Kisah John Lie, Hantu Selat Malaka yang Kerap Lolos dari Kepungan Belanda

Kisah John Lie, Hantu Selat Malaka yang Kerap Lolos dari Kepungan Belanda
info gambar utama

Pejuang Kemerdekaan Indonesia sekaligus seorang Kristen yang shaleh, itulah sosok Laksamana Muda John Lie alias Jahja Daniel Dharma. Dirinya lahir di Manado pada 9 Maret 1911.

Lie menempuh pendidikan dasar di Hollandsch Chineesche School (HCS) dan Christelijke Lagere School. Dirinya lalu pindah ke Batavia untuk mewujudkan mimpinya sebagai pelaut.

Dirinya mengawali karier maritim di tahun 1929, ketika itu Lie masih berusia 18 tahun yang bergabung sebagai kelasi dek di maskapai pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij (Perusahaan Pelayaran Kerajaan Belanda).

Pekerjaan inilah yang membawa Lie bisa berkeliling dunia, mulai dari Asia Tenggara, Timur Jauh, hingga Benua Afrika. Tetapi dari sinilah, dia melihat adanya ketimpangan yang terjadi terhadap golongan kulit berwarna di geladak kapal.

Ketika Perang Dunia II, Lie pernah ditugaskan sebagai Stuurman Klein Vaart di MV Tosari, kapal logistik Sekutu. Kapal Tosari yang berlayar dari Cilacap dan mengangkut 400 ton karet semula hendak pergi ke Australia, namun kemudian menjelajah banyak kota, mulai dari Colombo, Bombay, Persia, hingga Calcutta.

Semasa di Teluk Persia, Lie bersama teman-teman pelaut asal Indonesia mendengar kekalahan Jepang setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki tanggal 6 dan 9 Agustus 1945.

Bertambah Lagi Armada AL Indonesia

Para pelaut Indonesia berkeinginan agar segera bisa pulang untuk berbakti kepada tanah air. Namun mereka harus sabar untuk mendapatkan kepastian.

"Lie dan teman-temanya berusaha menimba ilmu sebanyak mungkin dari Royal Navy dan tidak membuat pihak sekutu curiga," tulis Iwan Santosa dalam buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara Sampai Indonesia.

Ketika singgah di Singapura, Lie memanfaatkan waktu untuk mempelajari sistem pembersihan ranjau laut oleh Royal Navy di Pelabuhan Singapura. Dia juga mulai memperhatikan strategi perang geriliya laut di Selat Malaka.

Akhirnya pada bulan Mei 1946, dia berkomunikasi dengan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan pimpinan Palang Merah Indonesia, A.A. Maramis. Lie lalu bergabung sebagai Kelasi III Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) berkat bantuan dari teman lamanya, Willy Soemantie.

Misi-misi penyelundupan Hantu Selat Malaka

Pada September 1947, Kepala Urusan Pertahanan di Luar Negeri membeli sejumlah kapal cepat. Lie kemudian ditunjuk untuk memimpin kapal cepat bernama The Outlaw dan melakukan operasi rute Singapura-Labuan Bilik dan Port Swettenham.

Dari sinilah cerita legendaris seorang Lie yang berhasil menyelundupkan senjata dan lolos dari kepungan Belanda terjadi. Ketika itu dirinya sedang membawa perlengkapan militer berupa senjata semi otomatis, ribuan butir peluru dan perbekalan dari salah satu pulau di Selat Johor ke Sumatra.

Namun terlihat beberapa pesawat Belanda sedang terbang rendah, ketika kapalnya berada di Labuan Bilik. Terlihat kapal mengarahkan senjata agar kapal segera meninggalkan pelabuhan.

Memang saat itu Lie menolak karena beralasan kapal sedang kandas dan tidak bisa ke mana-mana. Tetapi tiba-tiba setelah memutar dan menukik, pesawat Belanda justru meninggalkan kapal tersebut.

Ternyata baru diketahui pesawat tersebut pergi karena kehabisan bahan bakar. Misi pertama Lie pun sukses, setelah itu dia menyerahkan muatan senjata dan amunisi kepada pejuang setempat.

Karena keberhasilan tersebut, menjadi tonggak awal Lie dipercaya dalam misi-misi penyelundupan untuk Indonesia. Barang-barang yang diselundupkan The Outlaw pun beragam, mulai dari senjata api, pesawat pengangkut, alat transportasi, obat-obatan, dan sebagainya.

Lie juga pernah berlayar kembali ke Aceh, ketika memasuki Delta Tamiang, kapal Belanda menghadang. Secara membabibuta kapal perang Belanda menembakkan meriam ke badan The Outlaw.

Militer Indonesia yang Terkuat di Asia Tenggara

Tetapi kembali keajaiban terjadi, tiba-tiba kapal Belanda mengalami kandas di karang sehingga tidak bisa bergerak lagi. Hal ini membuat Lie bisa membawa kapalnya untuk bersembunyi di Delta Tamiang.

Walau berhasil lolos dari sergapan kapal Belanda, tetapi masih ada armada udara penjajah. Ajaibnya para juru tembak hanya berputar-putar di atas Delta Tamiang, seakan tidak melihat ada kapal di bawahnya.

Ketika ingin kembali ke arah Penang, saat sedikit lagi memasuki Selat Malaka. Kapal mereka dilintasi oleh sebuah kapal tanker milik Belanda yang memberi tahu posisi kepada polisi militer Belanda.

Di sinilah mereka dihadang oleh polisi militer Belanda dan meminta agar segera menyerah. Akan tetapi cuaca buruk tiba-tiba saja melanda perairan. Hujan turun dengan sangat deras disertai kabut yang menyelimuti permukaan laut.

Gelombang laut tiba-tiba mulai berkecamuk. Kapal tanker Belanda pun tidak lagi bisa mengejar The Outlaw dengan cuaca yang demikian.

Radio BBC di London menyaksikan perjalanan mencekam Phuket-Aceh. Seorang penyiar menyebut, The Outlaw dengan segala pengalamannya lolos dari sergapan kapal Belanda adalah kejadian di luar nalar.

Pahlawan yang terabadikan dalam sebuah kapal

Majalah Life edisi 26 bulan September 1949, pernah mengulas sosok Lie. Ketika itu penulisnya bernama Roy Rowan menceritakan sosok Lie sebagai seorang Kristen yang taat.

Rowan menceritakan ada dua Alkitab di kabin Kapten John Lie, ruang kemudi kapal dipenuhi kutipan ayat-ayat Alkitab. Foto juga menampilkan sosok Lie menyandang Injil di tangan kanan, dan di sebelah kanannya terdapat kutipan Al Kitab dalam Bahasa Inggris.

"Come to me all, ye the labour and are heavy laden and I will give you rest" (Datanglah pada-Ku hei kamu yang letih dan berbeban berat, Aku akan memberi kamu istirahat)

Masa keemasan penyelundupan senjata yang dilakukan oleh Lie tercatat pada akhir tahun 1947. Dengan nilai komoditas mencapai 3 juta dolar per bulan dari senapan mesin hingga pesawat angkut.

Meski sejak 15 Agustus 1949 pemerintah RI dan Kerajaan Belanda melakukan gencatan senjata. Tetapi Wakil Presiden Mohammad Hatta menyatakan pasokan senjata bagi Republik Indonesia tidak akan pernah berhenti.

Tokoh sentral dari semua penyelundupan senjata untuk Republik Indonesia ini adalah Lie. Bahkan Laksamana Pertama (Purn) Tarmizi Taher yang kelak menjadi Menteri Agama di zaman Presiden Soeharto menyebut tanpa Lie sejarah Indonesia akan berbeda sama sekali.

Lie pernah ditempatkan di KRI Rajawali sebagai Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya pasca penyerahan kedaulatan pada akhir 1949. Dia kemudian kemudian dipercaya menjadi Komandan Komando Maritim Jakarta pada 1955.

Kapal Perang Terbesar Jepang Tiba di Indonesia

Lalu pada 1957 menjabat sebagai Komandan KRI Gajah Mada dengan pangkatnya menjadi Letkol. Lie terlibat aktif dalam penumpasan PRRI dan RMS. Pada 1964, Lie menjadi Laksamana Muda sebelum resmi pensiun pada 1967.

Lie kemudian meninggal pada 27 Agustus 1988, dirinya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ketika Lie wafat banyak anak asuh dan para pengemis yang biasa dibantu olehnya datang melayat.

Seorang staff Mabes TNI AL bercerita bahwa semasa hidupnya, Lie sering menyantuni dan mengajak makan anak jalanan juga para gelandangan. Ketika melayat, para anak asuh tersebut membentuk barisan panjang untuk penghormatan terakhir.

Dia juga menerima Bintang Mahaputera Utama dari Soeharto pada tahun 1995. Sementara gelar Pahlawan Nasional baru dianugerahkan kepadanya dalam peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2009.

Nama Lie juga diabadikan sebagai nama salah satu kapal korvet TNI AL, bersama-sama dengan KRI Bung Tomo dan KRI Usman Harun. Total dia menerima 2 Bintang Penghargaan dan 15 Satya Lencana.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini