Bau Sangit Pendana Industri Batu Bara, Haruskah Terus Dibiarkan?

Bau Sangit Pendana Industri Batu Bara, Haruskah Terus Dibiarkan?
info gambar utama

Tak sedikitpun saya membayangkan jika harus kehilangan anggota keluarga akibat dampak kerusakan lingkungan. Tenggelam di kolam bekas tambang atau menghirup udara kotor, misalnya.

Seperti saat ini saya tak membayangkan apa yang dirasakan keluarga Febi Abdi Witanto (25), korban yang tenggelam di kolam bekas tambang batu bara di Kelurahan Makroman, Kecamatan Sambutan, Kota Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim), akhir Oktober lalu.

Menukil kabar yang diwartakan Kompas.com (1/11/2021), saat kejadian korban memang tak sendiri, melainkan bersama empat rekannya di lokasi. Ironisnya, keempat rekannya tak bisa menolong karena korban telanjur tenggelam.

Kelima pemuda--termasuk korban--adalah warga setempat yang lokasi tempat tinggal mereka tak jauh dari lokasi kolam tambang batu bara.

Ini merupakan rentetan kejadian serupa pada 2019 lalu. Seolah menjadi momok bagi masyarakat sekitar, gema dari kejadian-kejadian tersebut seperti tak pernah digubris oleh para perusahaan tambang.

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang, mengatakan bahwa lubang bekas galian tambang batubara tersebut tak direklamasi yang kemudian tergenang air hingga nampak bak telaga.

Jatam juga mencatat, hingga saat ini di Kaltim masih ada 1.735 lubang bekas tambang tanpa direklamasi dan dipulihkan. Jatam menilai, lubang-lubang itu adalah bom waktu yang harus mendapatkan perhatian dan tindakan serius dari pemerintah.

Dari deretan kejadian tersebut, Jatam menghitung bahwa sejak 2011 hingga 2021 sekira 40 orang meregang nyawa akibat bekas lubang tambang di wilayah Kaltim. Miris!

Lantas pertanyaannya, apakah ini harus terus dibiarkan?

kolam bekas tambang batu bara
info gambar

Anda—terutama anak muda--mungkin akan tercengang jika dianggap turut andil dalam aktivitas tambang batu bara yang kian meresahkan dan memakan korban jiwa.

Kok bisa? Iya, karena uang yang Anda tabung atau depositokan, dipergunakan oleh bank untuk membiayai para perusahaan-perusahaan tambang batu bara tersebut.

Artikel ini akan memaparkan bagaimana bisa pihak bank yang kita percaya mengelola keuangan kita selama ini, jelas-jelas memutar uang-uang itu untuk membiayai perusahaan-perusahaan tambang batu bara yang meluluhlantakkan ekosistem dan lingkungan hidup.

COP26, Kegagalan Negara Maju Penuhi Kesepakatan dan Dilema Berakhirnya Era Batu Bara

Angka pendanaan yang bukan ‘kaleng-kaleng’

Dalam acara ''Bincang Alam'' yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan 350.org, Kamis (11/11/21), Indonesia Team Leader 350.org, Sisilia Nurmala Dewi, mengatakan bahwa uang memiliki kekuatan untuk membentuk diri, dalam konteks yang lebih luas lagi juga bisa menentukan masa depan bumi.

Sosok yang pernah menjabat sebagai Coordinator of Climate Forestry Cluster HuMa (2012-2016) itu juga mengatakan, dampak dari kenaikan suhu bumi saat ini akibat perubahan iklim--sekira 1,1 derajat celsius—bakal berdampak pada frekuensi bencana cukup sering dengan durasi lebih panjang.

bincang alam mongabay
info gambar

Salah satu penyebab perubahan iklim itu adalah eksplorasi energi fosil, baik itu dari minyak bumi (untuk kendaraan/industri) atau batu bara (untuk energi/listrik), yang berpotensi merusak lingkungan, baik darat, laut, maupun udara.

Dalam temuan data-data yang dirangkum 350.org, dijelaskan, sejak perjanjian Paris (Paris Agreement) tentang perubahan iklim pada 2015, ada 33 bank papan atas dunia yang menggelontorkan dana segar dengan total 1,9 triliun dolar AS ke industri energi fosil.

Dari angka itu, sekitar 600 miliar dolar AS mengalir deras ke 100 perusahaan yang masih melakukan eksplorasi energi fosil.

Di Indonesia, cuan Rp89 triliun disetor enam bank nasional ke para pelaku industri energi fosil dalam kurun 2018-2020. Keenam bank nasional ini antara lain, Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN, dan Indonesia Eximbank. Demikian data dari Lembaga riset Urgewald yang berbasis di Jerman.

AH Maftuchan, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Koordinator Responsi Bank, menyebut, enam bank nasional itu memberi pendanaan kepada perusahaan tambang batubara dan Perusahaan Listrik Negara (PLN)--yang juga menggunakan batubara sebagai bahan bakar listrik.

bank pendonor batubara
info gambar
Negara Penghasil Batu Bara Terbesar di Dunia

Peta jalan keuangan berkelanjutan

Cerita di atas tadi boleh jadi ironis, mengingat pada 5 Desember 2014, OJK merilis peta jalan (roadmap) keuangan berkelanjutan. Di roadmap itu ada langkah strategis dan sistematis mengarahkan sektor jasa keuangan agar berperan aktif dan berkontribusi positif dalam proses pembangunan berkelanjutan yang bertumpu pada 3P (profit, people, dan planet).

Peta jalan ini juga bertujuan menjabarkan kondisi yang ingin dicapai terkait keuangan berkelanjutan di Indonesia dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang (2015-2025).

Secara umum, seperti dijelaskan dalam laman Otoritas Jasa keuangan (OJK), definisi keuangan berkelanjutan adalah dukungan menyeluruh dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara tata kelola ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.

OJK juga mengembangkan ekosistem keuangan berkelanjutan yang meliputi kebijakan, produk, infrastruktur pasar, koordinasi kementerian/lembaga, dukungan non pemerintah (LSM/NGO), sumber daya manusia, dan kepedulian masyarakat (awareness).

Adapun strategi roadmap keuangan berkelanjutan (RKB) bakal melalui dua tahapan, yakni, RKB tahap I (2015-2019) untuk program jangka pendek dan menengah, kemudian RKB tahap II (2021-2025) untuk jangka panjang.

RKB tahap 1
info gambar

RKB tahap pertama, akan fokus pada peletakan kerangka dasar pengaturan dan sistem pelaporan, peningkatan pemahaman, pengetahuan serta kompetensi sumber daya manusia pelaku IJK, pemberian insentif, dan koordinasi dengan instansi terkait.

Kemudian RKB tahap II, fokus pada integrasi manajemen risiko, tata kelola perusahaan, penilaian tingkat kesehatan bank, dan pembangunan sistem informasi terpadu keuangan berkelanjutan.

RKB tahap II juga diharapkan dapat menjadi landasan bagi sektor jasa keuangan dan rujukan untuk kementerian/lembaga terkait dalam mengembangkan inisiatif-inisiatif pembiayaan inovatif.

''Mengubah pola pikir bisnis konvensional menjadi bisnis berkelanjutan harus didasari oleh kepemimpinan dan semangat untuk segera bersiap menghadapi perubahan arah pengembangan sektor jasa keuangan ke depan, yaitu perkembangan teknologi dan bisnis berkelanjutan,'' kata Wimboh Santoso, Ketua Dewan Komisioner OJK.

RKB tahap 2
info gambar

Penyusunan RKB tahap II nampaknya juga makin matang karena melibatkan tim Sustainable Finance Departemen Internasional dan tim Lintas Sektor Sustainable Finance OJK, yakni:

  • Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),
  • Kementerian Keuangan (Kemenkeu),
  • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),
  • Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
  • Kemenko Perekonomian,
  • Kemenko Maritim dan Investasi (Kemenkomarves),
  • Kementerian Perindustrian (Kemenperin),
  • Bank Indonesia,
  • International Finance Corporation (IFC) World Bank,
  • United States Agency for International Development (USAID), dan
  • WWF Indonesia.
prinsip keuangan berkelanjutan
info gambar

Secara umum, RKB tahap I dan II ini menghasilkan prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan, yang di antaranya adalah:

  • Investasi yang bertanggung jawab,
  • Pengelolaan risiko sosial dan lingkungan hidup,
  • Strategi dan praktik bisnis berkelanjutan,
  • Tata kelola,
  • Koordinasi dan kolaborasi.

Perihal RKB yang merentang sepanjang satu dekade itu, boleh jadi baik dari sisi perencanaan pengambil kebijakan dan pelaku industri jasa keuangan. Namun, hal itu dilihat dari sisi berbeda oleh Sutanandika, pegiat lingkungan Pejuang Waktu, wilayah Bogor.

Sutan--sapaan akrabnya—yang juga berprofesi sebagai guru itu belum melihat RKB itu akan memberikan punishment kepada bank-bank yang abai atau ingkar pada aturan main atau perencanaan yang dipaparkan di sana.

''Jika bicara soal green banking, kita mengacu pada aturan yang konsisten atau tidak. Siapa yang mengawas? OJK. Nah, jika ada bank yang tak taat, seperti apa hukumannya? Apakah konsep ini sudah sampai ke telinga publik secara utuh atau tidak?'' tanyanya, saat saya menemui di Caringin, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (27/11).

sutanandika
info gambar

Konsep green banking juga dipapar Perkumpulan Prakarsa melalui paper Responsi Bank Indonesia. Di sana tertulis, konsep green economy seharusnya mendorong setiap kegiatan ekonomi meminimalkan dampaknya bagi lingkungan. Hal itu bisa diadopsi sektor perbankan melalui konsep green banking.

Dalam green banking, pihak perbankan memprioritaskan pemenuhan keuangan berkelanjutan dalam penyaluran kredit dan kegiatan operasionalnya.

Meski sektor perbankan tidak secara langsung sebagai penyumbang pencemaran lingkungan yang tinggi, namun sektor ini tidak sekonyong-konyong bisa lepas dari persoalan meningkatnya degradasi lingkungan hidup.

Contohnya, dengan memberikan pinjaman atau pembiayaan kepada nasabah, bank dapat menjadi pemicu bagi kegiatan--para peminjam tadi--yang bisa saja berdampak pada lingkungan.

Disebut juga, sebelum OJK berdiri, Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.

Melalui aturan itu, BI mendorong perbankan nasional untuk mempertimbangkan faktor kelayakan lingkungan dalam melakukan penilaian suatu prospek usaha.

Aturan ini, merupakan tongkat estafet yang ditangkap BI atas penetapan Undang-undang No. 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah No. 27/2012 tentang Izin Lingkungan. Juga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5/2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Amdal).

Jadi, sebetulnya sektor perbankan telah 'dipagari' melalui berbagai aturan.

posisi pinjaman bang terhadap lapangan usaha
info gambar

Sedikit menarik garis mundur pada periode 2006-2013, kalau melihat posisi pinjaman investasi yang diberikan bank umum dan BPR berdasarkan lapangan usaha, sektor pertambangan dan penggalian memang berada pada posisi ke-8, namun dengan porsi pinjaman yang terus meningkat. Demikian catat OJK dan BI.

Siapa Sangka! Indonesia Menjadi Salah Satu Negara Penghasil Batu Bara Terbesar di Dunia

Tarik-ulur keuangan berkelanjutan oleh bank

Eksploitasi batu bara kian disorot karena merupakan salah satu aktivitas yang menghasilkan pencemaran lingkungan. Mulai banyak investor global enggan membiayai proyek batu bara karena daya rusak terhadap lingkungan masif dan jadi biang kerok kenaikan temperatur bumi dan penyebab perubahan iklim.

Di beberapa negara, sebut saja China, Korea, dan Jepang, sudah menyatakan akan berhenti mendanai perusahaan batubara di Indonesia. Untuk yang satu ini, boleh dibilang pertanda baik.

Bahkan dalam satu kesempatan, CEO Adaro, Dharma Djojonegoro, katakan, saat ini sudah sulit sekali mendapatkan pinjaman dari bank-bank di luar negeri, seperti dari Eropa dan Jepang.

Perbankan di Jepang, Uni Eropa, dan AS, mulai mengalihkan pembiayaan ke energi terbarukan, sejalan dengan energi ini sudah lebih murah dan ramah lingkungan.

Sisilia pun menilai, pada dasarnya sektor pertambangan batubara maupun energi fosil acapkali mendapatkan posisi yang labil, hanya saja mereka kemudian ditopang oleh pilar-pilar penyokong, seperti dukungan pinjaman keuangan dari sektor perbankan, atau kurang aware-nya sebagian masyarakat terhadap isu lingkungan.

Buktinya, hingga kuartal III (Q3) 2019, sekira ada 15 bank di Indonesia masih menjadi pendana pembangunan PLTU batubara. Bahkan tiga di antaranya bank pelat merah, yakni, Bank Mandiri, BRI, dan BNI.

Padahal pada Mei 2018, ada delapan bank di Indonesia berkomitmen membentuk inisiatif keuangan berkelanjutan (IKBI), salah satunya BNI (Kontan, 21/5/2018).

bank pemerintah pendonor batubara
info gambar

Lagi-lagi, komitmen sektor perbankan untuk mendukung keuangan berkelanjutan yang telah dicanangkan OJK masih jauh dari harapan.

Meski begitu, tentu masih ada beberapa bank yang terus berupaya untuk menjalankan komitmen transisi keuangan berkelanjutan. Contohnya, pada November 2019 IKBI menerima lima bank baru yang mendukung inisiatif tersebut.

Kelima anggota baru tersebut adalah Bank CIMB Niaga, OCBC NISP, Maybank Indonesia, Bank HSBC Indonesia, dan Bank Mandiri Syariah. Dengan demikian 13 anggota IKBI saat itu mewakili 60 persen aset perbankan nasional.

''Bank mandiri akan lebih selektif dan hati-hati dalam mengabulkan permintaan pinjaman,'' janji Dirut Bank Mandiri, Darmawan Junaidi, dalam laporan keberlanjutan 2020.

Pendek kata, Bank Mandiri mau bilang bahwa pihaknya memiliki kebijakan untuk menghindari pemberian kredit untuk proyek atau usaha yang jelas-jelas membahayakan lingkungan. Nah, ini yang perlu kita dorong agar lebih konsisten.

Tapi tentu ada sedikit pertanyaan, mengapa pihak bank masih inkonsisten dalam melakukan atau menjalankan RKB yang digagas OJK.

Merujuk paparan Sisilia, disebut bahwa pihak bank masih senantiasa merasa jika mereka harus terus mengikuti pasar. Padahal jika dicermati, bank punya kekuatan penuh untuk mengatur arah pasar.

Hal lainnya, pihak perbankan masih menganggap isu lingkungan belum sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka. Padahal, dengan kekuatan finansial yang mumpuni, industri perbankan bisa menciptakan masa depan yang lebih baik, bahkan mampu menentukan masa depan bumi, jika mau!

Sementara 'silat lidah' lainnya, para bank acapkali mengklaim bahwa mereka rutin menggelontorkan dana hijau. Namun para pengamat menilai, dana hijau yang disalurkan masih cukup kecil dan lemah.

''Kita mau ada transisi yang berkeadilan. Bank dan institusi keuangan bisa menjadi katalis yang powerful untuk misi itu,'' tegas Sisilia.

Kita semua tentu berharap sektor perbankan berhenti mendanai perusahaan energi kotor dan mengalihkannya ke energi yang bersih. Saatnya kita menuntut bank untuk lebih bertanggung jawab pada masa depan yang lebih baik.

Lalu, bagaimana caranya?

Menjawab pertanyaan tersebut, Sisilia meyakinkan bahwa kita sebagai nasabah punya power yang besar, dan bank peduli dengan kemauan nasabah, karena selain mengelola uang, mereka juga membutuhkan kepercayaan kita.

Hal lain yang bisa kita lakukan adalah dengan mengikuti proses-proses Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dan pastikan bank tidak lagi mendukung perusahaan industri energi fosil.

Harus diakui, saat ini sulit mencari bank yang cukup bersih, dan kita dituntut bekerja lebih keras lagi guna mendorong bank bisa champion untuk kampanye lingkungan ini.

Mahasiswa dan para generasi muda tentu punya kekuatan untuk menggalang kekuatan. Karena jangan lupa, demografi Indonesia saat ini didominasi oleh anak-anak muda yang kritis dan mau berjuang untuk masa depan bumi.

Tapi tunggu dulu, coba kita cermati pernyataan Sutan terkait pertanyaan di atas tadi.

''Memang betul kita sebagai nasabah dan anak-anak muda bisa menggalang kekuatan, setidaknya memantau pihak bank. Tapi jangan lupa, di industri perbankan ada yang namanya nasabah prioritas, dan kebanyakan nasabah prioritas itu datang dari kalangan pengusaha. Bisa saja para pengusaha tambang itu, kan?'' tandasnya.

''...jadi sebetulnya yang harus dikuatkan adalah literasi kepada masyarakat agar lebih aware dengan isu ini. Selain mendorong pihak bank untuk melakukan divestasi, kita juga harus militan mendorong OJK selaku stakeholder untuk mengawasi aktivitas keuangan perbankan yang masih menggelontorkan dana untuk energi fosil.''

Nah, dari sini saja kita sudah bisa terka 'medan perangnya' seperti apa. Kita punya pekerjaan rumah yang cukup berat, kawan.

Warisan Budaya Dunia; Tambang Batu Bara Ombilin di Sawahlunto

Catatan:

Artikel di atas merupakan kerja sama antara Mongabay Indonesia, 350.org, dan GNFI dalam program fellowship.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Mustafa Iman lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Mustafa Iman.

Terima kasih telah membaca sampai di sini