebunan dengan sungai yang mengalir deras berhulu di Ujung Karang (Ulak Karang, Padang). Rumah-rumah desa ini selalu bersebelahan dengan pohon yang gunanya menaungi tumbuhan kopi mereka.

“Pada saat kedatangan kami di Limau Manih disambut oleh pukulan drum besar yang selalu ada di setiap desa-desa besar. Gendang ini terbentuk dari batang pohon besar yang panjangnya 20 kaki dan dilubangi satu sisinya dan satu sisinya lagi di tutup dengan perkamen, selanjutnya digantung pada bingkai kayu yang diletakkan merebah/horizontal di bawah satu atap.” Demikian dia menggambarkan yang dilansir dari buku Sumatera Tempo Doeloe karya Anthony Reid.

Kemudian rombongan turun ke bawah menuju pusat dari Nagari Solok Salayo, Kubuang Tigo Baleh dan berkumpul di suatu rumah yang dikira merupakan milik kepala nagari di daerah Salayo ini. Raffles dan para kepala nagari ini saling memperkenalkan diri dan dia memberi tahu maksud kedatangannya.

"....Hingga akhirnya mereka mengatakan bahwa Belanda tidak boleh datang lagi ke Padang. Untuk menegaskan pernyataan tersebut, pemimpin yang dianggap memiliki kedudukan tertinggi menghujamkan tombaknya ke tanah dan berseru keras," jelas Raffles.

Raffles menjelaskan setelah berakhirnya perundingan, para pemimpin utama nagari langsung menandatangani perjanjian dengan Kerajaan Inggris. Terjemahan surat itu lalu dirinya kirimkan kepada Raja Inggris sebagai dokumen penting.

"...Masing-masing pemimpin dihadiahi selembar kain wol Inggris, tiga tembakan senapan lontak secara serentak. Dan bunyi gendang serta suling terdengar memainkan lagu God Save the King. Mereka kemudian mengawal kami pulang dalam iring-iringan yang paling menggelikan yang bisa dibayangkan," bebernya.

Menemukan desa emas Pagaruyung

Perjalanan rombongan Raffles menemukan banyak hal menarik yang bisa kita pelajari. Raffles menyatakan bahwa daerah itu selalu terkenal dengan hasil emasnya, bahkan bagi orang Eropa desa itu dikenal sebagai desa emas.

"...Desa Tiga Blas (Luhak Kubuang Tigo Baleh) selalu dikenal dengan hasil emasnya, bahkan bagi orang Eropa desa tersebut dikenal sebagai desa emas. Desa ini juga memiliki kebiasaan bercocok tanam tingkat tinggi, lebih daripada yang saya duga," jelasnya.

Memang kebanyakan masyarakat Kubuang Tigo Baleh adalah petani dan sebagian adalah peladang. Wajar saja hingga masa kini pun Solok dijuluki negeri penghasil beras yang ternama.

Pada setiap tanah yang melandai, mereka menanami kopi, indigo, jagung, tebu, dan tanaman penghasil minyak. Di tanah yang mendatar bisa dibilang merata sudah diolah menjadi sawah-sawah nan luas yang dibajak oleh kerbau-kerbau.

Sementara itu, Raffles tidak berhasil menemukan tambang emas di wilayah tersebut. Dirinya baru berhasil menemukannya di luar perbatasan terdekat dengan Luhak Kubuang Tigo Baleh.

"...Beberapa tambang berjarak sekitar dua atau tiga hari perjalanan, yang lainnya berjarak sekitar 10 atau 12 hari perjalanan ke arah tenggara. Tambang-tambang utama adalah tambang yang ada di Sungai Pagi dan Sungai Abu yang terletak di balik Gunung Talang," tulisnya.

Diperkirakan hingga tahun 1818 di kawasan tersebut ada 1200 lokasi tambang emas yang sudah dieksploitasi. Tambang-tambang itu tersebar dari Danau Singkarak hingga Pesisir Selatan, sehingga wajar jika muncul wacana bahwa Pagaruyung banyak mempunyai harta emas.

Jauh dari Nagari, Rumah Gadang Ini Berdiri Megah di Kawasan Metropolitan

Pertanian di kawasan itu juga lebih maju dari yang banyak diduga, di sana sudah dikenal persawahan dan sistem ladang berpindah sudah ditinggalkan. Selain itu dirinya juga terpesona dengan penemuan kincir air yang kokoh untuk mengairi sawah-sawah di dekatnya, menurutnya kincir itu terbuat dari bambu.

Bagi Raffles kincir air sangat lazim digunakan di Minangkabau dan dianggap sebagai kemajuan teknologi pertanian yang bahkan belum dicapai di Jawa. Selain itu dirinya menyakini teknologi itu merupakan hasil karya masyarakat setempat, karena minimnya interaksi mereka dengan dunia luar.

"...Mengingat bangsa Eropa dan Cina belum pernah menginjakkan kaki di tanah Minangkabau, dan selama berabad-abad penduduk pribumi Minangkabau hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang lain, kincir air itu bisa dianggap sebagai penemuan asli pribumi setempat," tegasnya.

Industri manufaktur Minangkabau juga sudah maju, sejak dahulu daerah ini terkenal dengan produksi kerisnya. Produksi besi tempa sudah ada sejak zaman dahulu kala.

Industri tembikar berskala besar yang terdapat di sepanjang tepi danau tidak hanya memenuhi kebutuhan daerah Padang, tetapi juga dikirim hingga Bengkulu. Mesin-mesin pemintal banyak dijumpai Raffles di rumah-rumah penduduk di daerah yang dia singgahi.

"Di bagian belakang terdapat beberapa kamar kecil; kami melihat mesin-mesin pemintal serta barang-barang milik perempuan di dalam kamar-kamar itu," ucapnya.

Kekaguman akan Kota Pagaruyung

Selepas daerah Suruaso rombongan Raffles menjumpai beberapa kolam kecil, menurut cerita di sekitar lokasi itu dulunya banyak bangunan tua yang terkubur. Satu-satunya ditemukan adalah semacam arca yang terdapat di dalam empat batu yang tidak diragukan lagi adalah gerbang masuk kota pada masa lalu.

Memasuki Kota Pagaruyung rombongan menemukan lokasi yang dahulunya merupakan tempat berdirinya istana. Di tengah reruntuhan, ditemukan batu datar besar tempat Sultan Pagaruyung duduk menghadiri upacara. Saat rerumputan liar disingkirkan ditemukanlah istana yang terkubur.

"Ketika mendekati Pagaruyung, kami melihat pemandangan indah dari situasi kota yang pernah menjadi kota masyhur ini," bebernya.

Pagaruyung memang dibangun di kaki bukit, dan separuh lagi dibangun di Lereng bukit yang curam dan terjal, disebut Gunung Bungsu. Menurut Raffles bukit tersebut sangat luar biasa karena tampilannya serta tiga puncak yang dimilikinya.

Minang, Masyarakat dengan Penganut Matrilineal Terbesar di Dunia

"Di bawah Kota Pagaruyung, tepatnya di bawah jurang sedalam 50-100 kaki, mengalirnya Sungai Selo yang indah dalam aliran berkelok-kelok, melewati Suruaso, dari sanalah nama Sungai Emas berasal dan akhirnya bermuara di Sungai Indragiri," bebernya.

Raffles juga menyatakan kekagumannya pada pemandangan kota yang membentang dari arah utara dan barat. Menurutnya sepanjang mata memandang, seluruh negeri ini adalah lahan pertanian tanpa akhir.

"Saya berani mengatakan bahwa pemandangan ini mampu menyaingi segala keindahan yang pernah saya liat di Jawa," tegasnya.

Di sini juga ditemukan arca peninggalan Islam zaman dahulu untuk mengenang mereka yang sudah meninggal. Di persinggahan berikutnya Raffles menemukan dua prasasti, arca-arca Hindu mirip yang ditemukan di Jawa.

Di Simawang, Raffles menemukan prasasti dalam huruf Kawi ketika mengumpulkan sampel mineral di tepi danau. Sayangnya tulisan di prasasti itu hampir pudar karena terus-menerus dikikis air kucuran danau.

Hal menarik untuk dicatat terkait dengan mitigasi bencana, nampaknya kerajaan Pagaruyung lekat dengan kisah air bah tsunami. Di Solaya terdapat kompleks pemakaman yang bentuknya unik, kebanyakan makamnya berlantai panggung.

Raffles juga menyatakan kekaguman pada rumah yang dia singgahi di kaki bukit Simawang. Rumah itu konstruksinya sangat kokoh, ditopang tiga kayu kokoh bak tiang kapal.

Dinding di bawah atap berbentuk segitiga dibangun menjulang ke atas dalam beberapa lapis menyerupai buritan kapal. Ujung balai yang atapnya menjulang ke atas dalam beberapa lapisan layaknya.

Hal inilah yang membuatnya yakin Minangkabau akan menjadi pusat politik yang penting pada zaman itu. Terutama setelah adanya pengakuan beberapa daerah Sumatra akan kedaulatan Minangkabau.

"Sungai-sungai yang bermuara ke bagian timur Kepulauan Nusantara akan sekali lagi menjadi jalan utama untuk masuk dan keluar pusat ibukota; dan di bawah pengaruh Kerajaan Inggris, Sumatra dapat kembali bangkit menjadi kekuatan politik penting," pungkasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini